103. Terima Kasih Tuhan

86 22 17
                                    

"Terasa singkat, tetapi itulah kebahagiaan sebenarnya. Lupakan dahulu masalah nyata, semua ada waktunya untuk bersedih dan tertawa."

Setelah perpisahan di dini hari itu. Acha dan Devid masih berkomunikasi terkait apa yang terjadi. Begitu pun Devid, telah menceritakan soal Grilna yang ingin menjodohkannya dengan Devita. Maka, niat mereka berdua untuk kawin lari semakin mantap. Namun, lagi Acha yang ragu untuk melangkah. Cita-citanya harus tergapai menjadi lulusan terbaik di Universitas Indonesia, tetapi bagaimana jika ditakdirkan oleh Tuhan harus demikian?

Devid yang tahu keraguan Acha, ia meyakinkan setelah ijab kabul semua kehidupan akan berjalan dengan lancar lagi. Namun, tidak segampang itu. Sinta pasti mencabut biaya kuliah melihat Acha tanpa restunya menikah. Begitu, bukan? Kecuali, jika seseorang membiayai dan siapa? Jawabannya adalah Chandra, ayahnya sendiri. Devid bertugas mendatangi kantor konsultasi anggota TNI ia ingin berbicara langsung kepada calon ayah mertuanya.

Sampai, dua jam lebih menunggu karena ia datang tepat waktu berjaga di perbatasan. Chandra bisa langsung berbicara dengan Devid, awalnya ia tidak percaya mengingat kabar bahwa Devid telah meninggal dunia. Tanpa menunggu lama, lelaki dengan jaket hitam itu langsung menceritakan kisah dirinya dan Acha bertemu. Siapa yang tidak terharu? Chandra yang sudah lama tidak bertemu dengan Acha sangat terpukul, hingga inti dari pembicaraan Devid ungkapkan.

Waktu dan tempat dipersilakan. Bukan minggu depan atau bulan depan. Yang ada, besok hari! Chandra harus kembali ke kota di mana banyak kenangan dirinya bersama Acha. Bandung, tentunya. Devid pun menjelaskan memang terdengar kawin lari tanpa restu. Namun, mereka masih diberikan jalan oleh Tuhan, Chandra adalah salah satu penyelamat dari segalanya. Tanpa sepengetahuan orang lain lagi, kecuali bu Siti dan Ardila, Acha meminta keduanya sebagai saksi dan pergi ke Bandung langsung pagi ini.

"Anjir, lu gila Cha? Yang pacaran lama juga gua, eh yang mau kawin duluan elu!" seru Ardila tidak memercayai bisikan Acha barusan. "Atau jangan-jangan lu udah diapain, ya!" cetusnya.

Setelah mengucapkan kata fitnah itu, Acha menjitak kepala Ardila dengan cepat, sedangkan bu Siti hanya menelan ludahnya kasar.

"Gila, gua kawin lari kagak karena itu kali. Ini soal perasaan, sama menolak perjodohan!" jelas Acha, secepat kilat meralat omongan tukang gosip.

Bu Siti menimpal, "Kalo itu yang terbaik, hayu aja atuh. Lagian bosen di sini mulu."

Tidak lama kemudian, orang yang akan mengikrarkan ijab kabul nanti datang. Setelan bajunya biasa, mengingat nikahnya nanti. Namun, reaksi Ardila yang berlebihan. Ia tidak mungkin melupakan lelaki yang malam itu ditabrak Acha dan tanpa meminta maaf, Acha kabur menghampirinya begitu saja.

"Lu serius kawin sama tuh, cowok?" bisik Ardila, sepelan mungkin agar Devid tidak mendengar.

"Iya, dia sahabat gua yang ilang! Sekarang dah ketemu," balas Acha, seraya memperkenalkan Devid kepada bu Siti.

"Ini Ardila, Dev," ucap Acha, seketika Ardila menabok punggung Acha dengan kerasnya, dasar cewek tomboi, maki Acha dalam hati.

Ardila menodong Devid dengan telunjuk. "Gua gak salah, lu kan cowok yang ditabrak Acha waktu malam mingguan! Cha." Ardila menoleh. "Waktu itu lu milih pergi dan gua makan bareng sama doi, di pasar malam!"

Pasar malam? Nabrak Devid? Acha benar-benar lupa. Namun, Devid yang memang tertabrak mengingat, tetapi ingatannya hanya melihat wajah Ardila yang senyum-senyum sendiri lalu berbisik kepada temannya yang terlihat risi. Ternyata di sampingnya itu Acha? Orang yang menabrak tanpa meminta maaf? Ah, sialan mengapa Tuhan membuat teka-teki antara ingin mempersatukan tapi tidak jadi? Namun, beruntunglah, sekarang Tuhan telah mempersatukan.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang