Chapter DCCIV

2.2K 409 11
                                    

“Huri!”

Huri beranjak lalu meraih tanganku yang menjulur kepadanya. Aku berjalan sambil menggandengnya, kembali mendekati Zeki yang telah berdiri di dekat Haruki dan juga Aydin. Lama kami berdiri menunggu tanpa mengeluarkan sedikit suara pun dari kami semua.

Usapan tanganku di kepala Huri berhenti, ketika bunyi derap langkah kaki terdengar dari dalam gua yang tak terlalu jauh dari tempat kami semua menunggu.

“Callia!” panggilku kepada seorang Perempuan yang dulu diperintahkan oleh Ratu Alelah untuk menjagaku.

Langkah Callia dan pasukan perempuan lainnya berhenti tepat setelah mereka semua sudah keluar dari bibir gua. “Ratu memerintah kami, untuk membawa kalian semua menemui Beliau. Jadi, ikuti kami!” Salah seorang perempuan berkulit hitam maju, dengan tubuhnya yang membungkuk ke arah kami.

Setelah dia kembali berdiri tegap, dia berbalik hingga perempuan-perempuan yang berbaris di belakangnya termasuk Callia, bergerak menepi hingga menyisakan sebuah jalan lebar di antara mereka. Aku melangkah, mengikuti Haruki dan juga Aydin yang sudah terlebih dahulu menyusul perempuan tadi, “Zeki,” suaraku dengan pelan memanggilnya yang berjalan di depanku.

Dia berhenti melangkah lalu berbalik dengan sebelah tangannya terangkat ke arahku. Aku menyambut dan menggenggam erat tangannya tadi. Pikiranku yang berkecamuk, membuat suasana hatiku juga ikut memburuk. Aku tahu, terjadi sesuatu di sini! Aku bisa merasakannya, terlebih raut wajah para perempuan itu-

“Jangan membebani tubuhmu sendiri untuk memikirkan sesuatu yang seharusnya tak perlu kau pikirkan. Ini bukan hanya satu kali atau dua kali, kau mengalami sesuatu yang buruk, bukan?”

Pandanganku yang sebelumnya terjatuh ke arah Ihsan yang berjalan berdampingan dengan Takumi di depan kami, mau tak mau beralih kepada Zeki setelah mendengar apa yang dia ucapkan, “kau benar,” jawabku singkat seraya membuang lagi tatapan ke depan.

Langkahku terus melangkah maju, dan tetap melangkah maju melewati suasana di sekitar yang sangatlah gelap gulita. Mataku, tidak bisa melihat apa pun, sejak kami memasuki gua, “Huri, jangan lepaskan genggaman tangan Ibu. Apa kau mengerti?”

“Baik Ibu,” suaranya terdengar menjawab perkataanku, walau sosoknya sendiri tidak bisa aku lihat.

“Ihsan?”

“Aku di sini, Ibu,” suaranya juga ikut terdengar menanggapi panggilanku, walau aku tidak tahu dia berada di mana.

Tatapanku itu terjatuh, ke arah sepasang mata kecil yang bersinar di depanku, “Bibi, Ihsan ada di sampingku. Takumi yang menakjubkan ini, akan menjaganya di tempat gelap ini,” sahut suara Takumi yang masuk ke telingaku, diikuti suara tawa yang mengikuti ucapannya.

“Baiklah, Bibi mengandalkanmu, Takumi,” jawabku seraya mempererat genggaman tanganku kepada Huri.

“Laksanakan, Bibi!”

Keadaan kembali menghening, setelah pembicaraan di antara kami berakhir. Kedua kakiku, terus saja melangkah seiring genggaman yang dilakukan Zeki, semakin erat kurasakan. Semakin lama langkahku berlanjut, semakin itu juga, percikan cahaya terlihat dari kejauhan.

Aku terkesiap, kedua kakiku berhenti melangkah, ketika kami semua telah berhasil melewati gua. “Apa yang terjadi di sini?” tanyaku dengan tatapan mata yang jatuh ke sekitar.

Mataku itu, tak henti-hentinya melirik ke arah pepohonan yang tumbuh mengelilingi kami. Semua pepohonan yang ada, terlihat mengering dengan secuil daun pun, yang sama sekali tak terlihat menempel di semua cabang dari pohon-pohon yang ada.

Jantungku, justru semakin berdegup kencang, saat aku sendiri menunduk memandangi tanah yang kami injak, terlihat sangat kering seperti tak pernah disentuh oleh air. “Sachi?” Tubuhku sedikit tersontak tatkala suara dari Zeki tiba-tiba masuk ke dalam kepalaku.

“Pulau ini sudah hancur, semenjak air terjun kehidupan tiba-tiba mengering.”

Kepalaku dengan cepat menoleh ke arah Callia yang menyahut sambil berjalan mendekatiku. “Rumah kami telah hancur, Sachi. Tidak ada lagi yang tersisa,” isak Callia dengan mata berurai menatapku.

Aku melirik ke arah Zeki, hingga akhirnya dia mengerti lalu melepaskan genggaman tangannya padaku. “Callia, apa yang kau maksudkan?” Aku kembali bertanya seraya tangan terangkat, meraih lalu menggenggam tangannya.

Callia tertunduk sambil mengangkat tangannya mengusap mata, “kau akan paham saat kalian semua bertemu dengan Ratu. Ikuti langkahku … Aku, akan membawa kalian semua untuk pergi bertemu dengannya,” tutur Callia, dia berjalan melewati kami setelah aku melepaskan genggaman tanganku padanya.

Aku berbalik, dengan langkah yang terasa berat untuk mengikutinya. Kugigit kuat bibirku, saat semakin kami masuk ke dalam hutan … Semakin itu juga, kondisi yang terlihat kian menyayat hati. Sebuah Kerajaan Makmur yang dulu pernah kami kunjungi, kini kemakmuran yang ketika itu sangat aku kagumi, menghilang, kandas tak bersisa.

Jangankan pohon. Jangankan bunga, bahkan rumput atau lumut saja tak bisa aku temukan. “Ibu!” Lirikanku beralih ke arah Huri yang memanggilku dengan sangat pelan.

Aku memindahkan tanganku menggenggam tangannya yang lain, sambil berjalan hingga Huri melangkah di tengah-tengah antara aku dan juga Zeki. Setelah aku melakukannya, kualihkan lagi pandanganku ke arah para penduduk yang menatap kami dengan mata yang terlihat penuh akan amarah. “Tidak perlu mengkhawatirkan mereka. Mereka hanya tidak terbiasa dengan laki-laki yang tiba-tiba datang ke sini,” ucapan tiba-tiba dari seorang wanita yang sebelumnya memimpin kami berjalan menelusuri gua, terdengar di sampingku.

“Apa kau, seorang Kapten?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya yang berjalan tepat di samping.

Perempuan itu membuang wajahnya ke depan, “jika yang kau maksudkan, seseorang yang memimpin banyak sekali Kesatria … Itu bukanlah aku, melainkan Ibuku, Ratu Alelah.”

“Ibumu? Ratu Alelah? Itu berarti-”

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, sebuah anggukan darinya sudah menjawab semuanya. “Aku menolak untuk diperkenalkan Ibuku dulu, saat kalian datang berkunjung ke sini. Jadi, sudah sangat wajar jika kalian tidak mengenaliku.”

Ucapan perempuan yang berjalan di sampingku itu berhenti, dengan tarikan dan embusan napas dalam yang mengikuti, “jika kalian berniat datang ke sini hanya untuk mencari bantuan dari kami, maka lupakan hal tersebut. Untuk menghidupi diri sendiri saja, rakyat kami sudah mengalami kesulitan, bagaimana mungkin kami menolong orang luar,” tukasnya sembari mempercepat langkah melewatiku.

Perempuan tersebut berjalan, sambil berteriak mengeluarkan bahasa yang aku tidak mengerti apa maksudnya. Namun, hal yang dapat aku pastikan hanyalah, semua penduduk yang sebelumnya terlihat enggan memalingkan pandangan dari kami. Satu per satu dari mereka berbalik, kembali masuk ke dalam rumah mereka masing-masing.

Sembari melangkah, aku kembali melirik ke arah Huri yang berjalan dengan mengatup rapat bibirnya. “Ibu?” tukasnya, dengan wajahnya yang terangkat membalas tatapanku.

Aku tersenyum sambil menyentuh kepalanya, “Apa Huri lelah? Ibu akan menggendong Huri, kalau Huri lelah,” tuturku, dengan berusaha sekuat mungkin agar tidak membuatnya khawatir.

“Tidak, Ibu. Huri ingin berjalan saja seperti Kak Ihsan,” ungkapnya membalas perkataanku.

“Baiklah. Kita akan segera sampai. Bertahanlah sebentar lagi,” sahutku, diikuti kedua mata yang melirik ke arah Zeki yang juga sudah menjatuhkan lirikannya kepadaku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang