Chapter DCXXV

1.3K 288 4
                                    

Aku kembali membuka mata, lalu melirik ke arah Zeki yang tertidur dengan menyandarkan dirinya di kursi akar yang Ryuzaki buat untuknya. Kutarik napas sedalam mungkin, saat rasa nyeri terasa menusuk-nusuk perut dan punggungku. Ikut kugigit kuat bibirku sambil melemparkan pandangan ke arah langit malam yang hanya dihiasi beberapa bintang.

Aku bernapas lega, saat rasa sakit di punggung dan perutku itu sedikit mereda. Aku tidak tahu, apakah langit yang ada di dunia manusia dan langit di dunia Kou sama. Namun, menatap kembali langit mengingatkan saat aku menceritakan perihal bintang kepada Zeki saat di hutan milik Naga Kaisar.

Semenjak dia datang kembali ke sini, dia sama sekali enggan beranjak untuk meninggalkanku sendirian. Padahal, aku sudah memintanya berkali-kali untuk tidur di rumah saja … Tapi, dia masih bersikeras untuk menemaniku tidur di luar. “Kau terbangun? Atau apa? Apa terjadi sesuatu padamu?” Aku melirik ke arahnya yang telah beranjak berdiri menatapku.

“Punggung dan perutku tiba-tiba sakit, jadi aku terbangun. Tidurlah kembali, kau pun pasti lelah, bukan?” tukasku yang meraih lalu menggenggam tangannya.

“Haruki, telah memerintahkan Tsubaru dan juga Yuki untuk mencarikanmu Tabib terbaik. Semuanya, akan baik-baik saja,” ungkap Zeki yang membalas genggaman tanganku padanya.

Aku menatapnya dengan meneguk ludahku yang hampir mengering, “aku haus,” tukasku pelan kepadanya.

“Aku, akan mengambilkanmu darah Kou.”

Dia kembali berbalik menatapku saat aku menahan tangannya, “aku, hanya ingin air. Apa aku bisa mendapatkan air hangat?” tanyaku, tanpa sedikit pun bergeming darinya.

“Air? Maksudmu air kelapa?”

Aku menggeleng, “hanya air hangat biasa. Dan juga, apa aku bisa mendapat makanan? Rasanya, aku lapar sekali,” jawabku sambil melepaskan genggaman tanganku padanya.

“Aku akan menyiapkannya untukmu. Kau jangan ke mana-mana!” perintah Zeki dengan mengangkat telapak tangannya ke arahku.

Zeki berbalik, lalu berlari menjauh dengan membawa salah satu obor menyala yang diikatkan pada tonggak kayu di sekitar. Aku menarik napas kembali, diikuti kedua tanganku yang bergerak mengusapi perutku yang terasa menegang dan keras itu. Aku pun tidak tahu, kenapa tiba-tiba merasa sangat lapar dan haus beberapa saat yang lalu … Apa ini, ada hubungannya dengan semakin dekatnya kelahiran anak kami?

Aku mencoba untuk melirik ke kakiku yang dihadang oleh perutku, saat aku pun turut ikut merasakan … Jari-jemariku, mulai dapat merasakan embusan udara hingga dapat digerakkan kembali walau masih terasa kaku. Kutarik kembali napasku, sambil kucoba untuk menggerakkan tubuhku itu ke samping, mencoba untuk beranjak duduk.

Aku terhenyak, ketika berhasil melakukannya. Dahulu, hanya tubuh bagian atasku saja yang dapat digerakkan, tapi sekarang semuanya telah kembali seperti biasa. Aku menundukkan pandangan, dengan tersenyum sambil tetap mengusapi perutku, “Ibu pun, sudah tidak sabar lagi untuk bertemu denganmu. Mau kapan kau nantinya ingin keluar, Ibu tetap akan mengusahakan yang terbaik,” ucapku pelan, walau aku sedikit meringis saat rasa sakit yang menusuk-nusuk itu kembali datang.

Tarikan napasku semakin dalam, saat tubuhku membungkuk diikuti telapak tanganku yang berusaha mengusap punggung. Aku dengan cepat menoleh ke belakang, ketika kurasakan usapan pelan menyentuh punggung, “Ryu?” tukasku saat menemukannya yang telah duduk di belakangku.

“Aku terbangun, karena aku tiba-tiba tidak bisa mengaliri sihirku kembali. Apa terjadi sesuatu padamu?” tanyanya, sambil tetap kurasakan usapannya di punggungku.

“Aku pun tidak tahu. Aku, tiba-tiba merasa lapar dan haus … Dan seperti yang kau lihat sekarang, aku sudah bisa menggerakkan kembali tubuhku-”

Perkataanku terhenti, pandangan mataku teralihkan ke arah suara gemerasak rerumputan diikuti langkah kaki yang berjalan mendekat, “kau seharusnya beristirahat! Apa yang kau lakukan?” ucap suara yang sudah kukenal itu.

Zeki berjalan mendekati dengan membawa sebuah nampan, sambil diikuti Haruki, Izumi dan juga Eneas di belakangnya. “Apa kau mengajak mereka ke sini?”

“Jawab dahulu pertanyaanku!” ucapnya saat langkahnya sudah berhenti di sampingku.

“Saat tubuhku baru bisa digerakkan, aku mencoba untuk menggerakkannya kembali. Lagi pun, apa yang kau bawa? Aku sangatlah lapar sekarang.”

“Izumi yang menolongku menyiapkan semuanya. Hanya ini yang ada,” ucapnya sambil melangkah maju lalu duduk di samping tempat tidurku.

“Kami terkejut saat Zeki mengatakan kau ingin makan, karena itu kami ikut menyusulnya menemuimu-”

“Kami?”

“Saat dia datang, kami bertiga sedang berbincang di depan api unggun,” sambung Izumi kembali menjawab pertanyaanku.

“Lalu, di mana Uki?”

“Uki? Dia tidur bersama Hikaru,” jawab Haruki menimpali perkataanku.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Haruki kepadaku.

“Perut dan punggungku seperti ditusuk-tusuk, tapi kadang muncul lalu hilang … Seperti itu terus-menerus-”

“Minumlah air ini terlebih dahulu selagi hangat,” ucap Zeki yang memotong perkataanku.

Aku melirik ke arahnya, bibirku sedikit terbuka saat dia mendekatkan gelas yang ia pegang itu mendekat. Aku memejamkan mata sambil mencoba untuk menyeruput air tersebut, karena biasanya aku akan langsung memuntahkan air apa pun yang aku minum kecuali air kelapa. Turut kurasakan, rasa hangat mengalir masuk ke dalam tubuhku, tatkala aku meneguk sedikit demi sedikit air yang dibawa Zeki.

Aku melirik ke arah mereka yang masih diam tertegun menatapku termasuk Zeki, “ada apa?” tanyaku sambil melirik ke arah mereka bergantian.

Zeki menggelengkan kepalanya diikuti jarinya yang terangkat menyelipkan rambut di telingaku. Dia kembali menunduk dengan meletakkan gelas berisi air di tangannya ke nampan, sebelum dia mengambil sedikit daging ikan bakar di nampan yang sama, “hanya ada ikan bakar ini saja malam ini. Besok, aku akan mencarikanmu apa pun yang ingin kau makan … Jadi, makan ini dulu untuk malam ini,” tukas Zeki kembali sambil mengarahkan daging ikan bakar di jarinya itu ke arahku.

Wajahku mendekat, bibirku terbuka melahap daging ikan bakar yang ia suapkan kepadaku. “Syukurlah, jika kau baik-baik saja, Sa-chan,” tukas Haruki yang membuatku mengalihkan pandangan padanya.

“Jika kalian lelah, beristirahat saja. Aku tidak ingin, kalau kalian jatuh sakit. Lagi pun, selain sakit perut yang kadang kala aku alami … Sebenarnya keadaanku sudah jauh membaik dibanding sebelumnya,” tukasku sambil menatapi mereka bergantian.

“Baiklah. Panggil kami sesegera mungkin jika terjadi sesuatu, Zeki!” timpal Haruki yang dibalas anggukan kepala Zeki.

“Jangan terlalu memaksakan dirimu!” Kepalaku tertunduk ketika suara Izumi terdengar diikuti usapan yang menyentuh kepalaku.

“Aku tidak akan melakukannya, nii-chan,” tukasku sembari mengangkat kembali pandangan.

“Ryu, kau pun ikut kami beristirahat. Beberapa hari ini, kau tidak beristirahat, bukan?” sahut Haruki, sambil tetap melanjutkan langkahnya.

Aku melirik ke arah Ryuzaki yang beranjak berdiri, “baiklah, aku mengerti Kakak,” tukas Ryuzaki, dia menepuk pelan pundakku sebelum berbalik mengikuti Haruki, Izumi dan Eneas yang telah berjalan menjauh.

“Kau pun sama, beristirahatlah! Terlebih, kau selalu menemaniku tidur di luar.”

“Aku akan melakukannya,” tukasnya yang kembali menunduk dengan mengambil daging dari ikan sebelumnya, “tapi sebelum itu, kau harus menghabiskan makananmu terlebih dahulu,” sambungnya yang kembali tersenyum sambil mengarahkan daging ikan bakar di tangannya kepadaku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang