78. Ngekang, ya?

110 23 26
                                    

"Buang waktu ngurusin perasaan orang. Apalagi akhirnya yang nggak diinginkan, di luar dugaan."

Devid

Jadi, persaingan dalam diam sudah ditegakkan. Siapa pun berhak memperjuangkan rasa suka, selagi orang yang menjadi objek belum menentukan pilihannya. Kata Bram, Devid itu sering berganti pacar, tetapi hanya sesaat karena Devita selalu memberikan tatapan sinis tidak terima, sampai memusuhi semua perempuan yang mendekati temannya. Namun, Devid biasa saja menanggapi sikap Devita, mungkin itu hanya sifat jail saja. Tidak dipikir matang-matang atau bahkan curiga teman juga tetangga menyukainya.

Semenjak sama-sama menyukai seni, Devid sudah menganggap Devita sebagai adiknya sendiri. Di mana, kedua orang tuanya selalu menitipkan anak gadisnya itu. Jadi, apa pun yang menyiratkan kekecewaan, hal biasa bagi adik tercinta. Perjalanan terasa memanas, Devita yang duduk di samping jendela menekuk wajahnya tidak suka. Beraninya Acha berbicara di luar batas kepadanya, baru kali ini ada yang seberani seperti itu. Diliriknya Devid, sedang memainkan ponselnya, biasa masih dengan game yang entah kapan selesainya.

Dari bangku Acha dan Bram duduk, mereka menahan tawa melihat beberapa tangkapan momen di gunung yang konyol. Di antaranya, Acha tidak menemukan Devid, mungkin selama di puncak memang lelaki itu ingin menyendiri? Setelahnya, Bram mengirimkan potretan Acha dan mereka berdua ke WhatsApp. Sekejap, ia terdiam mendapati foto profil Bram di mana tangkapan mereka berdua, kala di puncak. Maksudnya apa? Buat apa coba? Acha bertanya-tanya, sampai Bram berkata fotonya sudah dikirimkan semua.

Nanti saja memikirkan hal yang tidak diinginkan, lutut Acha masih terasa berdenyut mengingat robekannya bisa dibilang lebar dan dalam, lukanya tertutupi celana panjang yang ketat juga seolah menekan dan menyakitkan. Sampai waktu menunjukkan pukul sebelas malam, semua penumpang bus mulai memejamkan matanya karena mengantuk. Acha yang masih tersadar melirik penghuni di samping, Devita menyandarkan kepalanya ke bahu Devid. Oh ... untuk memanasi? Batin Acha, lalu memalingkan wajahnya tidak suka. Karena wajah Devid masih santai saja diperlakukan perempuan itu.

"Mohon bersiap, sepuluh menit lagi kita sampai di Sekretariat MAPALA."

Informasi dari pak Santo membuat beberapa anggota yang terlanjur tidur terjaga dengan cepat, hari semakin gelap dan dinginnya pula menambah membekukan tubuh lemah. Bram terjaga, lalu membawa ransel kecilnya bersiap keluar dari dalam bus. Acha pun demikian, ia melirik ke bawah, takut ada barang yang terjatuh dari dalam ranselnya. Selanjutnya, bus berhenti tepat di depan gerbang yang terbuka lebar, Bram mengajak Acha untuk keluar, sedangkan Devid dengan pelan membangunkan Devita.

"Bangun, udah sampe," suruhnya, seraya menegakkan tubuh Devita agar terbangun.

"Emm." Devita melenguh, meregangkan kedua tangannya lalu mencari-cari seseorang dan mendapati Acha yang siap beranjak. "Ngantuk!" Detik itu pula, Devita memeluk pinggang Devid dengan manja.

Devid mendengkus. "Bangun, Bangke! Lu mau gua tinggalin, ha?"

Di belakangnya, Acha mencibir tidak suka, dasar cewek kegatelan udah tahu Devid risi, dengan cepat Bram mengajak Acha untuk beranjak. Ia juga melihat kepolosan Devita, lebih tepatnya mereka memang bisa dibilang adik kakak. Sebelum Acha benar-benar keluar dari dalam bus, ia melirik sekali lagi kepada Devid. Tangan lelaki itu mengelus sayang puncak kepala Devita yang tidak mau bangun, sialan memang sok ngantuk, batin Acha lalu melangkah pergi.

Devita bersorak dalam hatinya, ia berhasil membuat Acha terbengong-bengong. Salah siapa berani bersaing dengannya? Perempuan yang sudah mendarah daging bersama dengan Devid. Tidak akan dipastikan, siapa pun orangnya pasti akan berhenti mengejar pada waktunya. Karena, Devid adalah milik dirinya, titik. Dirasa Acha sudah hilang dari pandangan, barulah Devita pura-pura kesal dan menggerutu harus bangun, tidak lama sebuah jitakan keras mendarat di puncak kepalanya.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang