Aku berjalan lalu duduk di tengah-tengah mereka. “Sekarang, apa kalian dapat memberitahukanku apa saja yang mereka lakukan pada kalian?” tanyaku tanpa memedulikan anak-anak dari kerajaan lain.
“Saat itu,” sahut salah seorang anak yang tertunduk menatapi setengah makanannya yang bersisa di piring, “aku dan adikku sedang mencari kayu bakar … Ayah kami seorang Kesatria dan tidak pulang karena harus menjaga perbatasan, sedang Ibu kami ketika itu sedang sakit. Salju turun kala itu dan kami perlu api untuk menghangatkan diri-”
“Lalu?” Aku balik bertanya disaat anak tersebut kembali menutup mulutnya.
“Beberapa Kesatria Sora mengelilingi kami … Hingga saat kami terbangun, kami telah di dalam penjara. Adikku,” ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis, “Adikku jatuh sakit karena mereka selalu menyiksa kami, kalau kami tidak ingin mendengarkan perintah mereka. Mereka, memerintah kami untuk belajar semua ritual yang mereka jalankan. Aku … Sebagai Kakak, aku tidak bisa menjaga adikku.”
Kepalanya yang tertunduk, segera terangkat disaat tanganku menyentuh pelan kepalanya, “maaf. Andai saja aku datang lebih cepat,” ungkapku hingga membuat tangisan yang sekuat mungkin dia tahan, pecah jua di hadapanku.
Aku sedikit beranjak lalu memeluk erat dirinya, “adikmu, pasti bahagia melihat Kakaknya sekarang sudah baik-baik saja. Hiduplah untuk adikmu, dan jangan lupakan rasa sakit ini … Karena kau pasti tumbuh kuat dari rasa sakit itu.”
“Aku akan menghukum mereka semua yang telah menyakiti kalian. Jadi, berikan aku semangat dengan senyuman kalian. Kalian harapan Sora, dan kalian berharga untuk kami-”
“Bohong!” seru salah seorang anak yang membuat mataku teralihkan padanya, “kalau kami berharga, kenapa kalian menjual kami untuk dipenjara? Aku melihatnya sendiri … Aku melihat, Para Kesatria menerima bayaran dari orang-orang yang memakai pakaian hitam.”
“Benarkah?” timpalku cepat pada perkataannya, “terima kasih karena telah membagikan informasi penting ini padaku. Kakakku, Putra Mahkota Takaoka Haruki, akan mencari dan memenggal kepala mereka semua yang telah berkhianat,” jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
Aku beranjak lalu berjalan mendekati tiga titik sihir yang sudah sangat aku kenal itu. “Bibi … Ryu, kau pun datang?” tuturku pada Ryuzaki yang melangkah di belakang Bibi.
“Aku merasakan keanehan dan segera membawa Sarnai pergi dari sana setelah kurasakan sihir kalian tiba-tiba menghilang. Di Dunia Elf aku bertemu dengan Kakek, Beliau menceritakan apa yang terjadi dengan syarat bahwa aku tidak akan pernah membawa mereka ke tempat persembunyian kalian.”
“Dia dan Istrinya tinggal bersama kami di Pulau. Aku mengajaknya ke sini, karena Lux yang datang menjemput … Memintaku untuk datang menemuimu. Lalu, apa yang harus kami lakukan untuk menolongmu kali ini?” tutur Bibi menimpali ucapan Ryuzaki.
Aku menoleh ke belakang, ke arah anak-anak tadi yang masih terdiam dikelilingi oleh Para Manticore, “aku harus kembali ke Juste sebelum pagi datang. Mereka, adalah anak-anak yang berhasil aku bebaskan dari penculikan. Kondisi mereka belum terlalu membaik jadi aku meminta Bibi untuk merawat mereka sebelum mengembalikan mereka ke Sora. Total mereka semua … Sekitar seratus anak, dan mereka yang masih bayi juga ikut di dalamnya. Jadi Bibi, apa kau bisa melakukannya?”
Bibi terdiam dengan hanya menggaruk kepalanya sendiri, “aku memang menyukai anak kecil, tapi kalau terlalu banyak,” ucapnya sambil ikut melemparkan pandangan pada anak-anak tadi, “tapi baiklah. Aku akan memerintahkan perempuan-perempuan Elf untuk membantuku menjaga mereka. Kau tidak perlu khawatir,” sambung Bibi dengan melanjutkan langkahnya melewatiku.
Mataku masih mengikuti Bibi yang menyelinap di tengah-tengah mereka, “Ryu, mereka mengatakan kalau Kesatria Sora menjual mereka pada penculik. Aku ingin kau memberitahukan hal ini kepada Haru-nii, dan pastikan dia tidak menyadari keberadaanmu saat kau datang mengunjungi mereka-”
“Sampai kapan kau akan lari dari mereka?” sergah Ryuzaki sebelum ucapanku selesai.
“Entahlah. Dia sendiri yang memintaku unuk pergi setelah aku menolak pertunangan anak-anak kami-”
“Dia telah menunggumu dalam beberapa kehidupan. Dia pasti tidak akan melepaskanmu begitu saja. Semua hal ini hanya salah paham, kau hanya harus membicarakan hal ini baik-baik … Dia laki-laki, yang memeluk dan menangisi kematianmu lebih lama dibanding laki-laki lain, Sachi.”
Gigitanku di bibir semakin kuat, sebelum tarikan napasku yang dalam menghentikannya, “aku tahu. Aku pun menyesal karena telah meninggalkannya begitu saja, aku bahkan telah memisahkan anak-anak darinya. Tapi tidak untuk sekarang … Aku masih belum bisa kembali,” ucapku diikuti kedua kaki yang mulai lanjut kembali melangkah.
Aku berhenti di samping Bibi yang tengah memberikan perintah pada anak-anak, “Bibi, sebagian dari anak-anak itu berasal dari Kerajaan Musuh yang telah menculik anak-anak lainnya. Jadi, jika anak-anak yang tidak tahu berterima kasih karena aku sudah berusaha untuk menolong mereka itu menyusahkanmu … Buang mereka ke tengah laut untuk dijadikan santapan ikan-ikan besar yang ada di sana!” ancamku sambil menunjuk pada kumpulan anak-anak Kerajaan Juste yang raut wajah masing-masing dari mereka telah berubah.
“Rumah-rumah yang ada di ujung sebelah sana berisikan para bayi. Aku akan memerintahkan Kou untuk membuka gerbang … Aku harus segera pergi, karena Pagi akan segera datang di Kerajaan Juste,” ungkapku dengan menjatuhkan lagi pandangan ke arah Bibi.
Bibi menunduk sambil mengangkat tangan kanannya ke samping. Disaat dia melakukannya, sebuah tunas yang terbuat dari anyaman daun mencuat dari dalam tanah lalu mekar tepat sebelum menyentuh tangan Bibi. “Huri, Ihsan dan Takumi … Mereka memintaku untuk memberikan ini kepada kalian saat aku memberitahukan mereka kalau aku harus menemuimu.”
“Mereka tidak pernah meninggalkan pelajaran yang ditugaskan Tsubaru. Mereka benar-benar telah tumbuh,” sambung Bibi, sembari berjalan dengan membawa gulungan kertas yang ia ambil dari atas kelopak daun yang merekah sebelumnya.
Bibi tersenyum seraya menjulurkan kertas yang ada di genggamannya itu, “segeralah berbaikan! Mereka juga bukanlah musuhmu, mereka keluargamu. Ingat-ingatlah kembali, saat-saat di mana … Kau merasa bersyukur menjadi anak, adik, kakak atau pasangan mereka!” pungkas Bibi sambil meraih tanganku lalu meletakkan kertas tadi di sana.
Aku masih terdiam menatapi gulungan kertas tersebut sesaat Bibi sudah berbalik lalu melangkah menjauh, “aku tahu,” gumamku lemah, dengan tangan yang bergerak erat menggenggam kertas itu, “karena itulah, aku melakukan hal ini sekarang,” lanjutku seraya mengangkat lagi wajah yang sempat tertunduk.
“Kou buka gerbang dan Kei gunakan anginmu untuk membawaku kembali! Uki, kau harus ikut mereka kembali ke Pulau nanti! Para Leshy, ajak Lux bersama kalian untuk mengikutiku!”
Bibirku kembali terkunci sejenak setelah memberikan perintah secara berturut-turut, “setelah ini selesai, aku akan mengirimkan surat kepadanya. Ryu,” ungkapku melanjutkan lagi ucapan, “apa menurutmu mereka akan memaafkanku?” tanyaku dengan kepala menoleh ke arahnya.
“Kau kesayangan mereka. Itu pasti … Mereka mungkin marah, tapi mereka tidak akan pernah bisa membencimu. Percayalah padaku, karena mereka memang selalu seperti itu walau di kehidupan-kehidupan sebelumnya,” sahut Ryuzaki ketika langkahnya semakin bergerak mendekati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...