Chapter DCCXCII

1.6K 395 24
                                    

Aku pun ikut beranjak, “kalau pembicaraan ini telah selesai. Aku ingin meminta izin, untuk pergi menemui anak-anak,” ucapku yang segera berbalik, mendekati pintu yang telah tertutup kembali.

Aku segera mempercepat langkah, meninggalkan beberapa pelayan yang menunggu setelah aku keluar dari dalam ruangan tadi. “Izu-nii!” panggilku, hingga membuat langkahnya berhenti lalu menoleh ke arahku.

Kucengkeram lengannya sesaat aku berhasil menyusulnya. Aku masih tertunduk, dikala napasku masih belum bisa kembali normal, “Izu-nii, terima kasih,” sambungku dengan mendongak, menatapnya.

“Untuk apa?” tanyanya penuh heran, diikuti tangannya yang merapikan mahkota milikku, “untuk pernyataanku sebelumnya?”

Dia menghela napas, ketika kepalaku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya, “aku hanya mengatakan yang sebenarnya,” ungkapnya yang mulai lanjut melangkah lagi, “karena apa yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahan kalian. Jika saja kami tidak mengikuti perintah Ayah untuk membawa anak-anak pergi bertunangan. Ini semua tidak akan terjadi.”

“Kau tidak akan tiba-tiba menghilang, membawa mereka pergi kalau saja kami tidak menyetujui perintah tersebut. Seharusnya yang patut disalahkan adalah kami … Kau sendiri, sebenarnya adalah korban dari semua itu.”

Aku tertunduk, menatap lama kaki kami yang berjalan beriringan. Cukup lama, kami berdua menghening setelah kakakku itu menyelesaikan ucapannya, “adikmu ini benar-benar bodoh, kan? Walau aku sadar sudah berapa kali dia berbohong, menyembunyikan banyak hal dariku … Aku masih tetap menerimanya,” gumamku lemah sambil mempererat cengkeraman tanganku di lengannya.

Izumi yang tiba-tiba terkekeh, membuat mataku berpaling cepat padanya, “keluarga kita memang bodoh jika itu menyangkut masalah asmara,” tuturnya yang kembali membuang tatapannya ke depan, “tidak ada yang bisa disalahkan. Dari kecil, kita hanya memikirkan bagaimana cara untuk meruntuhkan kekaisaran. Jadi disaat kita telah menemukan pendamping yang menurut kita terbaik, rasa untuk memulai hubungan baru dengan seseorang … Seperti kabut tipis yang sulit terlihat untuk kita.”

“Aku saja, setelah mendapatkan Ebe dan kami memiliki Takumi, hidupku terasa lebih tenteram. Mungkin seperti itu juga yang Zeki rasakan … Melihatnya tadi, justru membuatku kasihan. Apa yang dikatakan Haruki pun tidak salah, karena aku juga sebenarnya sangat marah dengan apa yang terjadi kepadamu dahulu-”

“Yang bisa kita lakukan hanyalah membuka lembaran baru,” tuturnya setelah lama terdiam, “yang sudah terjadi memang tidak bisa dihindari. Selanjutnya, kita hanya harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Jangan sampai, keputusan yang kita ambil justru memberikan kesempatan pada orang lain untuk menyakiti kita.”

“Izu-nii!” panggilku, hingga membuatnya kembali menoleh, “terima kasih untuk semuanya. Memiliki keluarga seperti kalian … Merupakan keberuntungan terbesarku.”

___________.

Wajahku yang menatap Anka, segera terangkat disaat suara ketukan pintu terdengar. “Kalian boleh pergi!” perintahku kepada beberapa pelayan yang berdiri di dalam kamar, sesaat Zeki muncul dari balik pintu.

Zeki berjalan begitu saja melewati para pelayan tadi yang memberi hormat kepadanya. “Aku akan coba menebaknya. Anka?” tuturnya setelah duduk di ranjang yang sama.

Kepalaku menggeleng kepadanya yang telah membaringkan diri di samping Sema, “dia Sema, Anka sendiri sedang bersamaku saat ini,” sahutku sambil membelai rambut Anka.

Zeki bergerak memeluk Sema, dengan beberapa kali kecupan ia berikan kepada putranya itu, “aku masih belum bisa membedakan mereka berdua.”

Aku tersenyum sambil beranjak, mengangkat dan membaringkan Anka yang telah terlelap setelah cukup lama kusapih, “kau akan terbiasa,” ungkapku sembari merapikan gaun tidur di badan.

Kutepuk-tepuk pelan paha Anka agar dia semakin lelap, sambil sesekali aku akan melirik pada Sema yang terlihat girang bermain bersama ayahnya. Sesekali dia akan tertawa keras, disaat Zeki menggoyangkan wajahnya ke leher Sema. “Setelah Yadgar mulai sedikit stabil. Aku pikir, aku akan mulai melanjutkan perjalanan kembali,” ungkapku, yang segera dibalas tatapan olehnya.

“Aku akan meninggalkan anak-anak di sini untuk menemanimu. Aku juga akan memerintahkan Uki berserta Kei untuk menjaga kalian. Aku … Tidak ingin membiarkan Kaisar mempermainkan hidup seseorang lagi.”

Dia beranjak duduk, dengan mata yang tak bisa lepas dariku, “aku tidak bisa melarangmu jika kau sudah memutuskannya-”

“Ada satu hal yang membuatku khawatir,” sergahku, menghentikan ucapannya, “aku tidak terlalu mempermasalahkan Huri ataupun Ihsan, mereka berdua pasti bisa tumbuh menjadi anak yang baik. Namun aku justru mengkhawatirkan Sema dan juga Anka … Sebagai Pangeran, mereka akan mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan.”

“Kau tidak ingin, kalau saja aku terlalu memanjakan mereka?” Kepalaku mengangguk, membalas pertanyaannya.

“Aku ingin mereka tumbuh dengan mengetahui arti dari kata tanggung jawab. Aku ingin mereka tumbuh menjadi laki-laki yang menakjubkan, karena itu … Jangan terlalu lembut kepada mereka, tapi jangan juga terlalu keras pada mereka! Aku akan merasa sangat tenang dalam melakukan perjalanan, jika kau mampu mewujudkannya, Zeki,” tuturku yang hampir tak berkedip menatapnya.

“Aku akan melakukannya. Aku akan merawat mereka dengan baik … Kalaupun kau tidak terlalu mempercayai kemampuanku itu. Tsubaru ada bersama mereka di sini, bukan?”

Aku menggerakkan sedikit tubuh untuk berbaring di samping Anka, “kau terlalu memandang rendah diri sendiri. Memangnya siapa yang menjadi panutan Ihsan dan Huri selama di dunia Kou, kecuali ayah mereka sendiri.”

Helaan napasku keluar, disaat tatapan mataku itu terjatuh ke langit-langit kamar, “apa yang akan kau lakukan? Jika saja para bangsawan, mempertanyakan perihal bedanya Ihsan dari kita. Dengan satu kali lihat saja, dia sama sekali tidak mirip denganku ataupun dirimu.”

“Haruskah kita menceritakan semuanya kepada Ihsan? Atau, sembunyikan saja semuanya hingga dia dewasa. Aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri … Tapi peraturan kerajaan tetaplah peraturan,” ucapku yang kali ini benar-benar berhenti.

“Ingin menyembunyikannya.” Aku segera menoleh pada Zeki yang menyahut, “harus sampai kapan kita menyembunyikannya? Cepat atau lamban, dia akan mengetahui semuanya … Lebih baik, dia mengetahuinya dari kita, atau orang lain. Bagaimana menurutmu?”

Tanganku mengusap wajah setelah mendengar ucapannya, “aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku memang tahu, jawaban yang seharusnya diberikan. Namun, aku masih mencoba untuk berharap, kalau saja ada cara lain yang jauh lebih baik.”

Zeki merangkak, menyingkirkan tumpukan bantal yang ada di sampingku lalu membaringkan tubuhnya di sana. “Beristirahatlah! Kita akan membicarakan hal ini nanti! Wajahmu terlihat sangat lelah, jadi tidurlah agar tenagamu pulih!”

Aku berbelok dengan meletakkan lengan kiriku ke pinggangnya yang berbaring menyamping memandangku, “anakmu sulit dibuat tidur jika yang menjaganya adalah pelayan. Aku tidak bisa tidur, sebelum memastikan mereka berdua sudah benar-benar tidur.”

Dia mendorong pelan kepalaku agar menempel di dadanya, “aku akan menjaga mereka. Aku akan menjaga kalian,” ungkapnya yang balas mendekapku.

“Besok, pesanan gaun untukku dan untuk Huri akan datang. Beberapa perhiasan khusus yang aku pesan untuk kami berdua juga akan datang. Kau yang akan membayar semuanya, kan?” gumamku, sembari memejamkan mata seperti permintaannya.

“Aku akan meminta pelayan untuk mengantar semua itu ke kamar kalian masing-masing. Tidurlah! Kekayaanku, lebih dari cukup untuk membelikanmu sebuah kerajaan,” sahutnya dengan kecupan di kening yang menyertai.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang