131. Mana Puncaknya?

30 4 0
                                    

"Tertawalah selagi masih mampu menutup banyak luka di dada."

"Kapan naik gunungnya, Ma?" tanya Devit dengan polos, membuat Atul dan temannya Risa tertawa kecil.

"Cie ... udah gak sabar, ya?" Atul menjawil pipi kanan Devit.

"Hehe, Tante mau ikut juga bareng Devit?"

"Mau, dong! Emang kamu doang!"

Devit bersorak, "Yeay! Mama, ada temennya!"

Acha mengelus bahu anaknya itu. "Iya, udah, yuk, cuci muka terus salat subuh," ajaknya.

Tidak ada acara mandi pagi segala dan itu membuat Devit semangat ingin cepat naik-naik ke puncak gunung. Mengapa bisa semangat walaupun tidak mandi? Tentu saja bocah mungil itu merasakan dinginnya air yang membasahi kulitnya, sampai meminta kepada Acha untuk memasak airnya dulu sebelum mengambil wudu.

"DINGIN! KAYAK ES BATU!"

Karena Acha terus memaksa harus mengambil air wudu. Dijelaskanlah bahwa Devit tidak perlu mandi, Devit pun menurut. Tidak lupa mendapat hiburan lain dari orang-orang yang akan menjadi teman pendakiannya, berawal dari Bram yang meyakinkan Devit bahwa ia tidak mandi pagi itu juga, tetapi hanya mengambil air wudu saja.

Selesai sarapan pagi, semua perlengkapan kembali ditata rapi di dalam carrier. Melihat tas besar yang digendong oleh orang-orang di dekatnya, Devit merengek ingin mencoba milik Acha. Sayang, carrier dan tubuhnya sungguh jauh berbeda. Untuk mengawali pendakian, mereka semua dipimpin doa oleh Irsad.

"Bismillah, semoga niat tadabur alam ini tidak ada hambatan yang melintang. Sampai ke titik tujuan dan pulang kembali dengan selamat, aamiin!"

Sebuah mobil kap terbuka datang, menjemput rombongan berjumlah sepuluh orang. Butuh waktu kurang lebih sepuluh menit, mereka semua diturunkan di depan jalan kecil yang hanya mampu dimasuki satu motor saja. Jadi, mereka harus mulai berjalan kaki. Trakking pole segera dikeluarkan, sebagai pegangan dan alat bantu perjalanan. Devit mendapatkannya juga, Bram selalu ada di belakang Acha untuk mengawasi.

"Puncak gunungnya di mana, Ma?" tanya devit dengan polos.

"Belum keliatan, sekarang kita masih ada di kebun penuh sayuran," jelas Acha, menunjuk beberapa tanaman yang belum siap panen.

"Ada jagung!" seru Devit, menunjuk deretan lahan jagung yang mulai mematang.

Perjalanan yang normalnya hanya memakan waktu empat dan paling lambatnya lima jam, terasa sangat semakin melambat karena Devit yang sering mengeluh. Bram menjadi seseorang yang memberikan banyak perhatian, tidak lupa memantau Acha yang takutnya terpeleset karena pasir hitam benar-benar habis diguyur hujan tadi pagi. Walaupun tidak deras sekali, tetapi mampu membuat sepatu terselip-selip.

Setelah Bram memutuskan menggendong Devit, akhirnya base camp tempat istirahat sudah ada di depan mata. Rombongan itu segera berhenti, sedangkan Irsad segera memberikan beberapa perwakilan data diri dan mulai briefing dengan pengelola base camp Cikahuripan. Acha memilih duduk di sebuah warung yang banyak menjajakan makanan, Devit juga langsung rebahan di atas dipan.

"Minum dulu, nih." Bram menyodorkan air mineral, langsung disambar Devit tergesa-gesa.

"Huft! Puncak gunungnya di mana, sih, Om? Masih lama?" keluh Devit seraya menutup botol airnya.

Bram mengacak rambut Devit yang basah karena keringat itu. "Enggak, cuma beberapa menit lagi," ucapnya berdusta, agar Devit kembali semangat.

"Berapa menit coba?"

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang