Chapter DCXLI

1.3K 297 4
                                    

“Apa kalian menemukan sesuatu?” tanya Haruki kepada Eneas, Lux dan juga Dekka yang kami temui.

Mereka menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Haruki. “Di mana Ebe?” tanya Dekka dengan mengalihkan pandangannya kepadaku.

“Ebe, kemungkinan masih mencari di sekitar sana dengan kakakku,” sahutku berbohong dengan menunjuk ke arah belakang.

Aku turut menoleh ke belakang saat mereka yang ada di hadapanku mengarahkan pandangan ke belakang tubuhku. “Apa kalian menemukan sesuatu, Izumi?” tanya Haruki, Izumi hanya menutup mulutnya saat dia berenang mendekati Hippocampus miliknya yang sedang bersama Eneas.

“Aku bertanya kepadamu, Izumi-chan!”

“Kami tidak menemukan apa pun, apa kau puas … Nii-chan,” timpal Izumi dengan wajahnya yang terlihat kaku.

“Ebe? Apa kau, baik-baik saja?” tanyaku kepadanya yang telah menunggangi Hippocampus miliknya di sampingku.

Ebe hanya menganggukkan kepalanya, tanpa mengatakan apa pun, “maafkan aku, Ebe. Aku hanya ingin, yang terbaik untuk kalian berdua-”

Ebe menggelengkan kepalanya dengan mengalihkan pandangannya kepadaku, “justru aku berterima kasih, setidaknya … Aku bisa mengungkapkan semuanya yang aku rasakan selama ini,” ucapnya dengan kembali membuang pandangannya itu ke depan.

“Kalau semuanya telah diperiksa, sebaiknya kita melanjutkan kembali perjalanan,” ungkap Haruki, dia melirik dengan tersenyum simpul ke arah Izumi, sebelum Hippocampus miliknya itu berenang meninggalkan kami.

Aku mengusap leher Kuro, hingga dia membawaku berenang cepat menyusul Haruki dan yang lainnya. Sesekali, aku melirik ke arah Ebe ataupun Izumi yang masih menutup rapat bibir mereka masing-masing. “Tidak perlu mengkhawatirkan mereka,” bisikan Haruki yang menyentuh telingaku, membuat tatapan mataku beralih kepadanya yang menunggangi Hippocampus miliknya di sampingku.

____________.

Para Hippocampus, terus berenang membawa kami semua terus ke arah Utara. Aku tidak tahu, makhluk yang dimaksudkan itu ada atau tidak, aku pun sudah sulit menghitung … Sudah berapa hari, yang telah kami habiskan di lautan. “Ada apa nii-chan?” tanyaku kepada Haruki yang kembali menyelam membawa Hippocampus miliknya mendekati kami.

“Di sana, ada sebuah pelabuhan. Aku, akan mengajak Eneas untuk membeli buah di sana-”

“Kalau seperti itu, aku juga akan ikut dengan kalian,” timpal Izumi yang memotong perkataan Haruki.

“Baiklah. Sa-chan, kau tetap di sini bersama mereka … Kami bertiga, akan membeli makanan untuk kita,” sahut Haruki mengikuti ucapan Izumi.

“Apa kalian memiliki koin?”

Eneas mengangkat tangannya ke atas, “aku menyimpan uang. Aku, tidak pernah meninggalkan tasku yang menyimpan banyak racun. Jadi, koin yang diberikan kak Zeki tempo dulu, masih aku simpan,” tukas Eneas dengan menepuk-nepuk tas yang ia bawa.

“Baiklah, aku mengerti. Berhati-hatilah kalian bertiga,” ucapku yang dibalas anggukan kepala mereka bergantian.

Kepalaku bergerak menoleh ke arah Ebe dan juga Dekka, saat saudara-saudaraku sendiri telah berenang ke arah permukaan, “aku, ingin mencari daratan untuk tempat tinggal sementara,” ucapku kepada mereka berdua, dengan sesekali melirik ke arah Lux yang mengambang di dekatku. “Apa kalian, dapat membantuku mencari tempat yang jauh dari jangkauan manusia di sekitar sini?” tanyaku kembali dengan melirik mereka bergantian.

“Terima kasih,” sambungku yang dibalas anggukan kepala oleh mereka.

Kami berenang, memencarkan diri ke arah yang berlawanan. Kuro, berenang membawaku sedikit mendekati permukaan air laut, hingga hanya setengah wajahku saja yang tenggelam. Aku melepaskan rangkulan lenganku di lehernya sambil tubuhku berenang perlahan mendekati sebuah pantai yang sedikit jauh dari tempatku sekarang. “Aku, akan memeriksa tempat ini sejenak,” ucapku, sambil sedikit berjalan tertatih menapaki pasir pantai setelah lumayan jauh berenang meninggalkan Kuro.

Aku terus berjalan dengan sesekali menghentikan langkah, “Kou, apa kau merasakan ada yang aneh di tempat ini?” gumamku, sambil diikuti kepalaku yang bergerak melirik ke sekitar.

“Tidak ada, My Lord. Tidak ada yang aneh di sana,” jawab Kou yang melintas di kepalaku.

Aku menghela napas dengan kembali berbalik mendekati bibir pantai, “Kuro! Bantu aku untuk membawakan mereka semua ke sini!” perintahku, aku kembali menurunkan kedua telapak tanganku dari sudut bibir saat aku berhenti mengucapkannya.

__________________.

Aku duduk dengan melirik ke arah Ebe yang masih terdiam di sampingku, sudah cukup lama kami menunggu kedatangan yang lain di bibir pantai … Lux sendiri, terbang untuk mencari tahu seluk-beluk pulau, sedangkan Dekka membantuku untuk menunjukkan jalan kepada saudaraku agar bisa ke sini. “Sachi,” ucap Ebe yang membuatku menoleh ke arahnya.

“Apa kau bisa membuat rambutku sama seperti rambutmu? Rambutku sering tersangkut di terumbu karang, aku jadi tidak leluasa melakukan perjalanan-”

“Apa kau ingin aku menguncirnya?” tanyaku dengan memotong perkataannya.

“Aku tidak tahu apa namanya, tapi mungkin iya,” sahutnya yang juga menoleh ke arahku.

“Aku akan melakukannya, tapi tunggu saudaraku dulu … Karena, mereka suka mengikatkan kain kecil di pergelangan tangan, yang bisa kita gunakan untuk pita pengikat rambut,” tukasku kembali padanya.

“Abaikan saja permintaanku, Sachi. Aku, sudah tidak membutuhkannya,” sambung Ebe, dia mengambil sedikit air laut menggunakan telapak tangan, lalu diusapkannya air laut tadi ke ekornya.

Aku menutup rapat kembali bibirku, sambil kedua mataku tetap mengarah ke lautan … Lama, tak keluar kata-kata di antara kami. “Mereka sepertinya telah kembali,” ucapan dari suara Lux, membuat pandanganku terangkat kepadanya.

Aku melirik ke arahnya yang telah hinggap di atas pundakku, “aku telah berkeliling. Ada beberapa manusia yang tinggal jauh di sebelah sana, tapi aku pikir mereka akan sangat jarang ke sini,” ucap Lux yang membalas lirikan mataku kepadanya.

Aku beranjak berdiri, saat sosok Haruki, Izumi dan juga Eneas keluar dari dalam air lalu melangkah mendekati kami. Kedua kakiku juga turut melangkah mendekati mereka yang telah berjalan melewati kami, “apa yang kalian beli?” tanyaku sambil menatap karung yang diletakkan Izumi di atas pasir.

“Hanya daging potong dan juga apel … Kau, makanlah apel terlebih dahulu untuk mengisi tenaga, karena kami sudah melakukannya saat membelinya,” ucap Haruki, dia memberikan dua buah apel merah kepadaku setelah sebelumnya merogoh ke dalam karung.

Aku meraih apel yang diberikan Haruki, dengan kedua mataku melirik ke arah Izumi yang berjalan mendekati Ebe. Tatapan mataku masih mengarah kepada Izumi, yang terlihat berbicara dengan memberikan sesuatu di tangannya kepada Ebe. “Aku pikir, dia membelikan benda itu untukmu, nee-chan,” ungkap Eneas yang membuat mataku mengarah kepadanya.

“Benda itu? Benda apa?”

“Jepit rambut kayu … Ahh, aku baru ingat,” ungkap Eneas kembali dengan sebelah tangannya yang mengepal memukul telapak tangannya yang lain, “Izu nii-san, pandangan matanya tidak lepas dari perempuan itu. Soalnya, kadang-kadang perempuan duyung itu sering kali berhenti karena rambutnya yang melilit di tumbuhan-tumbuhan di laut-”

“Biarkan saja mereka. Eneas, bantu aku menyiapkan api! Lux, kau pasti telah mengelilingi tempat ini, bukan? Apa kau menemukan sumber air? Kalau iya, bawa kami ke sana!” sahut Haruki memotong perkataan Eneas.

Aku masih terdiam, dengan melirik ke arah Haruki, Eneas, disusul Lux yang bergerak menjauhi. “Aku bahkan tidak menyadarinya, kalau rambut Ebe akan mengganggu pergerakannya sendiri,” gumamku, sambil menunduk mendekatkan apel yang ada di tanganku ke bibir, “asin,” sambungku bergumam, ketika rasa asin di kulit apel menyentuh lidahku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang