"Akan selalu ada jawaban dari setiap pertanyaan."
"Om, Devit pulang duluan, ya," pamit Devit, mengingat kadaan ibunya sedang tidak baik-baik saja.
"Anak muda, ada apa gerangan dengan cepat kau beranjak pergi?" Salah satu kenalan Pak Ginan bertanya.
"Eh, anu ... biasanya saya langsung pulang, Pak," balas Devit dengan senyum lebarnya.
"Ya udah, asalkan jangan mampir ke tampat yang tidak berguna!" seru Pak Ginan.
Devit mengangguk cepat, lalu mencium satu per satu punggung tangan para jemaah sambil mengucap salam. Dalam perjalanan pulang, Devit memikirkan perkataan Pak Ginan soal ayah kedua. Jadi, tidak ada salahnya bukan curhat kepada orang yang memberikan tempat? Memastikan rahasia terjaga dan Devit memang sedang membutuhkan orang yang hanya cukup menjadi pendengar. Hanya itu dan Pak Ginan adalah jawabannya.
Di dalam lift Devit berharap keadaan ibunya sudah lumayan membaik. Besok juga adalah hari penting bagi Bram, apakah ibunya akan datang? Setelah kejadian tak diharapkan yang sama sekali Devit tak mengetahui penyebabnya. Sesampainya di depan pintu, ia memencet bel tidak lama pintu terbuka, raut wajah Acha terlihat penuh senyum bahagia. Ada apa? Apakah ibunya sudah baik-baik saja? Devit berharap begitu.
"Biasanya pulang jam satu, sekarang kok lebih setengah jam?"
Pertanyaan Acha dengan cepat mengalihkan fokus Devit akan aroma masakan yang memabukkan.
"Mama masak apa? Harum banget!" Dikecupnya salah satu pipi tirus Acha.
"Kamu belum jawab pertanyaan, mama, loh, Dev!" protes Acha.
Devit memeluk sekilas ibunya. "Ada, deh!" Langkah Devit berlarian menemukan keanehan di siang hari. "Kok, masaknya banyak banget! Emang mau ada tamu?"
Acha mendekap kedua tangannya di dada. "Enggak ada, mama cuma mau masak kesukaan papa kamu, Dev."
Deg!
Devit menoleh, tetapi raut wajah ibunya tak nampak menyiratkan rasa luka yang mendalam. "Tapi gak harus semuanya, Ma, siapa juga yang mau ngabisin dalam sehari?"
Devid mungkin akan pulang nanti malam? Kita tidak tahu rencana Tuhan, bukan? Semoga saja begitu!
"Kita bagi ke tetangga!" Acha menghampiri Devit. "Yuk, kamu pasti laper!"
Laper banget! Sebelum Acha mengatakan bahwa masakannya adalah kesukaan papanya yang tak pernah ada di depan mata. Devit tahu, Acha sedang menahan tangis diam-diam. Begitu tegar perempuan yang sudah mengurusnya dari kecil tanpa kehadiran seorang suami dan ayah baginya. Lihatlah, dengan senang Acha menyiapkan nasi dan lauk pauk untuk Devit makan.
Dari sayur daging ditambah bakso, nasi goreng seafood, omelet bertabur cabai kering sampai tersaji tiga telur mata sapi. Untuk siapa? Tentu saja ibunya itu sedang menganggap bahwa suaminya akan pulang tidak lama. Jangan lupakan pula tiga gelas susu hangat di atas meja! Apakah ibunya benar baik-baik saja, Tuhan? Batin Devit mulai ketakutan.
"Kamu malah ngelamun, Dev!" seru Acha.
Devit tergagap, "S—siapa juga yang ngelamun!"
Acha menyodorkan piring yang sudah terisi ke hadapan Devit yang belum menarik kursi, untuk duduk di samping Acha.
"Kamu nunggu apa, sih? Ayo kita makan," ajak Acha.
Sebelum Devit membalas, suara bel pintu berbunyi nyaring dengan cepat Devit berkata, "Devit yang buka, Mama di sini aja, ok!"
Tidak ada penolakan, Acha segera menegak susu hangatnya. "Siapa, ya?"
Tanpa menunggu lama Devit segera berlari, menarik pintu dan menemukan seorang lelaki bersetelan sedikit kurang rapi. Rambutnya yang sering terbakar matahari terlihat kecokelatan, sorot matanya dalam menenangkan, sedangkan setelan baju yang dikenakan bak kebesaran. Mungkin bukan baju ukurannya?
Namun, bukan penampilan lelaki itu yang membuat Devit terdiam tidak memercayai. Beberapa detik yang lalu, bola matanya melotot tak sanggup memercayai penglihatan matanya. Lelaki itu, pemilik wajah yang sama terbingkai di kamar ibunya! Terbingkai indah dan Acha mengenalkan bahwa sosok lelaki itu papanya.
"Ini mimpi, kan?" tanya Devit kepada dirinya sendiri, kedua tangannya mulai basah karena keringat dingin.
"Siapa, Dev!" teriak Acha dari dalam.
Devit tersadar akan kehadiran tamu yang diam menatapnya penuh tanya juga. Siapa pun yang mendapati keduanya, pasti akan menganggap saudara kembar. Hanya saja lebih tinggi tubuh lelaki berpenampilan ancur itu, dibanding Devit yang masih duduk di bangku SMP.
Di ruang makan, Acha sama sekali tidak mendengar sahutan Devit. Apa mungkin Bram yang datang? Mencoba meminta agar Devit mau membuka pintu untuknya? Pemikiran negatif itu membuat Acha cepat beranjak dari duduknya. Berlari menemukan Devit yang mematung, berhadapan dengan seorang lelaki asing!
Bukan, bukan lelaki asing! Dada Acha bergemuruh tak menentu, begitu juga dengan lelaki itu. Tangan Acha memegang dadanya, terasa sakit menusuk dalam panah tak kasat mata. Devit menyadari ibunya datang, mata Acha mulai berkaca-kaca, siapa gerangan lelaki itu? Lelaki jelmaan Devid? Bukan! Dia memang sangat mirip dengan Devid.
"Gua percaya itu, lo! Gua gak bakal ngelepas lo lagi, please! Kalo itu lo, lelaki brengsek sepuluh taun lamanya ngilang, peluk gua! GUA MOHON!" jerit Acha, napasnya mulai tak beraturan.
Devit masih bingung, sampai kaki lelaki yang asing di depannya itu melangkah. Mendekati Acha yang sudah menunduk tak kuasa dengan kenyataan. Ia takut bahwa tatapan matanya hanya imajinasi karena terlalu banyak memikirkan Devid suaminya.
"Maafin gua, Cha."
Suara itu, suara lelaki yang diharapkan datang! Tubuh Acha semakin gemetar dan tidak lama pelukan hangat terasa nyata, pecah sudah linang air mata. Devit menyaksikan itu semua. Nyata! Bahwa seorang ayah sudah datang, mengobati luka kerinduan.
"Maafin gua," lirih lelaki itu, mengulang pernyataan yang sama saat kedua tangannya memeluk erat tubuh perempuan yang terakhir kali ia peluk sedang berbadan dua.
Sekarang tubuh perempuannya seolah tinggal rangakain tulang yang dipaksa tegap berdiri menampung beban. Begitu menyiksa sepuluh tahun lamanya menghilang! Meninggalkan janji akan kembali tak lama, meninggalkan pesan bahwa dia yang akan mengumandangkan azan di samping telinga anak yang dinanti!
Tersadar, lelaki bernama Devid Prabu Androno itu. Perlahan tangan kanannya terlepas mengurai pelukan, melirik getir buah cintanya dengan Acha dan Devit tahu apa yang harus ia lakukan! Dipeluknya erat kedua orang tua yang dapat ia rasakan utuh dan nyata!
Biarkan seperti ini, Tuhan, sampai maut memisahkan! Jika perlu, biarkan aku yang mati mendahului keduanya, pinta Devit dalam hati. Begitu indahnya, bahagianya bersama dalam haru kebahagiaan. Sebuah ciuman dalam tepat di puncak kepala, ciuman pertama dari seorang ayah.
"Maaf."
Acha mengurai pelukan kerinduan, menatap bahagia manusia nyata yang selama sepuluh tahun tak lepas mendoakan agar kembali dalam keadaan utuh. Walaupun dapat dilihatnya jelas, Devid sedikit berubah. Warna kulitnya tidak seputih susu lagi, tetapi cokelat manis karena sengatan matahari. Terik matahari adalah sebagian dari hidupnya selama sepuluh tahun menghilang, biarkan ia bercerita nanti.
"Lo punya hutang banyak!" ketus Acha.
Devid terkekeh, lalu menjawil ujung hidung mungil Acha. "Saya akan membayarnya dengan cepat, Ibu dari anakku ...!"
Ternyata sifat humorisnya tidak hilang! Didekapnya lagi tubuh Devid.
"Jadi di rumah kecil kita, nama Devid ada dua?"
Acha mendongak. "Sotoy, hu!" Ditariknya tangan Devit. "Anak bujang kita ini, namanya Devit! Pakek T bukan D!" terang Acha
Devid terbahak, lalu mengulurkan tangannya. "Hallo, saya Devid papa kandung kamu ...," ucapnya menciptakan tawa bahagia.
Devit tak mampu menahan tawa, dijabatnya tangan kasar Devid. "Senang bertemu dengan Papa kandung, jangan ngilang lagi, ya."
Namanya juga anak kandung tidak jauh dari sifat ibu dan ayahnya. Sekali lagi, gelak tawa memenuhi apartemen kecil itu. Biarkan mereka bertiga melempar guyonan, mengobati rindu yang lama tertahan. Jangan biarkan orang-orang berani meruntuhkan, diam-diam mencoba mengkoyak keluarga yang mulai melangkah menuju bahagia sesungguhnya.
Note : Aciee siapa yang nunggu momen ini??
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Roman pour AdolescentsPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...