Langkah kaki kami berhenti kembali di sebuah rumah, “Bibi!” pangilku berulang kali sambil mengetuk pintu rumah tersebut.
“Sachi? Masuklah ke dalam,” ucap suara dari balik pintu yang membuat ketukan yang aku lakukan itu berhenti.
Tanganku bergerak, mendorong pintu tersebut hingga terbuka. Aku berjalan masuk, dengan menoleh terlebih dahulu ke arah Zeki yang berdiri di belakang. “Masuk dan duduklah!” ucap suara Bibi kembali, yang membuatku menoleh ke arah di mana suara itu terdengar.
“Bagaimana dengan Hikaru, Bibi?” tanyaku, yang berjalan semakin masuk ke dalam rumah lalu duduk di kursi dengan Zeki yang juga duduk di kursi yang ada di samping.
“Dia masih tertidur. Apa ada yang ingin kalian makan atau minum?” tanya suaranya itu kembali, aku mencoba untuk mencari sosoknya di ruangan, tapi hanya suaranya saja yang terdengar.
“Bibi, bolehkah aku mendapatkan air kelapa untuk minum?”
“Air kelapa?”
“Aku, tidak bisa meminum apa pun selain air kelapa selama hamil,” jawabku menimpali perkataannya.
“Baiklah. Bagaimana denganmu, Zeki?”
“Aku, akan memakan dan meminum apa pun yang dihidangkan, Bibi,” tukas Zeki menjawab pertanyaannya.
“Bibi mengerti, duduklah di sana terlebih dahulu! Bibi akan menumbuhkan pohon kelapa terlebih dahulu untuk Sachi di belakang rumah,” ucapnya yang terdengar, sebelum akhirnya tak terdengar lagi suaranya hingga beberapa saat selanjutnya.
Aku menyandarkan tubuhku di kursi dengan sedikit menghela napas. “Kenapa?” tanya Zeki, aku menoleh ke arahnya saat kurasakan tangannya itu menyelipkan rambutku yang jatuh ke telinga.
“Tidak apa-apa, hanya punggungku saja yang terasa sakit,” ucapku dengan semakin menyandarkan punggungku itu ke kursi.
“Kau ingin aku mengusap punggungmu?”
“Apa kau ingin melakukannya untukku?” Aku balas bertanya kepadanya.
“Berbaliklah! Aku akan mengusapnya,” ucapnya pelan sambil menggerakkan kepalanya, seakan memerintahkan aku untuk bergerak.
Aku sedikit beranjak dengan duduk membelakanginya, tarikan napasku semakin dalam saat usapan lembut di punggungku sedikit mengusir rasa sakit yang mendera punggungku itu. “Apa terlalu kuat?” Aku menggelengkan kepala, sambil memejamkan mata menanggapi pertanyaannya.
“Maafkan Bibi yang membuat kalian menunggu lama.”
Aku menoleh ke samping, ketika suaranya kembali terdengar. Bibirku masih terkatup, menatap Bibi yang berjalan dengan membawa masing-masing satu buah kelapa di tangannya. “Bibi akan mengambilkan bambu untuk kalian meminumnya,” ucap Bibi kembali saat dia meletakkan dua buah kelapa tadi ke atas meja.
“Tidak perlu, Bibi. Aku, akan langsung meminumnya,” ucapku yang menghentikan langkah Bibi.
Kedua tanganku bergerak meraih salah satu kelapa lalu meletakkannya di atas pahaku. Aku membersihkan bagian atasnya menggunakan telapak tangan, sebelum mengangkat kembali buah kelapa yang telah dikupas itu mendekati bibir lalu meminumnya beberapa teguk. “Kau pasti repot sekali, Zeki,” tukas Bibi terdengar saat aku meletakkan kembali buah kelapa tersebut di atas pahaku.
“Aku justru tidak merasa kerepotan sama sekali, karena aku pun … Belum menjaganya dengan benar selama dia hamil,” ucap Zeki menimpali perkataan Zeki.
“Apa kebiasaanku ini tidak biasa, Bibi? Aku pikir, aku menginginkan air kelapa untuk minum … Itu karena, aku setengah Elf.”
“Tapi kami para Elf di sini, meminum air yang langsung berasal dari mata air yang mengalir di sekitar pegunungan. Dan juga, kami tidak minum sesering kalian para manusia,” ucap Bibi, dia menoleh ke arah kursi yang ada di belakangnya lalu mendudukinya dengan kembali menatapi kami.
“Zeki, di antara Sachi dan anak kalian … Yang mana yang lebih penting di antara mereka untuk diselamatkan?”
Kedua mataku membesar lalu dengan cepat mengarahkannya ke arah Bibi yang mengatakannya. “Apa yang Bibi maksudkan?” pertanyaan dari Zeki membuatku kembali menoleh ke arahnya.
“Bibi hanya bertanya mengenai kemungki-”
“Hentikan omong kosong tak berguna itu! Mereka, sama-sama berharga untukku. Aku lebih memilih mengorbankan nyawaku sendiri, dibanding harus memilih salah satu di antara mereka,” suara Zeki yang terdengar gemetar itu, semakin membuat bibirku mengatup.
“Selama ini, sudah tak terhitung bagaimana aku berusaha menyelamatkan nyawa dari orang-orang yang tak aku kenal. Jadi, bagaimana mungkin aku menyingkirkan anakku sendiri-”
Terima kasih untuk kakakku Haruki, yang telah menyadarkan aku tentang semua itu.
Aku menarik napas dalam sebelum kembali melanjutkan perkataanku yang sempat terhenti, “maafkan aku, Zeki. Walau nanti, aku di antara hidup dan mati … Jangan memintaku untuk menyerah kepada anak kita-”
“Sebenarnya apa yang terjadi?!”
Aku terhentak, lirikan mataku bergerak ke samping ketika suara tangisan bayi mengikuti bentakan kuat dari Zeki. “Bibi, akan menenangkan Hikaru,” ucap Bibi yang membuatku melirik ke arahnya.
“Jelaskan padaku! Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Ini juga belum pasti, ini masih sebuah kemungkinan … Bibi mengatakan, jika mustahil kalau setengah Elf sepertiku ini mengeluarkan aroma wangi dari tubuhku, bukan?”
“Saat itulah, firasatku mengatakan jika dia akan terlahir berbeda. Apa kau tahu, Zeki? Dulu, aku sempat ingin menyingkirkannya saat kau pergi mencarikan Tabib untukku,” ucapku, aku meneguk ludah saat kedua bola mata Zeki itu membesar menatapku.
“Aku, tidak siap dengan kehamilanku yang tiba-tiba ini. Aku, masih ingin berkeliling mencari sekutu … Dengan hamil, bagaimana aku akan melakukannya? Seperti itulah, yang aku pikirkan saat itu,” ucapku menghentikan perkataan sambil menggigit kuat bibirku.
“Namun, semakin lama dia berada di rahimku. Semakin sering aku merasakan gerakannya di dalam tubuhku … Aku, semakin tidak ingin kehilangannya apa pun yang terjadi. Aku, akan tetap mempertahankan nyawanya apa pun yang terjadi kepadaku kelak. Dia anak kita, kalau bukan kita berdua yang akan melindunginya nanti-”
“Aku, pernah merasakan saat di mana … Aku membutuhkan dukungan dari seseorang yang dinamakan orangtua, tapi dukungan tersebut tak kunjung datang. Aku, pernah merasakan saat di mana, aku ingin memiliki orangtua yang dapat dengan sedikit saja menjadi tempatku untuk berkeluh-kesah … Tapi itu juga, tak kunjung aku dapatkan.”
“Karena itu, cukup aku saja yang merasakannya, anakku jangan. Aku mengetahui rasa sakit saat di mana orangtua yang seharusnya peduli, bersikap tak acuh … Aku, tidak ingin anak kita merasakan hal yang sama. Itu menyakitkan, aku tida-”
Perkataanku terhenti saat dia meraih kepalaku, menariknya mendekati pundaknya diikuti pelukan erat yang ia lakukan padaku, “apa kau lupa? Aku pun, juga merasakan rasa sakit yang sama,” tangisanku pecah, saat mendengar dia mengatakannya.
“Aku, tidak ingin menjadi orangtua yang menelantarkan kebahagian anaknya sendiri-”
“Aku tahu,” ucapnya pelan diikuti usapan di belakang kepalaku, “kita akan menjaganya bersama-sama. Memberikannya kehidupan yang layak, memberikannya kasih sayang hingga dia tak menyesal memiliki kita sebagai orangtuanya,” sambungnya yang aku balas dengan anggukan kepala.
“Dan sepertinya, aku telah menemukan nama yang sesuai untuknya nanti,” ucap Zeki kembali sambil ikut kurasakan kecupan yang ia lakukan di keningku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasiaKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...