89. Menenangkan Diri

117 22 7
                                    

"Mencari tempat untuk menenangkan kekalutan. Meskipun masalah yang datang, takkan hilang begitu saja di saat pikiran kembali tenang."

Sebuah ruangan yang dirancang apik menjadi tempat favorit selama latihan musik. Beberapa pernak-pernik menghiasi ruang mungil kedap suara itu, tidak lupa potretan dari waktu ke waktu terpajang dalam bingkai pigura, dengan senyuman lebar langsung tertangkap kamera. Dua pengeras suara, menjadi saksi bisu selama latihan vokal atau bersiap untuk pentas, sedangkan di pojok ruangan, terdapat ruang kecil sebagai penerima suara jernih untuk rekaman.

Namun, ruangan yang dulunya enggan ditinggalkan walau barang sedetik, sekarang terasa membosankan. Di mana, Devita berceloteh panjang lebar tentang rambut yang berubah warna menjadi merah, ia tidak menyayangkan tadinya hitam legam menghiasi, sekarang penampilannya sudah berubah. Meskipun merah muda, tetapi Devid tidak mempedulikannya. Sampai, Devita menatap lelaki di sampingnya yang terlihat malas membaca lirik lagu untuk latihan hari ini.

Mengingat kemarin, Devid hilang tanpa jejak. "Makin cantik gak, sih? Menurut pandangan lo aja, Dev."

Kesadaran Devid tidak sepenuhnya ada di ruangan itu, Devita semakin kesal berarti saat ia menceritakan soal ke salon sendiriam dan mendapatkan nyinyiran bahwa rambutnya jelek, Devid tidak mendemgar?

"Dev!" sentak Devita, membuat Devid menatapnya kesal lalu membuang muka. "Lo kenapa, sih? Gua cantik, kan, dengan tampilan rambut kek gini?" lanjutnya seraya menghempas rambutnya ke belakang.

"Lo bawel, amat! Kalaupun gua bilang jelek, lu udah terlanjur ngewarnainnya, Vit."

Emang bodoh pertanyaan Devita, tetapi ia tidak merasa salah dan bodoh. "Gua, kan, cuma basa-basi doang, elo sebagai teman gua, gimana, sih!"

Devid memijat pelipisnya, merasakan kembali kepalanya yang terasa berputar-putar, apalagi ditambah suara Devita yang berisik. Lama mereka terdiam, sampai Devid memutuskan beranjak pergi, ia tidak bisa latihan di mana titik fokus dan perasaannya sedang kacau. Langkahnya mendekati pintu yang ada di seberang, yaitu ruang kerja Grilna, ayah Devita juga manajernya.

Diketuknya pintu itu pelan, tidak lama sebuah panggilan mempersilakan masuk. Devid pun membukanya, lalu berhadapan langsung dengan lelaki yang memiliki perut buncit dan berkacamata. Di depannya, meja kerja berserakan kertas putih yang penuh coretan tinta, sudah terlihat jelas bahwa lelaki itu sedang membuat notasi untuk lagu baru.

Setelah mempertimbangkan segalanya, Devid berucap, "Mau minta izin, Om, sekarang gak bisa latihan."

Kerutan di dahi Grilna pertanda sebuah pertanyaan akan meluncur dan tidak lama, ia membalas, "Ada apa? Kamu bertengkar sama, Vita?"

"Enggak, Om, Devid cuma butuh waktu sendirian, banyak tugas yang belum diselesein minggu ini," kilahnya, berbohong.

Grilna mengangguk maklum. "Ya udah, kamu boleh absen hari ini, tapi kamu harus ingat kemarin kamu juga absen. Jadi, besok jangan, ya?"

"Siap, Om."

"Sebentar," sela Grilna seraya mendekap kedua tangannya di dada. "Bicara kepada Vita, kamu gak bisa latihan sekarang."

Devid langsung mengangguk dan pamit pergi. Setelah kembali ke ruang musik, didapatinya Devita sedang memainkan ponsel dengan wajah ditekuk, lalu mendongak menatap malas Devid.

"Gua izin gak latihan sekarang!"

Seketika wajah yang tidak peduli tadi terbelalak. "Apaan, enggak lu mau ke mana, sih! Kita seminggu lagi manggung, lu jangan main-main, deh!" protes Devita, seraya menghampiri Devid yang berdiri di ambang pintu mulai menahan kesal.

"Gua gak enak badan, udahlah, lagian nyanyi itu gak bisa dipaksain, lu mau latihan kita ancur? Percuma kali!" balas Devid, bersiap pergi.

"Jangan bilang lu janjian sama si Acha, burik!"

Devid menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap Devita. "Itu bukan urusan lo."

Tubuh Devid pun menjauh, meninggalkan Devita yang mencebik kesal. Tanpa membuang waktu, ia menyusul Devid yang telah keluar menuju rumahnya, sayang, tidak lama suara motor menjauh menjadi akhir pertemuan. Sebelum Devita kembali ke dalam rumahnya, didapati Dinda yang menutup gerbang dengan lemah, segeralah Devita menghampiri dengan wajah kesal.

Dinda seketika terkejut, di saat kedua tangan Devita memeluknya manja. "Tante ... Devid malah pergi lagi, ih!"

"Udah, dia gak lama balik lagi, kok," balas Dinda menenangkan, padahal ia tidak tahu sama sekali ke mana tujuan dan kapan pulangnya.

Devita melepas pelukannya. "Dia pasti ketemu si Acha, Vita yakin, Tan ...."

Acha yang dimaksud adalah orang yang sangat dihindari, tetapi bagaimana lagi? Devid sudah mengingat segalanya dan tahu tentang pil yang dapat melupakan masa lalu. Sekarang, apa yang harus diperjuangan demi masa depan? Melihat Devita yang uring-uringan, sebuah ide terlintas, sampai Dinda pun mengajak gadis itu berbicara di dalam rumah.

Sudah dipertimbangkan bagaimana ke depannya, dengan tenang Dinda menceritakan tentang masa lalunya kepada Devita, tentang Devid yang memiliki sahabat, tentang suami yang nyatanya mendua, bukan meninggal dunia, pula tentang hilang ingatan dan terakhir pil yang selama ini Devid konsumsi. Devita tidak menyangka, bahkan tidak memercayainya. Pantas saja, waktu awal pertemuan, di mana Acha memandang Devid seperti orang yang baru dipertemukan setelah perpisahan. Jadi, waktu ke gunung juga, tujuan Acha bukan hanya ingin mendaki, tetapi agar lebih dekat dengan Devid.

Devita kira, Acha hanya pengagum Devid saja. Ternyata, mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Namun, yang menjadi masalah sekarang, Dinda takut Devid pergi darinya, padahal cukup saja suaminya yang pergi, tapi tidak dengan anaknya. Di sana pula, Devita berpikir keras, bagaimana cara merebut Devid dari Acha.

"Tante tahu soal Acha yang mendorong Devid sampai tertabrak truk, tanpa sepengetahuan orang lain, tante mencari tahu CCTV di TKP, sampai menemukan jawaban dari pertanyaan yang lama terpendam," jelas Dinda, mengingat perjuangannya di mana, setelah membawa Devid ke Jakarta anaknya kembali merasakan sakit di kepala. Dia sendiri langsung mencari tahu penyebab kecelakaan itu, ia tahu dan harus menjauhkan Devid dari si pengkhianat, dengan cara memberikan pil yang akan menghapus ingatan lama.

"Tante pantes benci sama Acha, dia emang gak tau diri! Tanpa malu juga, dia kembali. Ngarepin apa coba!" ketus Devita, terpancing emosinya juga.

"Jadi, kamu mau bantu tante menjauhkan lagi mereka?"

Tidak ada penolakan tentunya, dengan cepat Devita menjawab, ya. Selain menolong Dinda karena masih kesal dan kecewa, Devita juga tidak sudi Devid bersama lagi dengan cinta pertamanya. Kehidupan lelaki itu harus menjauh dari masa lalu, semuanya tinggal kenangan, jangan sampai disentuh lagi dan menjadi candu, berdiam diri bersama orang di masa lalu. Devita takkan membiarkan, ia akan berjuang sebisa mungkin, merebut Devid kembali.

Yang terpenting, Devid akan selalu terikat bersamanya. Mereka masih Double D mustahil terpisahkan. Jika pun datang penolakan, ayahnya akan membantu memaksa Devid kembali ke jalan kehiduapn yang baru, bukan masa lalu, sedangkan di luar sana, Devid menatap kosong air danau di depannya. Ia sangat menyukai ketenangan, di mana pikirannya kalut dan banyak masalah. Air di danau membuat damai, lebih enaknya di gunung, tetapi ia mustahil langsung solo hiking. Mengingat kembali permasalahan yang datang, semua terasa benar-benar menekannya sampai harus menahan napas.

Acha sakit, itu yang didengarnya dari Bram, sedangkan Bram tahu dari teman satu fakultas Acha yang diberitahukan oleh Arga. Namun, tidak ada niat Devid menengok sang teman yang terlupakan. Meskipun ia yakin, keadaan Acha karena tadi malam. Kehujanan, seketika Devid membatin, mengingat kembali bayangan masa lalu. Acha yang suka dengan hujan, tetapi payah setelahnya karena sakit demam.

"Jadi, ini jawaban kenapa gak ada satu pun cewek yang pas buat gua?" gumam Devid, bertanya kepada dirinya sendiri.

Iya, Dedev sayang 😌

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang