159. Peluk Aja Gak Papa

35 7 2
                                    

"Rahasia terbesar sudah terbongkar. Padahal tidak ada niat untuk mencari tahu, ehh bapaknya sendiri yang ngasih tau."

"Saya liat foto kamu di hp anak saya, keliatannya, sih, diambilnya waktu ada di perpustakaan. Soalnya banyak buku di belakang kamu, kamu juga lagi nunduk liatin kertas. Anak saya namanya Gita!"

Ternyata tebakannya benar! Dan siapa nama anaknya? Gita? Apakah Gita yang satu kelas dengannya? Jika benar mengapa ada foto Devit di ponselnya? Bahkan mereka sama sekali belum pernah mengabadikan momen berdua. Gita terlalu banyak menjauh, dengan alasan menjaga jarak antara lelaki dan perempuan.

"Gita kelas sepuluh A, Pak?" tanya Devit memastikan.

"Nah, iya, itu anak saya! Sering ikut lomba baca puisi! Kamu tahu?"

"Hehe, iya, Pak." Dan puisi yang dibacakan itu karya Devit. Namun, pria itu tidak membahasnya, mungkin Gita memang tidak bercerita?

"Nama kamu siapa? Saya Ginan ayah Gita," ucapnya memperkenalkan diri.

"Saya Devit, Pak," balasnya.

"Panggil Om aja, ngobrolnya di luar aja, yuk, gak enak sama jemaah yang masih khusyuk ibadah," ajaknya, Devit menurut saja. Ia mulai kepo tentang Gita apalagi sekarang bicara langsung dengan ayahnya.

Pak Ginan mengajak Devit duduk tak jauh dari pintu masuk, hanya beralaskan ubin dingin. Menatap ramai lalu lalang kendaraan.

"Tau, gak, saya tuh suka seneng banget! Liat anak seumuran kamu datang ke masjid. Gak berat salat berjamaah bersama, sangat jarang!"

Devit tersenyum kecil, rasanya ia mendapat sindiran. "Iya, Om, kebanyakan mungkin nongkrong di kafe ato bisa saja menjadi imam untuk keluarga tanpa ayah?"

Pak Ginan menoleh. "Bisa jadi, tapi kebanyakan anak muda sekarang menghabiskna waktu dengan ponsel, main gak jelas, bahkan berani meneguk hamar dengan bangga!" Ditatapnya Devit yang sibuk memainkan kunci motornya. "Dari sini mau langsung ke mana kamu?'

Devit menelan ludahnya dengan kasar. "Langsung pulang aja, sih, Om. Gak ada manfaatnya 'kan kalo nongkrong malem-malem gak jelas?"

Padahal bukankah awalnya Devit izin kepada Acha pulang jam sembilan? Sisanya ia akan bergabung di sebuah kafe, di mana ajakan teman satu SMP yang selalu ia tolak. Sekarang harus ia batalkan lagi, setelah berbincang santai dengan Pak Ginan ayah Gita.

"Ayah?"

Suara seorang gadis yang tak asing bagi Devit terdengar dari belakang. Tanpa harus membalikkan badan, akhirnya Devit bisa melihat jelas siapa gadis berkerudung hitam mendekap erat lipatan mukena dan kitab suci di dadanya.

"L-lo?"

Gita tak mampu menyebut nama Devid, sedangkan ayahnya sendiri sudah melempar senyum lebar.

"Ayah udah kenalan kok, Git."

"Maksud, Ayah?" tanya Gita kebingungan.

"Waktu kamu pulang sekolah, terus ninggalin ponsel kamu di ruang TV ayah iseng liat galeri. Terus ketemu, deh, foto Devit yang gak asing, tadi ayah salat di samping dia," jelas Pak Ginan.

"F-foto yang mana, sih, Yah? Gita, gak pernah simpa foto dia!" elaknya berbohong, padahal Gita memang diam-diam pernah mengabadikan momen Devit yang sedang berpikir keras untuk merangkai kata menjadi puisi penuh diksi di perpustakaan.

Devit yang mendengar perdebatan antara anak dan ayah itu, hanya mampu menahan tawa

"Aduh ... kamu sendiri loh yang fot-"

"Ayah!" Tak sadar Gita sudah membentak ayahnya untuk tutup mulut, beruntung keadaan canggung itu terpotong oleh panggilan salah satu jemaah yang ingin berbincang serius dengan Pak Ginan.

"Tunggu di sini, ayah tidak akan lama." Pak Ginan pun segera pergi ke ruangan lain yang ada di samping masjid megah itu.

Meninggalkan Gita yang sudah salah tingkah karena ketahuan oleh Devid.

"Mungkin, ya, ayah gua liat foto lo dari kiriman whatsapp. Tau 'kan ada banyak cewek yang gak ada kerjaan ngirim foto candid elo?" sungut Gita, dekapan mukena dan kitab sucinya di dada semakin mengerat.

Devit mengangguk-anggukan kepalanya. "Tapi ... waktu di perpustakaan lagi buat puisi. Perasaan cuma lo doang yang duduk di depan gua," terangnya.

Wajah manis Gita yang diterangi lampu masjid terlihat memerah padam. Malu dan marah, pasti ayahnya sudah menceritakan segalanya! Termasuk pose dan tempat kejadian ia mengambil foto Devit diam-diam.

"Mau ngeles apalagi, Gita?" goda Devit dan Gita tak mampu mnejawab sepatah kata pun. "Kalo mau fotbar bilang aja kali, gak usah sungkan!"

"Siapa juga yang mau fotbar sama lo!" hina Gita, seraya berbalik siap mencari ayahnya yang entah hilang ke mana.

Devit terbahak. "Ternyata selain jutek, seorang Gita juga diam-diam nge-save foto gua!"

Gita kembali masuk ke dalam masjid. Menemukan beberapa jemaah yang sedang berkumpul duduk melingkar. Namun, tidak ditemukan sosok ayahnya. Sampai pendengarannya menangkap percakapan di sana.

"Jadi, kita langsung siapkan saja. Cepat beritahukan, kepada keluarga yang berduka, jenazah akan disalatkan di masjid ini saja."

Ada yang meninggal? Siapa? Sebelum Gita berbalik ayahnya datang menghampiiri. "Gita, kamu bisa nunggu sampai tengah malam?"

"Loh, besok Gita harus sekolah, Yah."

Pak Ginan menggaruk tengkuknya yang tak gatal kebingungan. "Ayo kita keluar."

Di luar, Devit mendengar sebuah salam dari pengeras suara. Memberitahukan, seorang warga yang tak jauh dari masjid meninggal dunia.

"Devit," panggil Pak Ginan.

Gita yang berdiiri di samping ayahnya mulai menebak-nebak apa yang akan diucapkan. Apakah ayahnya akan menitipkan Gita kepada Devit? Karena tidak bisa mengantarkan pulang anaknya?

"Iya, Om?" Devit berdiri, menepuk bokongnya.

"Saya mau minta tolong." Pak Ginan melirik anak gadisnya. "Saya percaya, kamu anak yang baik dan bisa menjaga Gita. Tolong, antarkan anak saya ke rumah, saya harus membantu keluarga jenazah yang hanya memiliki dua anak yang masih duduk di bangku SD," jelasnya.

Bola mata Gita membelalak kaget. "Gita, gak mau! Ayah ...!" protesnya, "kalo gak bisa, Gita mau naik taksi aja! Daripada sama dia!"

Pak Ginan mengelus bahu Gita sayang. "Kamu jangan egois, Gita. Ayah gak pernah ngajarin kamu keras kepala hanya kerena ego, dengar! Keluarga yang ditinggalkan butuh seseorang untuk mengurus jenazah sekarang. Kalo kamu naik taksi, ayah gak bakal ngasih izin! Jam berapa sekarang?"

Tidak ada balasan. Gita mengangguk pasrah dan ayahnya langsung pergi bersama empat jemaah lainnya. Tinggal Gita dengan Devit.

"Yuk," ajak Devit seraya mendekati motornya. Namun, Gita tetap diam di tempat. "Heh!"

Gita mencebik kesal, menatap jok belakang motor milik Devit yang menurun ke depan.

"Masa gua gak pakek helm?"

Devit tidak menghiraukan pertanyaan Gita, ia segera menyalakan motornya, lalu menepuk jok belakang. "Naik!" titahnya.

Dengan kesal, Gita berjalan mendekat kakinya disentakkan. Kedua tangannya mulai dingin membeku, apakah ia harus mencengkeram bahu Devit untuk menjadi pegangan? Sedangkan kedua tangannya sibuk mendekap mukena dan kitab sucinya di dada.

"Gua pegang dulu barang lo itu," tawar Devit sebelum Gita duduk di belakangnya.

Gita mengulurkan dua barangnya itu, perlahan tapi pasti tanpa mencengkeram bahu Devit untuk berpegangan akhirnya ia berhasil duduk dengan nyaman.

"Sini!" pinta Gita, Devit pun menyerahkan mukena dan kitab suci Gita.

Motor mulai berjalan perlahan, keluar dari parkiran. "Peluk aja gak papa, kok!" rayu Devit.

"Idih! AMIT-AMIT," sungut Gita, seraya menjauhkan tangan kanannya yang bebas, mencengkeram jok yang tersisa menjadi jarak keduanya.

Note : Maaf baru upp, lagi sok sibuk nih xixi

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang