160. Lelah Menanti

33 6 1
                                    

"Terasa nyata dan mungkin mengartikan bahwa ia takkan kembali lagi. Setelah menanti sepuluh tahun lamanya."

"Sampe rumah, Putri Judes ...!"

Gita dengan cepat turun dari jok motor Devit. Masih dengan gerutuan kesal karena sepanjang jalan teman satu kelas yang digilai anak perempuan itu tak bosan menyindirnya. Menjadikan topik bahwa Gita menyimpan fotonya diam-diam adalah hal paling mengejutkan, sekaligus membuat Devit salah tingkah. Bahkan sudah ada rasa curiga.

Apakah cewek judes itu diam-diam menyukainya? Memuji kegantengannya seperti cewek lainnya? Sepertinya iya! Jika tidak untuk apa Gita mengambil fotonya diam-diam? Sungguh sebuah rahasia besar dan memalukan begitu saja dibongkar oleh ayah sendiri. Bagaimana keadaan Gita sekarang? Mulai mencaci ayahnya? Atau menyalahi keteledorannya menyimpan ponsel sembarangan?

"Makasih!" ketus Gita seraya berjalan cepat menuju pagar tinggi hitam yang tertutup rapat.

Devit mendekap kedua tangannya di atas stang motor, sedangkan helmnya masih dipakai menutupi wajah menahan tawa.

"Makasih doang?" tanyanya menggoda Gita untuk berbalik ke arahnya.

Benar saja, Gita berbalik cepat. Raut wajah kesalnya nampak geram menahan amarah. "Bukan waktunya mempersilakan tamu cowok kayak elo ke rumah, udah malam dan besok masih harus sekolah!" jelasnya.

"Ohh ... gitu, ya, Putri Judes?" sindirnya, sekaranag Devit sudah mempunyai panggilan khusus untuk Gita.

"Iya, Tuan Sok Ganteng!" Secepat kilat, Gita menarik pagar memberikan jalan untuk tubuh ramping dengan setelan gamis berwarna biru tua.

Devit mengulum senyum, sebelum pagar rumah ditutup kembali Devit segera berkata, "Gua emang ganteng kali!"

Idih, bodoamat! Gita segera berlari menuju pintu rumahnya. Tidak berselang lama suara motor di luar terdengar menggerung keras. Meninggalkan kesunyian tepat pukul 20.35 dan Gita memilih menghentikan langkahnya. Mengambil napas panjang, lalu diembuskan dengan tenang.

"Dari awal kenal juga, berhadapan sama tuh orang berasa ngadepin setan! Mancing-mancing biar marah mulu!" gerutunya.

Di tempat lain Devit segera masuk ke dalam apartemen menemukan ibunya sendiri masih fokus menonton TV. Mengetahui anaknya sudah pulang, Acha melempar senyum Devit pun segera duduk di samping ibunya itu.

"Katanya jam sembilan? Kurang lima menit lagi, tuh!"

"Gak, jadi nongkrong!"

Acha menoleh. "Lah, terus kamu ke mana aja?"

"Muter-muter doang," balas Devit berbohong.

"Udah salat isya?"

"Udah, Mama?"

"Udah, dong!"

Hanya suara saluran televisi yang memenuhi ruangan tanpa percakapan antara keduanya lagi. Diam-diam Acha memikirkan pesan yang baru saja diterima dari Bram lewat panggilan telepon. Memberitahukan, bahwa pernikahan teman yang dulu sangat dekat dengan sang calon Anya akan dilangsungkan dua hari lagi.

Begitu cepatnya dan Acha bimbang. Apakah ia harus hadir bersama Devit? Apakah ia mampu menahan rasa sakit dalam lubuk hatinya? Tiba-tiba Acha tersadar, mengapa ia merasa tersakiti? Bukankah harusnya ikut bahagia akan kabar pernikahan itu? Kabar di mana Bram bisa move on darinya dan memilih menikah di usia siap kepala tiga.

Jarum jam tepat menunjuk pukul 21.20 mengharuskan Devit beranjak pergi membersihkan diri sebelum merebahkan badannya di tempat tidur. Acha tidak berkomentar melihat anaknya siap masuk ke dalam kamar. Ia butuh menenangkan diri. Menelan habis kenyataan, mempertanyakaan hari kebahagiaan yang tertinggal dua hari lagi.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang