"Jika tak mampu menaklukan rasa, janganlah berjuang sampai berlebihan dan berakhir kehilangan seseorang yang diinginkan."
Suasana sore di hari sabtu, masih diiringi deru angin bergemuruh, kadang dari hilir kadang pula berputar-putar ke sana ke mari. Tenda yang menjadi pelindung, tak sanggup menahan cambukan alam yang menyiutkan nyali untuk keluar. Dinginnya udara, berhembus kencang masuk ke setiap celah lubang tenda. Keadaan Acha, Devit, Atul dan Risa yang tidur telentang, menatap malas langit-langit tenda yang terus bergoyang-goyang.
Tak ada satu pun bayangan di dalam tenda seperti ini, dingin menggigil, gemuruh tak hentinya. Tamparan angin ke sana ke mari. Inikah keadaan sebenarnya pendaki bermalam di puncak? Berada di ketinggian dua ribu lebih di atas permukaan laut? Di mana dinginnya benar-benar membekukan. Menusuk tulang kering yang rasanya akan remuk. Kembali Acha menyelundupkan tubuh mungilnya, mencoba bertahan di balik SB yang hangat itu.
Lantunan muratal masih terdengar, hingga ia memutuskan bangkit dari pembaringan. Membuka pintu tenda, menatap keindahan nyata di ufuk barat sana. Senja. Siapa pun akan mengenal dan mendamba warna kebanggaannya. Siapa yang rela melewati keindahan Tuhan nyata di depan mata? Diiringi riak awan terbawa angin, terbentang tiga puncak menjulang indah.
Senja. Hampir tertutupi oleh dinding putih kabut tebal. Deretan pintu tenda lain tertutup juga, Acha kembali mundur merebahkan tubuhnya. Jauh dari harapan, ia kira sore menjelang malam akan ada api unggun dan bakar-bakar jagung. Sembari menyesap dalam kopi hitam. Nyatanya? Mereka terjebak hujan dan angin yang semakin membekukan. Beruntung tidak ada badai yang dikatakan di bawah tadi, mereka hanya merasakan hujan dan angin.
"Di luar dugaan banget, tapi udahlah semua Tuhan yang nentuin," lirih Atul, di samping Acha.
Acha menoleh, melempar senyum untuknya. "Sorry, ya, saya juga jadi seseorang yang mengakibatkan keadaan kacau."
"Jangan nyalahin diri sendiri, Kak, semua udah ditentukan sama Tuhan," bela Risa, tepat tidur di samping Atul.
"Makasih, gak tau lagi harus ngomong apaan." Acha menegakkan tubuhnya, menatap nanar Devit yang masih memejamkan matanya. "Dia gak bakal kenapa-napa, kan?"
"Kayaknya cuma kecapean, Kak, udah daripada bangun nanti ngerengek pengen pulang," saran Atul, membuat Acha terpaksa merebahkan diri di samping Devit lagi.
Kedua matanya menatap sayu wajah anaknya itu, Devit ... bukan salahnya ia merengek ingin pulang. Semua sudah terbukti, saat kakinya baru menapaki puncak. Menatap kejauhan di sana riak awan putih, terbang terbawa angin sore dan hujan begitu saja melenyapkan senyum bahagia. Terburu-buru memakai pelindung badan, agar tidak kehujanan. Namun, semuanya di luar kendali. Sebuah poncho tidak menjamin keadaan baik-baik saja dari tetesan air langit.
Devit menggigil, ia memanggil mamanya. Sayang, wanita itu memilih dengan keegoisan keras kepalanya. Tanpa memikirkan bagaimana keadaan Devit sebenarnya. Setetes air mata lolos, Acha mengerjapkan kedua matanya. Mulai terasa, hidungnya tersumbat. Ah, Acha berkali-kali menyesali perbuatannya. Tiba-tiba, terlihat bayangan dari luar, seseorang mendekati pintu tenda.
"Kayaknya, Kak Bram," tebak Atul, seraya menegakkan tubuhnya, sedangkan Risa terlihat diam nyaman terbungkus SB.
Atul yang tepat berhadapam dengan pintu tenda, segera membuka resletingnya. Benar tebakannya, Bram melempar senyum dengan kedua tangan membawa dua cup mie yang sudah diseduh. Ah, ya, mereka berempat baru memakan cemilan saja. Dari belakang Irsad juga membawa bagian Atul dan Risa. Di luar, hujan tak lagi selebat tadi. Jadi, mereka bertiga bebas keluar dari tenda.
"Tadi kita masak, gak mungkin banget 'kan nunggu hujan reda," jelas Bram, seraya menyerahkan satu cup mie untuk Acha. Ia melirik Devit yang masih tertidur pulas. "Kalo mau, biar gua yang jaga dia, Cha."
Acha melirik Devit yang dimaksud. "Gak papa di sini aja, gua bisa jaga, kok," tolaknya.
Bram mengangguk pasrah, lalu pamit kembali ke dalam tendanya juga membawa mie bagian Devit. Setelah mendapati mie masing-masing, ketiganya makan dalam keheningan. Suara hujan yang bergemuruh benar-benar hilang tepat jarum jam tangan menunjuk pukul 20.15. Namun, udaranya tetap sama dingin menggigil, hanya bisa keluar dari tenda dan Acha melakukannya. Ia menitipkam Devit kepada Atul yang masih terjaga, enggan keluar, sedangkan Risa lagi-lagi meringkuk dalam SB mencoba tertidur.
Langkah kaki Acha mendekati sebatang pohon yang mati, langsung ia duduki dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jaketnya. Mencari kehangatan lain walaupun sudah terbalut kaus tangan yang tebal. Ia menghirup udara dalam-dalam. Pemandangan di depan adalah puncak Guntur via Citiis. Mungkin, kata orang baru apa yang dilihatnya adalah karang putih, tanpa dedaunan hijau apalagi pohon besar berakar.
Sekaranglah, di kegelapan malam Acha menyimpulkan puncak itu adalah karang putih yang mati. Saat tatapannya ingin menyapu bersih pemandangan malam di sana, tiba-tiba suara langkah kaki menginjak rumput di belakang membuatnya menoleh. Mendapati senyuman Bram yang menenangkan. Mau apalagi lelaki itu? Tidak bisakah memberi jeda agar Acha bisa sendirian? Tidak bisa! Setelah kejadian tak diharapkan tadi, Bram takut Acha akan berbuat sesuatu di luar dugaan.
"Jangan banyak ngelamun," tegur Bram, seraya duduk di samping Acha.
"Gua gak ngelamun!" ketusnya.
Bram tersenyum kecil. "Kalo besok pagi cerah, lo bakal disuguhin dua puncak bahkan tiga sekaligus di sana!" Tangannya menunjuk deretan yang belum pernah Acha ketahui, secara jelas.
"Gua gak peduli."
"Gua cuma ngasih ta-"
"Puas lo? Maksa ngajak Devit naik gunung? Maksa buat dia tetep semangat? Tetep ngerasa kuat? Tet-"
"CHA!" potong Bram, ia menatapnya dalam. "Gua gak ada niatan ngasih pengalaman buruk untuk pertama kalinya Devit naik, gak sama sekali!"
Acha memalingkan pandangannya, ia tak sudi menatap wajah Bram yang sok benar. Bahkan jika Tuhan memberikan keajaiban, dengan cara melompat ke jurang sana agar terhindar dan dijauhkan dari Bram ia akan melakukan. Namun, kemungkinan nyata bukan seperti itu. Ia pasti akan mati. Meninggalkan Devit yang tidak baik-baik saja dan sama sekali belum pernah bertemu dengan ayah kandungnya.
"Ini juga bukan salah lo, Cha, ini udah takdir. Udah kayak gini jalan ceritanya," jelas Bram, agar Acha tidak salah paham akan ucapannya.
Acha berucap, "Takdir? Lo, tuh, pemaksa, Bram! Gua udah bilang gak bakal mau, tapi lo tetep maksa sampe minta bantuan ke orang lain!" Acha berbalik, tatapan matanya menajam penuh emosi. "Ini 'kan yang lo mau? Devit sampe ke puncak? Anak kecil lain juga bisa naklukin kejamnya cuaca di puncak gitu?"
Bram tak mampu membalas tuduhan itu, berakhir Acha tersungkur menahan jeritan. Kedua tangannya mengepal keras, ia meringis, "Lo tau? Gua ngerasa jadi pembunuh untuk kedua kalinya! Bahkan keempat kalinya, Bram!"
"Lo bukan pembunuh," protes Bram, ia siap merengkuh tubuh Acha, tetapi wanita itu segera menghindar.
"Ini pendakian terakhir! Pendakian yang gak bakal gua ulang bareng lo!" sentak Acha, lalu ia memutuskan pergi meninggalkan Bram yang hanya mampu menggigit bibir bawahnya keras.
Note : Maaf, ya, aku tetep update satu bab soalnya masih sibuk di duta :(
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Novela JuvenilPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...