95. Lepaskan Atau Datang

90 22 4
                                    

"Meski sakit mengungkapkan kebenaran, tetapi untuk akhir menyenangkan. Mengapa tidak?"

Entah untuk ke berapa kalinya di bulan awal Januari ini. Hujan terus saja datang, ketakutan datangnya banjir membuat semua penghuni Ibu Kota bersiap siaga. Untung saja, perumahan yang ditinggali Bram sangat jauh dari bencana alam itu. Sekarang, ia sudah bersiap menuju Institut Kesenian Jakarta. Di mana Devid dan Devita menyibukkan diri demi masa depan di sana. Lahan parkirannya cukup lapang. Jadi, Bram bisa leluasa melihat Devid dari dalam mobilnya.

Waktu bubar tidak lama datang, satu per satu mulai membawa kendaraannya keluar dari parkiran, sedangkan Bram sudah mengenali mobil abu milik Devid. Ternyata lelaki dengan kaus oblong putih berjalan mendekat, tanpa Devita. Bram mulai bersiap mencegat Devid nanti. Benar saja, mobilnya melaju biasa, langsung saja Bram mengikuti cepat di belakang mobil itu. Sudah tepat di belaakang, dengan cepat, Bram menyelip, menghalangi mobil Devid samapi berhenti mendadak.

Bram keluar dari mobilnya, ia takut ada kendaraan lain yang akan datang. Segera diketuknya kaca tepat di samping kemudi Devid. "Ngapain lu ngalangin jalan!" ketus Devid, seraya membuka kaca mobil.

"Gua mau ngomong serius sama lo. Ini penting."

Devid tersenyum miring. "Penting soal cewek itu?"

"Bukannya itu sahabat lo sendiri? Apa sekarang amnesia lagi?"

"Gua gak peduli." Devid bersiap menutup kaca mobil dan memilih putar balik, tetapi Bram mencegahnya dengan cepat.

"Denger, ya, dia jauh-jauh dari Bandung cuma buat lo, egois banget lu jadi cowok!" Bram menunjuk wajah Devid dengan geram, ingin sekali mendaratkan tinju. "Gua tunggu di kafe biasa sekarang, kalo lu masih ngehindar, tau apa yang akan datang."

Mendengar peringatan dari Bram, seketika Devid mengingat masa lalu di mana Acha memilih Richard dibanding dirinya. Setelah manusia pengganggu itu hilang, ia begitu saja akan melepaskan? Mobil Bram sudah melaju kencang di depannya. Devid masih diam di tempat, kepalanya masih berpikir keras. Datang ke kafe atau memilih mengurung diri di kamar.

Mobil Bram sudah sampai di parkiran. Ia segera turun dan melihat jalanan, belum terlihat mobil Devid. Mungkin masih di jalan, batin Bram seraya masuk ke dalam memesan green tea dan duduk di tempat biasa. Pojokan, di mana Acha akan selalu mengajaknnya ke sana. Ternyata, Devid datang, terlihat cara jalannya tanpa tenaga, lalu menatap keberadaan Bram yang sama menatapnya.

Sebelum berjalan menuju Bram, Devid memesan cokelat hangat, mengingat hujan semakin deras di luar. Si Barista juga sempat mengajaknya sedikit berbincang karena menyayangkan tidak memetikkan gitar di kafe itu lagi. Sekarang mereka sudah berhadapan dan Bram enggan memulai percakapan sebelum minumannya datang. Tidak butuh waktu lama, pelayan di sana memberikan pesanan, sekali tegukan mengawali pembicaraan.

"Ini tentang Acha, lu harus serius dengerinnya."

Devid mengaduk cokelat hangatnya. "Soal kecelakaan? Gua inget semuanya. Gua tahu dia refleks dorong gua dan gua tahu, setelah kehilangan, dia sadar, gua berarti banget buat dia," jelas Devid.

"Dan lo memilih ngehindar pergi lagi? Setelah tahu lo berarti banget buat dia? Lu tolol apa gimana, sih, Bung!"

Devid menyapu pandangannya ke segala arah, kafe itu telihat sepi sekarang, tinggal beberapa pengunjung saja. "Gua bukan menghindar ataupun pergi. Gua cuma butuh waktu, itu emang bukan sala—"

"Terus lu nunggu apaan, bego!" Kesabaran Bram mulai menghilang, mendengar Devid tahu sebelum ia jelaskan. "Apa? Devita yang lu pertahanin?"

"Bukan, dia cuma partner manggung gak lebih," elak Devid, dia tidak terikat dengan perempuan itu. Hanya sebuah kontrak panggung saja, bukan perasaan.

Mereka lama terdiam, hanya rintikan hujan dan suara seruput minuman hangat. Devid menatap Bram dengan serius. "Bukannya kalian udah pacaran?"

Bram mendongak, meletakkan minumannya. "Pacaran? Kabar burung dari mana itu!" Ia menyandarkan tubuhnya, menghirup udara panjang. "Gua emang udah terlanjur suka sama Acha, tapi gua bukan pengkhianat, niat gua cuma merjuangin kalian kembali bersama, itu udah cukup."

Pembicaraan itu terasa hambar. Devid belum bereaksi bahwa ia akan memaafkan Acha dan kembali bersama, sedangkan Bram sedang mengobati hatinya pelan-pelan, siap menuju hal yang paling penting bagi dirinya. Juga, kedua manusia yang ia pikirkan sekarang.

"Kalaupun lu kagak pacaran, sekarang aja pacarinnya, gampang, 'kan?"

"Elu emang egois, ya, gua bilang kagak pacaran, Dev! Berapa kali sih gua ingetin?" Bram menahan napasnya, emosinya mudah terpancing jika terkait soal perempuan apalagi ini tentang Acha, ia tahu perjuangan temannya itu.

"Gua tau, kalian selama ini terlalu jauh kalo cuma dibilang temen." Devid masih mengelak, ia banyak bukti kedekatan Bram dan Acha.

"Soal ngajak dia jadi anak MAPALA? Pulang bareng? Apa? Itu gak penting, elu kalo gak suka ngomong, ngapain sok gak peduli!" Bram menunjuk Devid dengan telunjuknya, giginya bergemeretak. "Sekarang, gua ngajuin pilihan dan besok, harus ada jawaban sebelum kereta tujuan Purwokerto berangkat."

"Maksud lo?"

"Gua berhak bawa Acha ke mana pun dan itu permintaan dia."

Cokelat hangat milik Devid telah tandas. "Apa urusannya sama gua? Selesaikan, gua cabut!"

"Dia bakal jadi cewek gua, di saat lo enggak datang di waktu yang tepat."

Langkah Devid terhenti, ia berbalik menatap Bram penuh tanya. "Jadi, kalian mau ke mana?"

Bram tidak menjawab, ia kembali duduk dan memerintah Devid kembali duduk juga di hadapannya. Awalnya Devid akan menolak, tetapi ada ketakutan yang membuatnya kembali duduk, siap mendengarkan penjelasan dari Bram. Besok, Acha ingin mendaki gunung Prau, tentunya bersama Bram. Namun, ia akan menolaknya dengan halus, di mana Devid yang menjadi penentu, besok datang tepat kereta akan pergi atau bahkan, ia takkan datang?

Banyak pertimbangan, di mana Dinda benar-benar melarang Devid kembali menemui Acha. Apalagi Devita, merajuk kesal sampai acara manggung banyak ditolak hanya karena dirinya. Bram kembali melanjutkan, semua terserah Devid. Jika, memang berniat menjadi lelaki sejati bukan egois, hanya memikirkan diri sendiri. Maka, Acha akan menjadi milik Bram. Meskipun hatinya tetap untuk Devid seorang.

"Dia mau nenangin diri, berarti tanpa gua," ucap Devid.

"Iya, itu karena lo menjadi beban pikirannya! Dan sekarang, elu malah nolak? Nambah bebannya, Bangsat!"

Selama berbincang, Bram paling banyak memaki. Ia seolah nerasakan bagaimana Acha berjuang sendirian. Sekarang, ia sendiri yang berbicara sangat gemas ingin memberikan tinju atau tendangan. Namun, ia harus sadar, semua harus terselesaikan dengan cara benar bukan barbar. Di depannya Devid lama memijat pelipisnya, pasti temannya itu bingung.

"Buat lo aja Acha, kalian serasi kok, lo gak bisa ngelak sekarang. Waktu itu, gua liat lu ada di kosan Acha sambil pelukan."

Gila apa yang Devid katakan barusan, ketenangan Bram kembali terusik.

"Dan lu ngartiin pelukan itu udah pacaran? Lu bisa mikir gak, sih! Di sana gua sebagai teman, Anjing!"

Sebuah tinju mendarat dengan keras tidak sempat mengelak, membuat Devid terjungkal ke belakang. Ya, pukulan Bram mendarat di pipi kiri Devid, melesat ke sudut bibirnya dan kini berdarah. Para pelayan segera menenangkan, beberapa pengunjung melihat kerusuhan itu, Bram berhasil memberikan tinju kepada pengecut gila yang dengan polosnya tersenyum tenang. Salah satu pelayan menarik Bram untuk menjauh, secepat mungkin Bram menghentak pegangan sampai terlepas.

Masih dengan emosi, Bram berjongkok menarik kerah baju Devid. "Gua tunggu lu besok jam delapan!" putus Bram, lalu melepas kasar cengkeramannya.

Uluran tangan para pelayan membuat Devid terduduk dengan sudut bibir berdarah. Segeralah beberapa lembar tisu diberikan, ia menerimanya lalu menghapus darah dari bibirnya. Tonjokan Bram tidak seberapa, dibanding perasaannya yang kini bingung entah memilih siapa. Kedua tangannya mengepal, seraya berlalu meninggalkan kafe dengan pipi kiri lebam keunguan.

Mantap, Bram! Lope sekebun deh 😝

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang