Yang Mulia, mereka semua memanggilku seperti itu. Aku sungguh-sungguh muak dengan semua penjilat di Istana ini, bahkan saat aku membunuh seluruh keluargaku untuk merebut kekuasaan … Mereka tak acuh, mereka tetap saja memujiku atas semua pengkhianatan yang aku lakukan.
“Apa kau tidak bisa menjilati kakiku dengan benar?”
Aku mendecakkan lidah saat perempuan tersebut hanya terus-terusan menjilati ujung kaki ibu jari kananku. Dia mendongakkan kepala saat aku mengangkat kakiku itu ke atas, “kalian para perempuan memanglah bodoh. Bahkan lebih bodoh dari semua hewan yang ada di sini,” tukasku, sambil menurunkan kembali kakiku tadi dengan kuat hingga kepala wanita tersebut jatuh tersungkur ke lantai.
Aku beranjak berdiri, dengan berjalan mendekatinya. Dia mengerang kesakitan sambil menutup wajahnya menggunakan telapak tangan. “Yang Mulia, ampuni saya. Kasihanilah anak kita yang ada di dalam perutku, Yang Mu-” ucapannya terhenti, saat aku mengangkat kaki menutupi mulutnya yang tak berhenti berbicara.
Anak? Siapa yang peduli dengan anak. Bahkan, aku yang seorang anak pun membunuh Ayahku sendiri.
“Ekrem, berikan aku pedang!”
“Tapi, Yang Mulia-”
“Ekrem, jangan membuatku mengulangi perkataanku!”
Ekrem sempat mematung sejenak saat aku melirik ke arahnya. Aku mengangkat tanganku ke arahnya saat dia melangkahkan kakinya mendekati, “aku, tidak tertarik dengan perempuan bodoh dan membosankan sepertimu. Anak? Kau sendiri yang berkeinginan memanjat ranjangku. Aku benar-benar muak, melihat perempuan tidak tahu berterima kasih sepertimu,” ucapku, senyumku semakin mencuat, tatkala matanya yang membesar itu tak berhenti mengeluarkan air mata menatapku.
Tubuhnya sempat terhentak, saat aku menancapkan pedang yang ada di tanganku itu ke perutnya. Kakiku kembali kuangkat dari mulutnya saat tubuhnya pun sudah tak lagi bergerak. “Yang Mulia, ini sudah kesekian kalinya engkau membunuh calon pewarismu sendi-”
Ekrem menghentikan kata-katanya dengan cepat saat aku melirik ke arahnya, “mereka tidak akan melirikku, kalau aku bukanlah seorang Raja. Mereka terlalu menjijikan untuk kulihat, mereka … Tidak lebih dari budak yang hanya akan memuaskan hasratku-”
“Bagaimana dengan Putri Takaoka Sachi? Yang Mulia, bertunangan dengannya, bukan?”
Aku berbalik menatap Ekrem yang memotong perkataanku, “tak ada yang istimewa darinya. Dia hanya mengandalkan kecantikannya, sama seperti yang lain. Membosankan jika harus menikahinya, lebih bagus jika dia langsung dieksekusi.”
“Tapi, yang aku maksudkan … Dia Putri dari Kerajaan Sora-”
“Lalu? Sora tidak sekuat yang kau pikirkan, kita bisa menghancurkan mereka kapan pun. Terlebih, karena permusuhan di antara dua Pangeran bersaudara tersebut … Aku tidak tertarik untuk mengasuh seorang Putri sepertinya,” ucapku, dengan melangkahkan kaki meninggalkannya.
“Bersihkan seluruh ruangan ini, Ekrem! Dan buang saja, mayat perempuan itu untuk diberikan kepada hewan di hutan,” sambungku kembali, sambil tetap melanjutkan langkah.
Langkahku terhenti, saat terdengar suara alunan musik yang menyentuh telinga. Dengan perlahan, aku mengikuti dentingan dari alunan musik tersebut. “Siapa kalian?” tanyaku, saat aku membuka pintu lalu mendapati seorang laki-laki yang berdiri di belakang seorang perempuan yang tengah memainkan alat musik kuno peninggalan leluhur.
Kedua kakiku kembali berhenti melangkah, saat tumbuhan semak berduri tiba-tiba tumbuh menghalangi jalanku dengan mereka. “Jangan lakukan hal itu cucuku. Kau, mungkin akan menakutinya,” ucap perempuan tersebut, diikuti tumbuhan berduri yang tumbuh kembali memasuki lantai yang retak saat dia mengangkat tangannya menggenggam tangan laki-laki yang berdiri di dekatnya.
“Apa kau, tunangan dari Putri Takaoka Sachi?”
Kedua mataku membelalak saat mendengar ucapannya, “keluarga dari tunangan cucuku memiliki alat musik milikku yang aku buang ke dunia manusia. Menarik sekali.” Aku sedikit mundur ke belakang, tubuhku bergidik saat embusan angin menusuk tulang ketika dia mengatakannya sambil tersenyum menatapku.
“Apa kau, muak dengan hidupmu yang sekarang?”
“Apa kau, berkeinginan menjalani kehidupan yang lebih baik dari sekarang?”
“Atau, apa kau, ingin merasakan kebahagiaan?”
Perempuan tersebut bertanya secara beruntun kepadaku, “hanya jawab iya atau tidak. Lalu aku, akan membawakanmu semua itu,” ucapnya, bibirku semakin terasa mengatup saat matanya yang hijau itu menatap kosong ke arahku.
“Bawa jiwa dari seorang perempuan, yang benang merahnya menyatu denganmu. Kau bisa membunuhnya untuk membawa jiwanya itu, setelah kau melakukannya … Hidupmu akan berubah, jauh lebih baik dari yang sekarang,” tukas perempuan itu dengan kembali membalikkan tubuhnya ke arah alat musik yang ada di depannya itu.
Aku membuang pandanganku ke seluruh ruangan, saat lantai di dalam ruangan tersebut semakin pecah oleh tumbuhan merambat yang keluar kembali dari dalam tanah. Tanaman tersebut semakin tumbuh meninggi, mengiringi lagu yang dinyanyikan perempuan tersebut. Keadaan semakin menggelap, diikuti semakin meredamnya lagu yang sebelumnya sempat aku dengar.
Tubuhku terhentak saat kurasakan sesuatu menepuk pundakku, kedua mataku membelalak … Saat tanganku yang hendak mencengkeram sesuatu yang menepuk pundakku itu justru, “ta-tangan siapa ini?” tukasku gelagapan, saat pandangan mataku terjatuh ke arah tangan kecil yang aku lihat.
“Itu tanganmu. Lihatlah!” Aku mengangkat wajahku saat sebelumnya aku menatap sebuah tangan yang menyentuh tangan kecil yang aku lihat sebelumnya.
“Apa yang dilakukan anak kecil sepertimu di sini?”
“Aku pikir siapa, hanya perempuan jelek yang mengganggu penglihata-”
“Maaf, jika perempuan jelek ini mengganggu penglihatanmu. Tapi setidaknya jawab pertanyaanku, apa yang dilakukan anak kecil sepertimu di sini?”
Berani-beraninya dia mencubit pipiku? Apa dia tidak tahu bah-
“Anak kecil?”
“Apa kau pikir, di sini ada anak kecil lain selain dirimu?” ucapnya, dia melepaskan cubitannya di pipiku dengan menghela napas.
“Siapa kau? Di mana aku?”
Apa kedua penyihir itu mengubahku menjadi anak kecil? Dan juga, kenapa aku bisa mengerti perkataan yang ia ucapkan?
“Apa kau, tidak mengingat apa pun?”
Aku masih diam, dengan melirik ke arah benang merah yang melilit pergelangan tangannya, “benang merahnya tidak bersambung, lalu-”
Aku menghentikan gumaman yang aku lakukan, saat benang merah yang ada di tanganku itu terangkat … Bersambung ke lengan seorang perempuan yang tengah berjalan dengan beberapa orang lainnya ke arah kami. Aku masih diam tak bersuara saat mereka berlima menghentikan langkah di dekat kami. “Miyuki, apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang laki-laki yang berjalan lalu berjongkok di depan kami.
Aku tak mengindahkan laki-laki tersebut, hanya saja mataku memicing ke arah perempuan yang benangnya tersambung denganku itu. Dia sama seperti perempuan yang sering aku temui, apa yang membuatnya istimewa sampai-sampai akan membawakan kebahagiaan untukku.
“Kazuma-kun, kita sudah hampir terlambat,” tukas perempuan tersebut yang membuat laki-laki yang ada di samping kami itu mendongakkan kepalanya.
“Miyuki, apa kau ingin ikut kami makan malam di restoran yang ada di sana?”
“Apa kau yakin Kazuma-kun, ingin mengajaknya? Dia bahkan, tidak memiliki uang untuk membeli pakaiannya sendiri,” sahut perempuan tersebut yang ditimpali suara cekikikan dari beberapa perempuan di sampingnya.
“Aku, harus segera lanjut berkerja. Terima kasih, untuk tawarannya.”
“Apa kau ingin ikut denganku? Aku bisa mengantarkanmu ke kantor polisi.” Aku mengangkat pandangan saat sebuah telapak tangan lagi-lagi muncul di hadapanku.
Aku masih melirik ke arah perempuan, yang benang merahnya itu tersambung padaku. “Bagaimana, apa kau ingin ikut denganku?” pandangan mataku kembali teralihkan ke arah perempuan jelek yang terus mengajakku berbicara itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...