Takaoka Ryuzaki (Side Story') III

1.8K 349 22
                                    

Mataku terbuka, di saat ketukan demi ketukan kurasakan di kepala. Aku terkesiap, ketika tetesan air mengalir jatuh saat wajahku mendongak. Apa tadi itu mimpi? Sangatlah mustahil … Jika kebahagiaan datang menghampiri.

Kepalaku kembali tertunduk, menatap kedua tangan kecilku yang direlung oleh bongkahan kayu. Di mimpi itu, aku sudah besar … Sebuah keluarga? Kebahagian? Benar-benar sebuah bualan kosong untuk diharapkan.

___________.

Deru napas yang tak beraturan, membuatku kembali terjaga. Aku tidak bisa melihat jelas sosok yang berjalan mendekati itu … Kedua tanganku yang dibelenggu, tidak mampu untuk menyingkirkan rambut yang menutup mata. Aku sedikit terperanjat, mataku sedikit membelalak, ketika sepasang tangannya itu menyentuh pipiku.

Tangannya tersebut, dengan perlahan menyingkap rambutku. Dia? Bukankah dia perempuan yang pernah aku lihat di dalam mimpi? Perempuan yang menangis memohon pengampunan … Tapi apa yang dia lakukan di sini?

“Kau, pasti sangat kesepian, bukan?”

“Maaf, seharusnya aku … Datang lebih cepat,” tukasnya, dengan tiba-tiba memeluk tubuhku.

Kesepian?

Apa yang dia katakan tadi? Apa ini mimpi yang lain? Pundakku basah … Apa dia menangis? Rasanya hangat … Kenapa, melihat seseorang menangis justru membuatmu merasa hangat?

Dia melepaskan pelukannya, lalu beranjak dengan meraih sebongkah batu besar yang ada di sudut kurungan. Raut wajah lelah, terlihat jelas di wajahnya saat dia mengangkat bongkahan batu tadi mendekatiku. Aku terpaku … Ketika dia berulang-ulang memukulkan batu tadi di kayu yang memasung kakiku.

Kenapa dia melakukannya? Kenapa dia melakukan hal ini di saat kedua tangannya saja, terlalu kecil untuk memegang bongkahan batu tersebut … Kenapa dia terlihat seperti ini? Padahal di mimpiku … Dia terlihat seperti sesorang yang berbeda.

“Kita pulang, ya,” ucapnya lagi, dengan kali ini kembali mengusap lembut pipiku.

“Si-a-pa kau?” sepintas pertanyaan, meluncur begitu saja dari bibirku.

___________.

“Akhirnya, kau memiliki nama,” ucapnya memeluk erat tubuhku, “Ryuzaki, namamu Ryuzaki. Aku akan memanggilmu Ryu-chan!”

“Ryuzaki?” gumamku pelan, sambil tertunduk dengan menekan kuat dadaku sendiri, di saat kenangan beberapa hari yang lalu melintas di kepalaku. “Ryuzaki … Aku-”

“Yang Mulia!” Tubuhku seketika terkesiap, saat suara laki-laki diikuti suara ketukan pintu terdengar beriringan, “aku diperintahkan untuk membawa Yang Mulia menyantap makan malam bersama. Jadi, izinkan aku untuk masuk … Semuanya telah menunggu kedatanganmu.”

Pintu terbuka, dengan laki-laki yang bernama Arata, turut masuk sambil mendorong sebuah kursi mendekatiku. “Yang Mulia, Putri Sachi membuatkan kursi ini untukmu. Jadi, Yang Mulia bisa menggunakannya untuk berkeliling Istana kapan pun. Maafkan aku, Yang Mulia … Tapi, aku akan segera mengangkatmu dan membawamu ke sana,” ucapnya kembali, diikuti kedua tangannya yang memapah tubuhku untuk duduk di kursi tadi.

Kursi tersebut bergerak, setelah Arata yang berdiri di belakangku itu mendorongnya. Selain sebuah nama, aku pun mendapatkan seorang pelayan yang akan melakukan semua perintahku tanpa berani menolak. Walau mereka semua, mengiraku tidak bisa memahami apa yang mereka katakan … Tapi tidak apa-apa, hal itu justru lebih baik dibanding berbicara kepada mereka.

Dadaku tak berhenti untuk berdetak, ketika suara riuh bercampur tawa terdengar dari dalam ruangan yang hendak aku datangi. Semua suara tadi, dengan tiba-tiba menghilang disaat Arata membawaku masuk ke dalam, “apa dia Ryuzaki? Aku sebenarnya ingin segera menemuimu tadi siang, tapi mereka mengatakan bahwa kau sedang beristirahat,” ucap salah seorang laki-laki, saat dia beranjak dari kursinya lalu berjongkok di depanku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang