Aku masuk ke dalam salah satu kamar yang ada di lantai dua seperti yang Haruki pinta. Langkahku yang berhenti itu, melirik ke arah Zeki yang berdiri membuka jendela di samping kamar. Aku berbalik dengan menutup kembali pintu lalu menguncinya menggunakan kayu kecil yang diikatkan di gagang pintu, sebelum aku berbalik melangkahkan kaki mendekati ranjang yang ada di tengah kamar.
Aku terdiam, dengan menatapi ranjang yang ada di hadapanku itu. Bukan kasur empuk yang aku temui di atas ranjang tersebut, melainkan rerumputan hijau yang menjadi alasnya. “Bagaimana?” tanyaku kepada Zeki yang tengah memeriksa kasur rumput tersebut dengan menekan-nekannya menggunakan kedua tangannya.
“Tidak terlalu keras, ini cukup empuk untuk ditiduri,” ucap Zeki, sambil beranjak naik ke atas kasur tersebut.
“Setidaknya, lepaskan terlebih dahulu alas kakimu itu!” perintahku, dengan berbalik lalu duduk di samping ranjang membelakanginya.
“Aku masih ingin lebih lama di sini, tapi kita harus segera kembali ke Yadgar, bukan?” ucapku pelan dengan menghela napas.
“Kenapa? Apa kau sudah puas bertemu dengan saudaramu?”
“Kita bahkan tidak memberitahukan mereka, jika kita akan pergi, bukan?”
Aku tertunduk, menatapi lengannya yang merangkulku dari belakang, “tidak perlu mengkhawatirkan itu, aku sudah memberikan catatan di ruang kerjaku untuk Khabir, jika aku dan Istriku akan pergi beberapa saat keluar,” ucapnya, diikuti kecupan diiringi tarikan napasnya di leherku.
“Ini hanya perasaanku, atau memang aroma harum tubuhmu semakin kuat dibanding sebelumnya?” bisiknya, mataku sedikit terpejam saat dia mencium beruntun leherku hingga ke belakang leher.
Aku menoleh, menatapnya yang membalasku dengan tatapan matanya yang nanar. Zeki mengecup bibirku, lalu menatapku lama dengan mengelus belakang telingaku sebelum kecupan darinya kembali menyentuh bibirku. Zeki mendecak saat kedua mata kami lama bertatap, “maafkan Ayahmu ini, Anakku. Salahkan Ibumu yang terlalu menggoda,” ucapnya pelan sambil membuka sedikit bibirnya.
Zeki menggigit pelan ujung bibirku, sebelum bibirnya tersebut semakin terbenam mendorong bibirku hingga kurasakan deruan napasnya memasuki rongga mulutku. Aku melingkarkan lenganku di lehernya, saat kurasakan tubuhku tersebut terangkat. Mataku terbuka perlahan, menatapnya yang dengan sangat perlahan membaringkan tubuhku di kasur. “Aku ingin melucuti semua pakaian yang kau kenakan,” ucapnya sambil menggerakkan tubuhnya mendekat lalu mencium lembut pipiku.
Napasku turut memburu, mengikuti napasnya yang semakin memburu terdengar di telingaku, “aku ingin melakukannya. Aku, sudah tidak bisa menahan diri lagi,” bisiknya, tubuhku sedikit terhentak dengan kedua mataku yang terpejam ketika bisikan darinya itu diakhiri oleh gigitan kecil di telingaku.
Zeki mengangkat wajahnya menjauhiku diikuti kedua matanya yang melirik ke kiri. Dia menghela napas sambil beranjak duduk, ketika suara tangisan bayi dari arah bawah semakin kuat terdengar. Kulirik dia yang beranjak turun dari ranjang lalu melangkah mendekati jendela yang sebelumnya dia buka, “aku hampir mencelakai kalian, hanya karena sulit untuk mengendalikan diri. Maafkan aku,” ucapnya sambil duduk di jendela dengan membuang pandangannya ke luar.
“Sa-chan! Zeki!”
Aku menarik napas, sambil beranjak duduk dengan wajah tertunduk, “ada apa, nii-chan?” tanyaku dengan sedikit meninggikan suara.
“Aku akan mengantar Hikaru ke Bibi. Jika memerlukan apa-apa, susul saja! Kau tahu di mana rumah Bibi, bukan?” ucap Haruki diikuti suara tangisan bayi yang mengiringi perkataannya.
“Aku mengerti, nii-chan. Aku masih mengingatnya,” jawabku, sambil mengalihkan pandangan ke arah Zeki yang masih membuang tatapannya ke luar jendela.
![](https://img.wattpad.com/cover/255183933-288-k758823.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...