"Pacaran? Mungkin nanti, rasanya umur ini masih dini."
Suara bel pulang sudah berbunyi nyaring, mengharuskan seorang guru yang mengajar agama Islam memberikan pesan agar semua lelaki muslim mempersiapkan diri untuk menunaikan ibadah wajib setiap jumat. Selesai membaca doa, semua siswa keluar dengan cepat, sedangkan Devit masih santai bercengkerama dengan teman sebangkunya, yaitu Firman.
Ketika mereka berjalan melewati gerombolan cewek seangkatan ataupun kakak kelas, selalu terdengar bisikan memuji tampang yang mereka berdua miliki. Jika Firman selalu meladeni dengan santai melempar gombalan maut, Devit sebaliknya hanya melempar senyum seadanya saja. Tidak lebih.
Sebelum menggapai gerbang yang terbuka lebar, keduanya harus melewati sebuah masjid dua lantai. Sudah dipenuhi banyak siswa berseragam pramuka, ada juga yang sengaja memakai sarung dan peci putih. Devit menghentikan langkahnya, begitu juga Firman.
"Gak jumatan di sini, Fir?"
Firman melirik Devit. "Bukannya mau jumatan, Dev! Tiap detik perasaan diajak becanda mulu gak fokus gua ibadahnya! Di masjid depan perempatan aja, dah!"
"Aduhh ... Ustaz Firman mulai dakwah," kekeh Devit sambil menepuk-nepuk bahu Firman.
Firman sendiri langsung mengajak Devit segera keluar gerbang, hari ini ia tidak meminta Devit mengantarnya pulang. Karena motornya sudah kembali, tidak dibawa lagi oleh kakaknya yang masih duduk di bangku SMA.
"Motor gua di mana, ya!" Firman mencari-cari, dari arah belakang suara cempreng perempuan membuat Firman dan Devit terdiam.
"He! Lo yang sok ganteng!"
Bukan panggilan aneh yang membuat Devit berbalik, tetapi suara Gita yang tak asing di telinganya. Benar saja saat Devit berbalik, gadis itu berlarian menghampiri diikuti teman sebangkunya yang selalu menggoda Gita agar berpacaran dengan Devit.
Devit mendekap kedua tangannya di dada, sedangkan sebelah alisnya naik dengan tatapan penuh tanya. "Gua punya nama kali."
Gita tidak peduli, asalkan pesan konyol yang wajib disampaikan bahkan sempat mendapat ancaman jika Gita menolak perintah ayahnya sendiri.
"BACA DALEM HATI!" titah Gita, seraya menyodorkan ponselnya.
Devit membaca dengan cepat pesan dari ayah Gita, bahwa ia diminta salat jumat di masjid besar yang mempertemukannya pertama kali dengan ayah Gita dan membongkar rahasia paling memalukan gadis di depannya.
"Baca apa, lu?" tanya Firman penasaran.
Devit melempar senyum kecil. "Pesan dari camer!" balasnya ngarang.
"ANJIR!" Firman menampol kepala Devit. "Gila, sejak kapan kalian pacaran?!"
"Acieee ... kok gak bilang-bilang, sih, Git!" Ica teman sebangku Gita sama-sama mulai menjengkelkan!
"Apa, sih, ngaco!" sungut Gita.
"Lo sendiri mau pulang naek apa?"
"Kita mau lari maraton, Dev!" balas Ica cepat tanpa diminta.
Gita memberikan pelototan tajam. "Naik angkot!" ketusnya, lalu merebut ponselnya dari tangan Devit.
Tanpa permisi Gita segera menarik Ica pergi dari hadapan Devit. Entah apa yang membuat gadis itu selalu kesal saat berhadapan dengan Devit. Mungkin dia masih malu soal rahasia alias aibnya sendiri? Entahlah, Devit segera mencari motornya.
"Lo bener pacaran sama dia, Dev?" tanya Firman lagi, tingkat keponya mulai merasuki.
Devit mengedikkan bahunya. "Masih proses mungkin," balasnya seraya menyambar helm hitam miliknya.
Firman terbahak. "Apa kata peggemar lo, Dev, kayaknya Gita gak terlalu cocok, deh! Kalo diajak main, pasti milih-milih!"
"Gua juga milih-milih!" ketus Devit.
Tak ada balasan lagi dari mulut Firman, ia segera pergi mencari motornya dan Devit tahu apa yang Firman maksud barusan. MIlih-milih, itulah mengapa Devit tidak terlalu menanggapi ocehan ataupun godaan cewek mana pun! Mau seangkatan atau kakak kelas. Ia ingin menjaga nama baiknya, bukan sebagai pelajar yang terjerumus masuk ke lingkaran hitam.
Bergaul dengan Firman juga sangat salah, mungkin suatu saat nanti teman sebangkunya itu akan memaksa Devit mengikuti dunianya? Memasuki klub malam diam-diam, nongkrong tidak jelas dan tanpa dipikir ulang mereka mengira menyesap dalam kopi, memainkan kepulan asap rokok adalah gaya kekinian! Dan semua itu sudah Firman rasakan bersama kakak kelas alumni SMP.
Devit segera melajukan motornya menjauh, meninggalkan pikiran negatifnya tentang pergaulan bebas. Meluncur tanpa hambatan memasuki tempat parkir masjid yang bersebelahan dengan gereja. Pak Ginan terihat jelas menunggunya sambil menatap layar ponsel. Mungkin sedang menghabisi banyak pertanyaan kepada Gita, apakah Devit akan datang? Atau menolak?
"Assalamualaikum, Om," salam Devit.
"Waalaikumsalam! Akhirnya kamu datang," sambutnya seraya memeluk Devit erat, seolah seorang ayah yang lama tidak bertemu dengan anaknya.
Tiba-tiba rasa nyaman membuat Devit tersadar. Inikah rasanya pelukan seorang ayah? Terasa memaksa diri untuk tegap bertahan, tegar jangan lelah mengikuti alur kehidupan! Setetes air mata berhasil meluncur, dengan cepat Devit segera menyekanya. Dadanya terasa bergemuruh cepat dan Pak Ginan menyadari itu, perlahan mengendurkan pelukannya.
Benar dugaannya, kedua bola mata Devit jelas berkaca-kaca. "Kamu kenapa?" tanya Pak Ginan.
Devit menggeleng cepat. "Enggak, Om, eh lama nunggu, ya?" tanyanya megalihkan pembicaraan.
Pak Ginan pun duduk kembali, tetapi tatapannya mengintai gerak-gerik Devit yang aneh. "Engga, kok, baru lima menitan. Kamu tadinya mau jumatan di mana?"
Devit menghempas bokongnya di samping Pak Ginan. "Tadinya, sih, mau di masjid depan perempatan, Om, kadang juga di sekolah, sih," terangnya.
"Saya gak ganggu waktu kamu, kan?"
Devit terbahak. "Kayak ke siapa aja, nih! Enggaklah, Om!"
Tatapan Pak Ginan lurus menatap lalu lalang kendaraan. "Saya mau ngucapin makasih, secara langsung karena udah nganterin Gita ke rumah dengan selamat."
"Ohh ... itu, kirain ada hal penting lain, Om."
Pak Ginan menoleh. "Mungkin kamu mau cerita? Saya bisa memegang rahasia kamu dan dijamin takkan bocor!"
Devit melempar senyum. "Cerita apa, ya, Om?"
Pikiran Devit langsung tertuju kepada papa yang tak pernah ia temui. Namun, sebelum mulutnya berucap, seorang jemaah memanggil Pak Ginan untuk membantunya membereskan karpet masjid sebelum salat jumat dilaksanakan.
"Anggap, saya ayah kedua kamu, Dev." Lalu Pak Ginan masuk ke dalam.
Devit terdiam, menunduk menatap kedua kakinya yang hanya dibalut kaos kaki hitam. "Ayah kedua," lirihnya."
Selesai salat jumat. Beberapa jemaah singgah untuk mencicipi makanan manis yang tersedia, mempersilakan beberapa pejalan kaki juga. Sudah menjadi kebiasaan sebagian uang dari kotak amal diolah sebagai makanan untuk para jemaah, termasuk orang dermawan yang dengan diam-diam tanpa memberitahukan namanya setiap jumat selalu mengantar cemilan, dari air minumnya sampai tiga buah kurma dalam kotak makan.
Devit membawa satu kotak dinikmati bersama dengan Pak Ginan, beberapa jemaah lain duduk di sampingnya dan membicarakan hal-hal mengenai ilmu pengetahun agama. Tawa renyah dan tegur sapa dapat Devit saksikan, tanpa memandang warna kulit ataupun derajat seseorang yang datang ke masjid. Manusia sebenarnya sama di mata Tuhan, hanya merekalah yang merasa paling tinggi derajatnya yang selalu membeda-bedakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Fiksi RemajaPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...