“Kenapa mereka semua berpakaian seperti itu, Ayah?” seru Takumi, saat kuda milik Kakakku, Izumi, telah berjalan sedikit menjauh di depan kami.
“Apa seperti ini Kerajaan itu, Ibu?” saut Huri dengan mulutnya yang sedikit terbuka tatkala kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri.
Aku masih terdiam, belum menjawab pertanyaannya sambil melirik ke arah Ihsan yang hampir melakukan hal sama seperti Huri, “di dalam Istana mereka, justru lebih indah lagi. Lalu, di sana kalian akan bertemu dengan Bibi Julissa … Dia adalah teman Ibu, dia sangat cantik,” ucapku pelan hingga Huri mengangkat lagi pandangannya.
“Ibu yang paling cantik,” ungkapnya seraya mengangkat kedua tangannya ke atas.
Aku mencubit pelan pipinya, hingga dia tersenyum membalas apa yang aku lakukan. “Apa Danur akan datang ke sini juga?” gumamku sambil tetap menggerakan tangan yang menggenggam erat tali kekang.
Kuda yang kami tunggangi, terus berjalan dengan sangat perlahan menyusuri kerumunan orang yang berjalan hilir-mudik membelah jalan. Aku melirik ke arah Huri yang sedikit terlihat keheranan tatkala beberapa laki-laki yang jalan melewati, kadang kala berhenti lalu membungkuk ke arah kami. “Ibu, ada apa dengan mereka? Kenapa mereka seperti itu?” tanyanya dengan kembali mendongak.
Aku menggelengkan kepala, “Ibu juga tidak tahu,” jawabku berpura-pura kepadanya.
Semakin kami meninggalkan pemukiman, semakin cepat juga kuda-kuda kami berlari … Ke arah sebuah benteng besar dengan atap batu berundak-undak yang terlihat mencuat dari dalam benteng. Kuda kami kembali berhenti, oleh dua Kesatria yang mencegat, dan sama seperti sebelumnya … Pintu gerbang baru terbuka, tatkala Haruki berkata, “Hime-sama, datang berkunjung!”
Satu per satu dari kami bergantian membawa kuda kami masuk melewati gerbang Istana. “Mereka akan mengabari kedatangan kita pada Adinata,” ucap Haruki saat dia melompat turun dari atas kuda, setelah sebelumnya dia berbicara terlebih dahulu kepada salah satu Kesatria yang datang menghampirinya.
Aku ikut beranjak turun lalu meraih Huri ke gendonganku seraya tanganku yang lain masih menggenggam erat tali kekang kuda, sebelum kuberikan tali kekang tersebut kepada Zeki yang berjalan mendekat. Tanganku meraih lalu menggenggam erat tangan Ihsan, sembari mataku tak bisa lepas ke arah Zeki yang berjalan menjauh membawa kuda kami berdua, lalu memberikannya ke seorang lelaki yang ada di sana.
Huri yang berada di gendonganku, sedikit bergerak dengan kedua tangan terangkat ke arah Zeki yang telah berdiri di hadapan. “Ayah, panas,” gumam Huri sambil memeluk Zeki yang menggendongnya.
Zeki tanpa berbicara, meniup-niupkan udara ke kening Huri diikuti telapak tangannya yang terangkat menyentuh kepala Huri, berusaha untuk menghalangi terik Matahari yang jatuh menimpanya. Aku menunduk, menatapi Ihsan yang terdiam dengan beberapa kali mengusap keningnya sendiri.
“Ibu!” panggilnya sambil mendongak menatapku, matanya sedikit tertutup tatkala tanganku mengusap pelan keningnya yang telah basah oleh keringat.
Ihsan kembali menunduk saat aku mengipas wajahnya menggunakan telapak tangan. Kubuang pandangan ke sekitar, tempat ini sama sekali tidak berubah … Sama seperti dulu, saat kami berkunjung.
Tatapan mataku berhenti, terjatuh ke arah Takumi yang tengah meminum air yang diberikan Ayahnya. “Eneas, apa kau masih memiliki air?” tanya Izumi sambil menoleh ke arah Eneas yang berdiri tak terlalu jauh darinya.
Izumi meraih kantung air pemberian Eneas. Membuka penutup pada kantung air tersebut, lalu memberikannya kepada Takumi yang berada di gendongan Ebe. “Haruki! Zeki! Izumi!” Lirikan mataku bergerak ke arah suara laki-laki yang memanggil ketiga nama tersebut bergantian.
“Apa yang kalian lakukan? Kenapa tidak membiarkan mereka beristirahat di dalam?!” Adinata meninggikan suaranya kepada beberapa orang laki-laki yang berdiri tertunduk di dekatnya.
“Ikuti aku kalian semua! Aku, akan mengantar kalian untuk beristirahat,” ucapnya yang kembali berbicara seperti biasa kepada kami seraya mengangkat sebelah tangannya.
Kami berjalan, mengikuti Adinata yang menuntun kami semua ke sebuah ruangan dengan pintu yang telah terbuka. Adinata meminta kami semua untuk duduk di sebuah meja panjang dengan kursi pendek tanpa sandaran di sepanjang meja tersebut. “Hidangan untuk kalian, akan segera datang,” ucapnya sambil duduk di dekat Haruki yang sebelumnya memang sudah duduk.
“Di mana Raja Bagaskara?” tanya Haruki seraya menoleh ke arah Adinata yang ada di sebelahnya.
“Ayahku, belum kembali dari menjemput Julissa. Perkiraanku, mereka akan sampai beberapa hari lagi,” jawabnya, sebelum menutup rapat bibirnya dengan tatapan mata yang mengarah kepada kami bergantian.
“Aku tahu ini terdengar lancang, akan tetapi … Kenapa, anak-anak kecil yang kalian bawa ini, terlihat sama seperti kalian?”
Mataku terjatuh ke arah Takumi yang beranjak berdiri dari pangkuan Ebe, “Takaoka Takumi, tiga tahun. Putra dari Pangeran Takaoka Izumi, memberikan hormat kepadamu, Paman,” ucapnya sambil membungkuk ke arah Adinata.
“Ayah, apa aku sudah melakukannya dengan baik?” tukas Takumi, dia tersenyum lebar saat Kakakku itu mengangguk, menjawab pertanyaannya.
“Put … Putra?” tukas Adinata, mulutnya sedikit terbuka seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar, “Aku sadar, bahwasanya anak itu terlihat mirip denganmu Izumi … Tapi, sejak kapan kau menikah? Dan perempuan itu, bukankah kau-”
Adinata kembali mengatup rapat suaranya saat Haruki berdeham, “apa anak kecil yang kalian bawa itu juga … Adalah anak-anak kalian? Maksudku, anak laki-laki yang satunya itu terlihat sangat mirip dengan Haruki, sedang anak perempuan yang dipangku Zeki itu terlihat mirip dengan Sachi,” sambung Adinata sambil menunduk dengan memijat kepalanya sendiri.
“Namaku Huri Bechir, Paman. Dan dia Kakakku, Ihsan Bechir … Kami,” ucap Huri terhenti, diikuti kepalanya yang menoleh menatapi Ihsan.
“Anak,” jawab Ihsan singkat kepadanya.
“Anak dari Raja Zeki Bechir dan Ratu Sachi Bechir-”
“Hormat untukmu, Paman,” sambung Ihsan menimpali perkataan Huri dengan membungkukkan tubuhnya, ikut pula kulirik Huri yang juga turut membungkuk ke arah Adinata.
Adinata mengangkat tangannya ke depan, “aku … Zeki, apa kalian berdua benar-benar sudah menikah? Maksudku, usia Sachi … Sama dengan usia Julissa, bukan? Bagaimana mungkin, anak kali-”
“Kami memang sudah menikah, beberapa tahun yang lalu. Namun, kami hidup di Dunia Naga milik Sachi. Hidup lama di sana, hanya beberapa saat saja jika dihitung dengan Dunia Manusia. Dan kau lihat sekarang! Kami telah memiliki sepasang Pangeran dan juga Putri,” ungkap Zeki memotong perkataan Adinata.
Adinata masih menunduk, dengan punggung tangannya yang bergerak mengetuk kepalanya sendiri beberapa kali, “aku tidak bisa membayangkan, jika saja Julissa mengetahui bahwa kau sudah menjadi seorang Ibu, Sachi,” ucapnya, diikuti helaan napas kuat yang ia keluarkan.
“Lalu kau, siapa namamu?” sambung Adinata sembari berusaha untuk melihat Hikaru yang duduk di sebelah Ayahnya.
“Takaoka Hikaru, dan itu adiknya … Takaoka Miyu.”
“Dia masih belum terbiasa berbicara dengan orang asing,” sambung Haruki saat Adinata enggan memalingkan wajah dari tatapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...