Chapter DCCXLVI

1.6K 368 12
                                    

“Kakek!”

Aku segera berbalik ke arah teriakan Ebe. Kedua kakiku berjalan tanpa sadar mendekati sebuah gulungan air yang bergerak cepat mendekati bibir pantai, “hormat untukmu, My Lord,” ucapnya sambil membungkuk di dalam gulungan air tinggi yang ada di hadapanku.

Mataku melirik sejenak kepada Sabra, sebelum aku melangkahkan kaki semakin mendekati gulungan air tadi. “Bagaimana keadaanmu?” tanyaku kepadanya yang berenang membelakangi puluhan duyung laki-laki.

“Cucuku pergi begitu saja tanpa izin dariku. Aku tidak baik-baik saja,” jawabnya yang membuat lirikan mataku bergerak ke sudut kiri mata.

Bayangan Ebe melintas melewatiku. Dia terus saja berjalan hingga masuk ke dalam gulungan air yang Kakeknya buat, “maafkan aku, Kakek. Ini kesalahanku, jadi jangan marah kepada mereka,” ungkap Ebe yang telah berenang di samping Kakeknya.

“Aku tahu ini kesalahanmu, karena itu Kakek tidak bisa marah kepada mereka. Kakakmu telah memberitahuku, bahwa kau sudah memiliki seorang Putra … Takumi, bukan?” tanyanya yang membuat kepala Ebe menunduk lalu mengangguk pelan.

“Sesekali aku akan membawanya mengunjungi Istana Bawah Laut. Dan kau tidak berhak melarangku untuk melakukannya … Hitung sebagai bayaran dari kesalahan yang kau buat,” ucapan dari Kakeknya, membuat Ebe lagi-lagi mengangguk tak berkutik.

Ebe baru mengangkat kembali wajahnya, setelah telapak tangan Kakeknya menyentuh lembut kepalanya, “kau pun harus sering-sering pulang untuk mengunjungiku, dan ajak suamimu saat kau berkunjung,” sambungnya, Ebe kali ini mengangguk lagi, tapi setelah dia memeluk laki-laki paruh baya yang ada di sampingnya itu.

“Lanjutkan pembicaraan kalian, akan tetapi … Lakukan di bawah air, agar tidak ada yang melihat keberadaan kalian selain kami.”

“Ebe, kau pasti sangat merindukan Kakekmu. Kita hanya punya satu hari di sini, jadi pergilah!” sambungku, yang cepat dibalas anggukan bercampur senyum darinya.

Aku berbalik menjauhi mereka lalu melanjutkan langkah mendekati Sabra yang masih diam mematung. “Apa kau lapar, Sabra?” tanyaku setelah aku sendiri telah berdiri di hadapannya.

“Ada apa? Apa kau bingung dengan keberadaan mereka?” sahutku, sesaat wajahnya terlihat masih menyisakan keheranan.

“Siapa kau sebenarnya?”

Aku menghela napas sambil bergerak duduk di sampingnya, “aku hanya seorang Ibu yang sedang berusaha melindungi Anaknya,” jawabku, dengan terus menatap gulungan air yang membawa para duyung berserta Ebe, bergerak masuk ke dalam laut.

“Apa kau tahu, kalau di luar sana terdapat sebuah tradisi di mana seorang perempuan akan dihukum mati kalau pasangan mereka enggan untuk menerimanya.”

Sabra yang bergerak duduk di sampingku, membuat mataku melirik padanya, “aku tahu. Nenek menceritakan hal tersebut sebagai asal-usul kenapa para perempuan bisa menghuni pulau ini-”

“Kata-kata yang aku ucapkan kepada Bernice sebelumnya, itu benar adanya,” sergahku sebelum dia menghentikan ucapannya, “aku berusaha menggulingkan Kekaisaran dan Kerajaan-kerajaan yang menjadi bawahannya untuk menghilangkan semua tradisi itu. Sejak usiaku sembilan tahun, aku berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain hingga … Hewan-hewan aneh yang kau lihat itu, aku berhasil mendapatkan mereka dari usahaku meninggalkan rumah.”

“Selama berkelana, aku sudah mencoba banyak sekali makanan … Aku mempelajari tradisi berbeda yang ada di setiap Kerajaan. Perjalanan yang menyenangkan tapi juga menakutkan. Itu juga yang menjadi alasan terbesarku ingin mengajak Bernice … Aku tidak bisa berpergian dengan hewan-hewan milikku karena itu akan menarik perhatian-”

“Aku membutuhkan sosok seperti Bernice yang kuat, yang dapat menjadi bayanganku menghancurkan musuh yang menghalangi,” sambungku sambil terus berusaha untuk memancing Sabra, “aku akan mengumpulkan lebih banyak makhluk-makhluk hebat seperti yang sekarang aku miliki. Aku berharap bisa mengajakmu, Sabra, tapi sukumu pastilah sangat memerlukanmu,” lanjutku yang tersenyum sebelum beranjak meninggalkannya.

“Shin! Tama! Apa ada ikan di sekitar sini? Aku benar-benar lapar hingga sulit untuk bergerak,” ucapku sambil berlari kencang mendekati mereka semua.

____________.

“My Lord!”

Suara Kou, Shin, dan juga Tama yang kian mengusik di kepalaku, mau tak mau membuatku yang sebelumnya lelap, kini terbangun. Aku melirik pada Ebe yang masih tertidur, lalu pada Sabra yang sudah duduk berjaga dengan sebilah pedang di tangannya. Mataku beralih ke arah gua, setelah bunyi gemerasak terdengar mendekat dari sana.

Aku beranjak sambil terus menatap Bernice yang muncul dari dalam gua, bersama barisan pasukannya yang juga muncul di belakangnya. Senyum di bibirku mencuat, dengan kedua kaki berjalan mendekati mereka yang terlihat ragu-ragu untuk mendekat. “Ratu Alelah,” ucapku kepadanya yang kian kurus dari terakhir kali aku bertemu dengannya.

Aku meraih dan mencium tangannya yang berada di gendongan salah satu Kesatria. “Bernice sudah menceritakan semuanya. Terima kasih karena sudah kembali, Sachi,” ucapnya lemah yang segera aku balas dengan anggukan kepala.

Kepalaku menoleh ke belakang, “Tama, mendekatlah!” panggilku, hingga Tama beranjak dan berjalan mendekat.

“Tidak apa-apa. Dia tidak akan melukai kalian,” sambungku, tatkala beberapa Kesatria itu hendak menarik pedang mereka.

“Bernice, aku ingin kau membawa mereka yang sudah tua dan sakit ke atas tempurungnya. Kita akan menyeberang lautan, mereka akan lebih aman dan nyaman saat bersama Tama, Hewanku,” ucapku menunggu jawaban darinya.

“Kalian para Manticore, mendekatlah!” sambungku setelah anggukan dari Bernice menjawab permintaanku, “mereka yang masih kecil, biarkan Para Manticore yang membawa mereka. Dan perintahkan pada Anak-anak itu untuk berhati-hati dengan ekor mereka, karena sedikit saja ekor tersebut menggores tubuhmu … Nyawamu akan langsung melayang.”

“Lalu kenapa kau justru meminta mereka melakukannya kalau mereka justru membahayakan nyawa anak-anak? Apa kau berniat untuk membunuh anak-anak itu?”

Aku menghela napas sambil meletakkan tangan ke pundaknya, “perjalanan ini akan memakan tenaga. Aku tidak ingin menyamakan kekuatan anak-anak dengan kekuatan orang dewasa. Aku melakukan semua ini untuk kebaikan mereka … Jadi dengarkan saja perintahku dan jangan banyak membantah, Bernice!” ancamku dengan memperkuat cengkeraman tanganku yang ada di pundaknya itu.

“Ebe, pinta Kakekmu membuat jembatan yang sudah aku gambarkan untukmu semalam. Buat jembatan itu sepanjang mungkin hingga terhubung ke pulau terdekat!” perintahku sambil berbalik, melirik kepadanya yang telah berdiri, membalas perintahku dengan anggukan.

Ebe dengan cepat berlari, lalu berenang masuk ke dalam laut seperti perintahku. “Kou, aku ingin kau membekukan jembatan yang dibuat oleh mereka! Sedang kau, Kei, gunakan anginmu untuk menerbangkan pasir! Tebar semua pasir yang kau bawa itu, ke seluruh alas jembatan jika Kou sudah melakukan tugasnya!” perintahku sambil membungkuk lalu meraih tas milikku dan tas milik Ebe yang ia tinggalkan di tengah-tengah hewan milikku.

“Apa ada yang bisa aku lakukan, Sachi?” tanya Lux yang terbang mendekat padaku.

Aku baru membalas tatapannya setelah kedua tas yang ada di tanganku itu, sudah aku silangkan di kedua pundakku, “untuk sekarang belum. Duduklah di pundakku, Lux! Karena kita akan segera pergi membawa mereka semua!” perintahku sambil melirik pada Sabra yang masih berdiri terdiam.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang