“Kakak,” ucapku, saat aku sendiri pun berenang semakin mendekatinya.
Aku menghentikan ekorku mendayung, lalu duduk dengan menyandarkan diri ke tubuh kudaku. “Apa kau tidak jadi menjaga mereka?”
Lirikan mataku beralih kepada kakakku Dekka, yang duduk menatapku di atas punggung kuda miliknya, “pulau itu dihuni manusia, untuk keselamatanku mereka memintaku untuk menunggu di lautan. Lagi pun, tidak ada arus dalam laut seperti kemarin di pulau tersebut,” jawabku sambil membuang kembali pandangan.
“Apa urusanmu dengannya telah selesai? Izumi, bukan? Lebam di tubuhmu telah menghilang soalnya-”
“Aku pikir, aku bisa menyembunyikannya darimu, kak.”
“Dia menolakku. Ada perempuan lain yang menunggunya-”
“Benarkah?” tukasnya memotong perkataanku, “lalu, apa yang kau lakukan? Apa kau menyerah begitu saja?”
“Apa dia, sama sekali tidak tertarik kepadamu?”
“Kalau memang iya, aku akan menyarankanmu untuk menyerah … Tapi jika kebalikannya, jangan menyia-nyiakan kebahagianmu sendiri. Jika kau, mengorbankan kebahagiaanmu sendiri, apa mereka akan melakukan hal yang sama untukmu?”
Aku masih mengatup rapat bibirku saat kata-kata darinya beruntun mengusik telinga, “aku, dapat hidup sekarang pun, itu semua karena belas kasihanmu dan juga kakek. Ingin memilih hidup sebagai manusia … Aku memiliki ekor. Ingin memilih hidup sebagai duyung, pertumbuhan tubuhku mengikuti pertumbuhan manusia … Dengan kata lain, usiaku jauh lebih pendek dibanding kalian.”
“Kalaupun dia memilihku … Apa yang bisa aku lakukan untuk membahagiakannya? Aku tidak bisa menemaninya di daratan, aku tidak bisa mengurusnya nanti … Setelah aku pikir-pikir lagi, ini memang yang terbaik-”
“Tapi tetap saja, rasanya menyakitkan … Kenapa aku harus terlahir sebagai duyung, dan dia sebagai manusia?” tangisku pecah, diikuti rasa terbakar di pelupuk mataku.
“Apa yang kau maksudkan itu? Lihatlah dirimu sendiri! Kau terlahir dari pernikahan duyung dan manusia-”
“Aku tahu, tapi kedua orangtuaku tidaklah berakhir baik. Dan yang lebih penting dari itu, aku sudah memutuskan untuk menyerah-”
“Ebe!” pungkasnya memotong perkataanku, “apa kau tidak sadar? Kalau selama ini aku mengajakmu berbicara menggunakan bahasa manusia?”
Kedua mataku membesar, aku segera beranjak mengikuti matanya yang melirik ke samping, “Izumi?”
“Kakak!” panggilku, saat dia berenang mendekati Izumi yang telah berenang di samping kuda miliknya.
Aku, benar-benar tidak sadar. Aku, tidak menyadarinya sebelum kakakku mengatakannya-
Kakakku, berenang melewati Izumi setelah lama dia meletakkan tangannya itu ke pundak Izumi. Aku masih terdiam dengan melirik ke arah Izumi yang berenang dengan membawa kudanya, mendekati kuda-kuda milik saudaranya. “Kau, menjatuhkan ini,” ucapnya yang membuatku sedikit terhentak.
Aku berenang mendekatinya, dengan meraih benda pemberian darinya yang sebelumnya sempat aku jatuhkan. “Terima kasih, telah membawakannya kembali padaku,” ungkapku sambil menggenggam erat benda tadi dengan kedua tangan.
“Tinggalkan saja kudamu, dan kembalilah! Aku dan kakakku, akan menjaga mereka nanti,” sambungku seraya berenang sedikit mundur menjauhinya.
“Apa ada ritual khusus untuk melangsungkan pernikahan?”
“Apa yang kau maksudkan?” Aku balik bertanya, dengan berenang mundur saat dia mencoba untuk mendekat.
“Atas nama Deus, aku bersumpah akan membahagiakanmu.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...