110. Gak Adil Emang

85 16 3
                                    

"Membiarkan Acha tidur nyenyak di samping sedangkan gua nyetir? Oh, jawabannya naik motor."

Devid

Pringatan! Ada ciuman singkat, skip yang masih bocil wkwk

Apa yang dijanjikan dengan cepat Devid lakukan. Ia pergi menuju Kota Bandung hanya mengendarai motor, katanya ingin merasakan Acha memeluknya erat dari belakang. Sebelumnya pamit kepada Dinda dan berjanji juga akan mengajak Acha. Memang, Kota Bandung mengajak nostalgia. Apalagi sekarang bisa leluasa hanya dengan motor. Menatap pantulan orang-orang di dalam angkot, yang kepanasan sampai terlihat terkantuk-kantuk. Dulu, dirinya bersama Acha sempat ada di dalam sana, membuka kacanya lebar-lebar agar angin menerpa.

Belum lagi di saat mereka yang masih mengendarai sepeda. Semakin heboh melalui perumahan hingga sampai ke sekolah. Namun, semuanya berhenti pada waktunya. Naik motor dan Acha takkan dibiarkan untuk belajar. Devid adalah lelaki yang ditakdirkan untuk mengantar Acha ke mana-mana, tetapi waktu dirinya hilang ingatan, Acha selalu bersama siapa? Ah, ya, bukankah selalu bersama Bram? Di mana mengikuti komunitas MAPALA, semuanya berawal dari sana. Sampai, menemukan titik terang, bahwa ingatannya dilupakan dan harus disadarkan.

Alamat yang diberikan oleh Acha tidak lama lagi sampai, pos satpam di depan berjaga ditemani kopi hitam mengepul, tidak lupa sebatang rokok menyala, terhimpit di bibir kehitamannya. Devid menepi, memberikan klakson. Setelahnya, satpam itu membuka gerbang dan bertanya siapa gerangan dan ada apakah urusan. Devid segera menjawab, bahwa ia akan menemui Acha putri dari Sinta. Tanpa menunggu lama satpam itu membukakan gerbang lebih besar lagi, mempersilakan Devid agar memasukkan motornya.

Dulu, ya, Devid sempat ke sini membawa bola basket milik Reina. Terus dia menggoda temannya itu, yang di saat masuk ke pameran memilih permainan meramal katanya dia suka atau cinta, ya?

"Jangan liat gigi ompong gua!" teriak Reina.

Devid tertawa. "Sekarang udah cantik, kok," ucapnya menggoda.

"Nama kontak gua, Devid ...," geram Reina.

Tubuh Devid mendekat, memutus jarak di antara mereka. Membuat Reina sedikit menjauhkan diri ke belakang.

"Gak usah deket-deket!" pekik Reina.

Namun, bukan Devid namanya jika tak melanggar keinginan seseorang untuk ia goda. "Kamu."

Ucapan Devid membuat Reina mematung. Matanya sudah terkunci, kedua bola mata Devid sangat dekat, warnanya hitam legam sampai pantulan matanya tak dapat ia lihat. Hingga embusan napas Devid yang tercium aroma mint, terasa memabukkan.

"Kamu," ulang Devid.

Kesadaran Reina kembali. Kakinya mundur, lalu mengetikkan jawaban Devid. Suara ponsel berdering belum terdengar, Reina mencari-cari ke kamarnya, tetapi belum menemukan. Sampai di dekat mesin cuci, suara dering ponselnya tepat di atas lemari es.

Reina mendekat dan benar saja ponselnya berada di sana. Terlihat Devid memperhatikan pernak-pernik peninggalan ibunya itu. Ayahnya tak pernah membuang atau membencinya karena cintanya masih hanya untuk ibunya seorang.

"Nih!" Reina menyodorkan ponsel Devid. "Kenapa nama kontak gua gitu?"

Devid menyimpannya di saku celana pramukanya. "Maunya, apa? Sayang?" tanya Devid menautkan alis tebalnya.

Wajah Reina sudah memerah, mungkin telinganya pula. Karena rambutnya selalu diikat ke belakang.

"Nama gua, lah!" ketus Reina seraya keluar dari rumah.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang