106. Pelakor Nginep Lagi

98 19 2
                                    

"Berhati-hatilah mengerjai orang karena tidak semuanya bodoh dalam suatu hal. Apalagi jika akhirnya, terbalik dikerjai."

Penantian nyata menginginkan malaikat kecil di apartemen kediaman Devid dan Acha sangat diharapkan. Namun, setelah beberapa bulan ditunggu dan terhitung semenjak Acha tidak lagi memasang KB sudah dilalui empat bulan lebih, tetapi siapa yang bisa menentukan segalanya kecuali Tuhan? Manusia hanya bisa merencanakan, tetapi Tuhan jugalah yang menentukan. Setiap hari pula, Devid selalu meyakinkan Acha bahwa semua baik-baik saja, belum genap pernikahan satu tahun juga. Jadi, mungkin Tuhan masih memberikan peluang bagi mereka agar giat bekerja.

Di saat keluarga mungil itu berjuang. Ada seseorang yang tertawa di atas penderitaan yang dulu dianggapnya teman, tetapi sekarang musuh dalam diam. Siapa lagi jika bukan Devita, ia masih tidak memercayai pernikahan Devid dan Acha. Apalagi sekarang, tidak menemukan tanda-tanda bahwa Acha mengandung anak Devid. Atau bisa saja, mereka hanya pura-pura menikah dan tanpa malu tinggal satu atap, ah ternyata, pikir Devita. Ia pula berhasil menjadi teman manggung Devid lagi. Semua rayuan dan tangis agar lelaki itu kabulkan telah dilakukan.

Menginap di apartemen Devid juga sudah. Namun, sekarang juga ia sudah merencanakan aksi gilanya lagi. Bahkan akan mampu membuat Acha cemburu, pastinya! Malam ini, acara manggung mereka beruntungnya sampai tengah malam, kurang lebih jam satu dini hari pasti pulangnya. Membuat Devita melancarkan aksi, ia akan menginap lagi di apartemen Devid dan Acha. Yang menjadi greget di aksinya ini adalah, dipastikan Devid akan membopongnya sampai kamar!

Bagaimana reaksi Acha melihat suaminya? Padahal niat Devid hanya memindahkan Devita. Lalu, mereka akan bertengkar hebat, pikir Devita seraya merapikan riasannya yang sudah rapi itu. Sekarang waktunya menyenandungkan lagu untuk para pasangan kekasih memadu kasih. Termasuk dirinya dengan Devid. Meskipun setelah mengetahui status lelaki itu, tidak mampu lagi membuat Devita dengan leluasa menggenggam tangannya. Melihat di salah satu jemarinya pula, tersemat cincin nikah. Cih! Ingin sekali Devita melemparnya ke sawah.

Ketukan di pintu ruang ganti membuat Devita tersenyum lebar, artinya Devid sudah siap naik panggung. Suasana malam yang sedikit mendinginkan tubuh itu, tidak mampu menghalangi Devita tanpa baju lengan pendeknya. Rambut sepunggung berwarna merah menjadi ciri khasnya sekarang, sedangkan Devid masih sama seperti biasa, jaket hitam, levis hitam. Tersenyum lebar menatap para penonton yang menanti senandung lelaguan mereka berdua. Tidak terasa waktu yang ditentukan dan lagu-lagu telah diberikan, beberapa tamu kafe pun mulai hilang satu per satu sampai tidak tersisa.

"Dev, gua nginep lagi, ya!" seru Devita, wajahnya terlihat dimalas-malaskan.

Mengetahui hanya alasan saja, mengingat tadi Devita datang hanya dengan taksi. Jadi, perempuan itu sudah mengatur rencana. Di malam minggu ini pula, Acha menunggunya di rumah, katanya siap menunggu sampai kapan pun demi nonton film horor bersama. Ah, Acha ada-ada saja memang. Sebelum masuk ke dalam mobil, Devid membeli tiga cup cokelat hangat di kafe itu, melihat pesanan yang Devid bawa, Devita langsung bertanya satu lagi untuk siapa.

"Buat gua dua, satu lagi buat lo!" balas Devid cepat.

Seketika Devita tersenyum ceria. "A ... makasih banget!" Kelewat lebay memang.

Tanpa sepengetahuan Devita, Devid sudah menghubungi Acha soal perempuan yang bersamanya sekarang ingin sekali lagi menginap, dengan cepat Acha tertawa lalu mempersilakan temannya itu. Devita menegak beberapa cokelat hangat yang diberikan, lalu tanpa membuang waktu siap memulai aksinya, menguap berlebihan dan Devid tahu, sangat mendramatis sekali. Sampai, mereka tiba di parkiran apartemen, melihat Devita yang kedua matanya tertutup rapat, Devid tersenyum miring. Maunya dibopong, ya, batin Devid, lalu memanggil nomor Acha, memberikan kode bahwa dia telah tiba.

Tidak perlu bertanya, dari lantai atas, Acha berlarian menuju lift lalu turun menurun mendekati parkiran. Di mana mobil hitam milik Acha dan Devid terparkir. Belum ada pergerakan lain dari Devita, Devid segera membuka kunci mobil, Acha berhasil menarik pintu di samping kursi Devita. Di mana tempat favoritnya itu diisi oleh pelakor.

"Ya ampun, Devita ketiduran, ya, mungkin dia lelah," ucap Acha, menahan tawa, begitu pula Devid.

"Iya, Cha, soalnya dia tadi sampe teriak-teriak nyapa penggemar, udahlah kita bawa aja, yuk! Jangan dibangunin," balas Devid, sama-sama mengikuti alur drama.

Acha menyela, "Kamu yakin? Nggak mau bopong Princes Devita, apa?"

Devid menggoyangkan telunjuknya pertanda menolak. "Saya suami orang, maaf bukan muhrim."

Sekuat tenaga mereka berdua mencoba menahan tawa, sampai Acha sendiri yang harus membangunkan Devita dengan cara selembut kapas. Ia bangunkan diiringi lagu, hingga drama dimulai lagi Devita bangun dengan wajah sok lupa ingatan. Segera mungkin Acha jelaskan, bahwa tadi dirinya ketiduran, sedangkan Devid sudah hilang meninggalkan mereka berdua ke atas.

Melihat Devita yang sadar diri tidak menemukam Devid, Acha menyuruhnya untuk keluar karena pintu mobil akan dikunci. Devita tahu dan mendengar jelas pembicaraan mereka berdua. Dia menahan amarah, mau bagaimana lagi? Kenyataannya demikian, ia harus mengikuti Acha berjalan di belakang, memaki Devid yang tidak ada di sampingnya.

Sesampainya di dalam apartemen, Acha mempersilakan Devita untuk membersihkan diri ke kamar mandi. Tanpa diminta pun Devita langsung pergi, ia memang memperlihatkan ketidak sukaannya kepada Acha. Setelah ungkapan waktu menaklukan puncak Ciremai. Ah, rasanya Acha ingin menjerit tertawa bahwa Devita sendiri yang menahan amarah dan cemburu.

"Gimana, dia mukanya kek apaan?" tanya Devid, sekarang ia mengenakan kaus lengan pendek dan kolor hitam.

Acha mendekat, lalu berbisik, "Kek wajah-wajah pelakor di sinetron, haha!"

Mereka menahan tawa sampai terguling-guling di karpet depan televisi yang menyala dan suara deheman si pelakor terdengar. Secepat mungkin merubah ekspresi dan cara duduk. Seolah pemilik apartemen itu adalah Devita. Jadi, mereka harus menjaga tatakrama.

"Gua mau langsung tidur," ucap Devita, tanpa ditanya.

Untuk menghargai ucapan pamit dan basa-basi itu Acha memberikan anggukan dan tersenyum lebar sangat lebar. Setelahnya Devita beranjak pergi, masuk kamar yang tepat berada di samping kamar Acha dan Devid. Lalu, tawa yang tertahan pun kembali terdengar, Devid sampai menjitak kepala Acha karena gemas akan ekspresi Devita barusan.

"Anjir, sakit, Dev!" jerit Acha sambil mencebik.

Devid yang masih tertawa hanya kelihatan matanya yang terpejam-pejam sambil memegang perutnya.

"Astagfirullah, ngakak, banget, anjir!"

"Stt ... nanti balik lagi, alesannya pengen minum!" bisik Acha, mengingat kebiasaan Devita jika berada di apartemen mereka. Tiba-tiba keluar kamar lalu mengatakan alasan aneh, tapi waktu balik lagi ke kamar ia tidak membawa benda yang katanya dibutuhkan.

Mereka pun menghabiskan cokelat hangat yang dibawa Devid, masih di depan televisi yang menyiarkan film horor pilihan Acha. Dalam satu selimut, saling memeluk melupakan Devita yang menahan amarah di balik pintu kamar remang-remang.

Devita jadi kamcong wkwk

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang