77. Strategi Menikung

111 22 37
                                    

"Kadang, jiwa pendiam ini harus terpaksa berubah, menjadi tidak waras, demi meluruskan yang salah dan menjauhkan sampah."

Acha

Dentuman musik DJ memulai perjalanan pulang, ditemani guyuran air hujan yang semakin menjadi-jadi lebatnya. Semua tanaman petani hijau segar, tidak lagi gersang. Sepanjang jalan, sepi dan lenggang, dinikmati Acha. Kedua tangannya mendekap cemilan, normalnya perjalanan kurang lebih membutuhkan waktu tiga jam. Untung saja mereka tidak kemalaman di track pulang. Jaket satu-satunya juga sudah basah, terpaksa tubuh Acha hanya terbalut kemeja kotak hitam yang tipis.

Melihat keadaan Acha yang menahan dingin, Bram kala itu memakai jaket army yang tidak dipakai waktu turun dari gunung, tanpa berpikir ulang dibukanya jaket itu lalu diserahkan kepada Acha. Ia masih canggung, jika tiba-tiba memakaikan sendiri lewat bahu Acha. Awalnya menolak, tetapi Bram dengan cepat meyakinkan kondisinya yang takut masuk angin. Toh, tubuh lelaki tahan banting, angin pun tidak mampu mengalahkan.

Diam-diam, sudut mata Devid memantau. Acha memakai jaket Bram, wah ... keromantisan macam apa itu? Hingga ia tersadar, permintaannya belum tercapai. Bukankah tadi Acha bertanya? Tetapi ia malah lupa menjawabnya. Biarkan nanti saja di saat orang sekitar mulai gila dengan aktivitas masing-masing. Tidak lama, kumandang Adan Magrib terdengar dari beberapa penjuru masjid. Pak Santo pun memerintah sopir agar menepi ke tempat ibadah yang berada di pinggir jalan.

Satu per satu antre keluar bus. Langit telah menghitam, sedangkan hujan lebat telah hilang berubah menjadi rintikan. Di sanalah, sebuah kesempatan harus dipakai dengan cepat. Bram terlihat mendahului Acha, sedangkan Devita masih duduk santai dengan ponsel di tangannya. Jadi, bagaimana rencana Devid detik itu pula?

"Cina! Solat ...."

Kebiasaan, Devid selalu memanggil Devita dengan sebutan Cina. Karena menurutnya, wajah temannya itu memang seperti orang Cina. Walaupun kenyataannya hanya mirip dari mata saja, tidak dengan bentuk wajah yang blasteran orang Indonesia. Devita mendelik sebal, seraya bangkit dari duduknya lalu berjalan malas sampai tidak terlihat wujudnya. Devid terkikik, ia menyadari tinggal dirinya, Acha dan anggota MAPALA lain di belakang.

"Nyari apaan?" tanya Devid, melihat Acha yang seperti mencari-cari ke dalam tas kecil miliknya.

Acha mendongak, dengan wajah pasrah. "Pencuci wajah."

"Oh, padahal udah cantik juga kali, masih aja dicuci ...."

"Apa?"

Devid menegaskan, "Ucapan gua gak bisa diulang dua kali, cepet! Nanti aja sampe di rumah nyucinya, sekarang solat dulu."

Baiklah, Acha tidak lagi melihat Devita di sekitar, tidak mungkin juga ia berlama-lama hanya mencari pembersih wajahnya. Ia pun bangkit, menurut saja melihat ke belakang, sudah tidak ada lagi anggota MAPALA yang duduk di bangku bus. Sesampainya di depan sebuah masjid dengan seni Islami yang kental, Devid menarik Acha menuju kamar mandi yang banyak antrean.

Sekaranglah, waktunya meminta hak sebagai penolong, batin Devid. "Jangan sampe lupa lo masih punya utang ke gua!"

"Utang apaan!" balas Acha, matanya mencari-cari Bram.

"Masa makasih doang, nggak cukup, Bray ...." Tangannya membentuk tanda silang ke depan wajah Acha, beruntungnya Acha yang memiliki tinggi badan di bawahnya.

"Ya udah maunya apa, Kucrut!"

Ups, Acha menutup mulutnya dengan cepat, menyadari makiannya barusan. Begitu pula Devid, ia terdiam sembari mengerutkan keningnya dalam. Kucrut? Dia seperti pernah mendengar, tetapi kapan dan di mana? Pikiran mereka berdua sama-sama melayang entah ke mana. Sampai, Bram meneriaki Acha untuk menghampirinya. Maka, permintaan Devid kembali harus dikubur lagi.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang