Chapter DCLXVII

2.5K 494 31
                                    

Aku masih diam mematung di samping Kou, dengan pandangan yang enggan lepas dari Uki. Langkah Uki berhenti di depan para penduduk yang masih diam di tempat mereka masing-masing, hanya kedua tangan mereka saja yang kadang kala bersilang ... Mungkin, udara dingin yang Kou keluarkan, telah sampai ke mereka.

"Pergilah, My Lord!"

Aku menoleh ke kiri, menatap mata Kou yang hampir tak berkedip membalas tatapanku. Kepalaku mengangguk, "baiklah," ucapku pelan dengan berjalan meninggalkannya.

"Apa kalian dapat mendengar apa yang aku katakan?" ucapku, saat langkahku sendiri berhenti di samping Uki.

Aku sesekali menunduk, sambil mengusap hidung menggunakan ujung jari saat bau busuk kian menyengat tatkala aku dan Uki berjalan mendekati kerumunan tersebut. "Apa Nyonya, yang dikabarkan akan menyelamatkan kami?" tukas salah satu laki-laki, bibirku mendadak terkatup karena tak sanggup melihat masing-masing kondisi dari mereka yang mengenaskan.

Tubuh mereka dipenuhi luka dengan banyak sekali nanah yang keluar mengalir dari luka-luka tersebut. Mereka terlihat sangat kurus, hingga hanya terlihat seperti rangka tulang diselimuti kulit tipis. "Benar, aku datang ke sini untuk menyelamatkan kalian," ucapku, dadaku semakin sesak saat senyum-senyum sumringah keluar dari masing-masing bibir mereka.

Aku semakin terdiam ketika mereka berbondong-bondong, menyeret tubuh mereka ke arahku. "Mereka tidak bisa berjalan, para Manticore yang membawa mereka ke sini," ucap suara Kou yang kembali terdengar, diikuti tubuhnya yang juga telah berdiri di sampingku.

"Jika kau dulu, tidak menyelamatkanku ... Apa aku, juga akan berakhir seperti mereka?"

"Aku sudah memberitahumu sebelumnya, My Lord. Kehidupan masa lalu tiap makhluk berbeda, tidak ada salahnya jika kau ingin menolong seseorang karena orang tersebut merasakan apa yang dulu pernah kau rasakan ... Mereka yang tidak pernah merasakannya, tidak akan paham, seperti yang dikatakan oleh Haruki-"

"Kau, mengerti bahasa manusia, Uki?" tukasku memotong perkataannya.

"Sebelum kau menemukanku, aku terombang-ambing di dalam kotak kayu yang dibawa manusia. Apa kau lupa, My Lord?"

"Sekarang, yang lebih penting ... Ucapkan, kata-kata yang sebelumnya aku pinta untukmu mengucapkannya. Kita harus menyelesaikan semua ini sebelum malam datang," sambung Uki yang telah berdiri membelakangiku.

"Baiklah," jawabku dengan menarik napas yang sangat dalam, "sebelum aku menyembuhkan kalian. Ingatlah syarat dariku, jangan pernah mengatakan kepada siapa pun jika aku yang menyelamatkan kalian. Syarat kedua, jika kalian telah sembuh, larilah sejauh mungkin dari sini, jangan kembali ke tempat terkutuk itu, dan syarat ketiga ... Aku bukanlah Deus, aku mungkin tidak bisa menyelamatkan kalian, walau aku akan berusaha semampuku tapi aku tidak berjanji akan menyembuhkan sakit yang kalian alami."

"Bagaimana?" tanyaku untuk memastikan semuanya terlebih dahulu.

"Nyonya, apa kami memiliki pilihan? Kami, telah kehilangan semangat untuk hidup. Jadi, sekecil apa pun kesempatan itu, kami tidak akan menyesal."

Aku melirik ke arah Uki yang telah membentangkan sayapnya saat suara seorang perempuan yang berbicara sebelumnya berhenti, "baiklah. Tetap di tempat kalian sekarang! Diam lalu tutup mata kalian!" perintahku, dengan sedikit berjalan mundur menjauhi Uki.

Titik-titik api kebiruan, menyala di ujung-ujung bulu milik Uki ... Nyala api tersebut kian membesar, hingga ketika ada angin yang berembus ... Lembaran abu tipis, seperti benda yang habis terbakar turut terbang bersama angin itu, mengitari para penduduk. Aku sedikit terhentak, saat kurasakan sesuatu tiba-tiba melingkar di pinggangku. "Kau akan bisa melihatnya lebih jelas dari atas punggungku, My Lord. Setidaknya, kau harus bisa menilai burung itu akan berguna untukmu di masa mendatang atau tidak," ungkap Kou, ketika dia telah menurunkanku kembali di atas punggungnya.

"Uki!"

Aku memanggil namanya, ketika api biru yang menyelimuti tubuhnya itu kian membesar dan kian membesar dari sebelumnya, dengan lembaran abu yang juga turut membumbung naik ke atas langit. "Wahai langit, ini perintah dariku! Terima sihirku! Turunkan hujan dan turunkan penyembuh untuk makhluk-makhluk malang itu! Tuanku menginginkannya."

Aku dengan cepat menunduk lalu memeluk leher Kou saat suara gemuruh dari langit terdengar memekakkan telinga. "Bagaimana bisa, makhluk kecil seperti dia memiliki sihir sekuat ini?" Aku mengangkat pandangan, berusaha melirik ke arah Uki ketika Kou menghentikan gumaman yang ia lakukan.

Namun, yang Kou katakan itu tidak salah, bahkan aku pun juga turut merasakan sihir yang sangat kuat di sekitar kami. Kepalaku mendongak ke atas, tatkala tetesan-tetesan air tiba-tiba jatuh membasahi kepala ... Tetesan air, yang semakin lama semakin deras mengguyur kami semua. "Uki, apa kau? Apa kau bisa membuat hujan?" tanyaku, saat dia sendiri telah terbang lalu hinggap bertengger di leher Kou.

"Dan, dan apa yang kau lakukan tadi?" Aku kembali melontarkan pertanyaan kepadanya.

"Aku mana mungkin, mengeluarkan air mata untuk satu per satu mereka, aku lebih tidak sudi memberikan darahku kepada mereka. Kekuatanku menakjubkan, bukan? Aku hanya tinggal memberikan perintah dengan menukarkan sihirku, lalu Dia yang menciptakan kehidupan melakukan semua tugasnya. Ini sama seperti saat kau berdoa untuk mengambil kutukan seseorang, My Lord."

"Mereka akan baik-baik saja setelah hujan ini berakhir, kita bisa pergi meninggalkan mereka," sambung Uki dengan mematuk leher Kou beberapa kali.

Kou berjalan mundur di atas serpihan-serpihan es oleh air hujan yang jatuh di dekat kakinya, sebelum dia terbang membawa kami pergi menjauh dari tempat tersebut. "Melakukan hal ini membuat tenagaku terkuras," ucap Uki, aku membuka kedua tangan, merangkul tubuhnya yang terbang mendekat.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku sambil mengusap kepalanya yang bersandar di dadaku.

"Aku-"

Uki menghentikan perkataannya, begitu juga denganku dan Kou yang sama-sama mengatup bibir saat sebuah sihir terasa bergerak cepat mendekati kami. Aku merangkul tubuh Uki dengan sebelah tanganku, sedang sebelah tanganku yang lain bergerak cepat merangkul leher Kou saat dia berbelok tajam ke samping ... Ke arah yang berseberangan dari arah datangnya sihir tersebut.

"Bahkan ini belum malam, apa itu mereka?" tanyaku, mataku sedikit menyipit saat udara semakin terasa kencang melewati kami.

"Apa kau bisa menghitungnya, Kou? Sepuluh? Tidak, sihirnya terlalu kuat untuk sepuluh makhluk-"

"Berhenti bergumam! Aku mungkin sudah melawan mereka kalau saja kalian berdua tidak berada di punggungku!" balas Kou, sebelum dia menukik tajam menghindari kerumunan burung yang sangat banyak terbang melewati kami.

"Kura-kura itu, dia mengorbankan banyak burung yang tidak bersalah untuk kita melarikan diri," Uki kembali bergumam untuk yang kesekian kalinya.

Tubuhku mematung, saat ekor Kou lagi-lagi melingkar di pinggangku. "Kou!" Aku berteriak memanggil namanya, tatkala ekornya melemparkan tubuhku terbang menjauh dari atas punggungnya.

Detak jantungku seakan berhenti, saat aku yang sebelumnya melayang cepat di udara oleh lemparan yang Kou lakukan ... Tiba-tiba berhenti begitu saja menabrak dedaunan empuk yang menyelimuti tubuhku. "Kami merasakan sihir Agung yang sangat besar sebelumnya. Saat hendak memeriksanya, kami justru mendapatkan tubuh keponakanku yang terlempar dari atas langit-"

"Bi ... Bibi?" tukasku saat pandanganku itu terjatuh ke seorang perempuan yang berdiri membelakangiku, "kakek? Kau juga ada di sini?" Aku kembali membuka bibir, menatapnya yang juga berdiri membelakangi dengan banyak Elf di kanan dan kiri tubuhnya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang