"Entah. Tak mudah untuk digambarkan, semua terasa lelah mengikuti skenario-Nya."
Acha
"Acha!" seru Devid seraya berlari menghampiri Acha yang masih terbaring lemah.
Nia menatap wajah Devid, kentara sangat khawatir. Ia meyakinkan, bahwa tak terjadi apa-apa, hanya demam dan membuat Acha pingsan. Yogi datang dengan menggendong Decha di pangkuannya, ternyata sebelum masuk kembali, Yogi memberi tahu Devid terlebih dahulu.
Tak lama, Dinda menyusul dengan wajah tegang. Semangkok bubur disimpannya di nakas, lalu menghampiri Acha yang belum juga sadar.
"Mba Sinta gak bisa pulang, katanya ada meeting sampai malem," jelas Yogi.
Dihampirinya suaminya itu, sambil membawa Decha ke pangkuan Nia dengan lembut. Devid mengusap wajahnya kasar, semua kesalahannya yang tak dapat menghentikan Acha main hujan-hujanan.
Digenggamnya jemari Acha, terasa dingin membeku. Devid meniupnya seakan itu obat agar langsung tersadar. Dinda terus saja mendekatkan aroma terapi ke hidung Acha. Namun, masih tak ada tanda-tanda akan sadar.
"Bagaimana kalo kita bawa ke rumah sakit saja?" saran Dinda.
Yogi melirik Nia. Mereka bimbang, tetapi harus dilakukan. Devid menjawab, Acha takkan lama jika sakit. Dalam beberapa jam juga sudah nampak sehat lagi, tetapi kasus ini berbeda. Tak biasanya Acha sampai pingsan.
Tangan Devid yang menggenggam jemari Acha, tiba-tiba bergerak. Menandakan telah siuman. Perlahan, matanya pun terbuka. Namun, masih enggan mengucap sepatah kata.
"Alhamdulillah ... akhirnya siuman juga," ucap Dinda bersyukur.
Devid menyunggingkan seulas senyum. Pandangan Acha menatap orang-orang yang tak asing baginya, di kamar dan dengan baju yang tak basah seperti sore tadi.
Hujan masih lebat. Jendela kamar yang tak ditutup menciptakan embun, cipratan air hujan tertinggal. Acha tersenyum, hujan belum reda. Maka, kebahagiaannya takkan pula sirna.
Devid mengikuti arah pandang Acha. Dibelainya rambut yang masih basah itu agar tatapannya tertuju kepadanya. Acha mengalihkan pandangan. Tersungging senyum tipis.
"Makan bubur, ya, Senin masuk," ujar Devid mengingatkan.
Bibir Acha bergetar. "Makasih, kalian selalu ada buat Acha," ucapnya bergetar, tetes air mata mengalir begitu saja.
Segera, Devid menghapus dengan telunjuknya. "Sama-sama, kalo bukan kita siapa lagi?"
Dinda merasakan kesakitan Acha. Ia genggam tangan kiri gadis lemah yang terbaring itu. Sebuah pelukan erat menghangatkan tubuh Acha cepat.
***
"Cepet amat sembuhnya," ucap Devid sambil menghampiri Acha yang sedang menyiram bunga.
Acha mendongak lalu menjawab, "Terserah gua, dong ... lagian pegel tiduran mulu!"
"Heem, lo liat info lanjutan di grup?" tanya Devid seraya duduk di teras.
Kemarin, Devid memulai PDK dengan kakak kelasnya, mulai dari anggota OSIS sampai Bantara pula ia kirim pesan sebagai aba-aba pendekatan. Agar, saat awal masuk sekolah satu cewek menjamin Acha takkan pernah pacaran selama di SMA.
Matahari pagi menyilaukan pandangan Devid. Pohon mangga di depan tak dapat menghalanginya. Acha terkikik mendapati Devid memicingkan matanya. Namun, tiba-tiba pandangan Devid menatap bibir Acha berwarna merah semu. Atau lebih tepatnya keputih-putihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Fiksi RemajaPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...