“Tsubaru, apa semuanya berjalan baik?” tanyaku sambil terus menatapi selembar kertas di tangan.
“Aku telah membalas surat dari Tatsuya, aku telah memberitahukan mereka bahwasanya semua hadiah yang dikirimkan untukmu Ratu, telah sampai di tempat yang semestinya,” jawab Tsubaru dengan melangkah mendekat. Aku mengangkat wajah, tatkala tangannya menjulurkan sebuah gulungan kertas padaku, “di sana tertuliskan semua daftar hadiah yang telah diterima, Ratu. Lebih penting dari pada itu, apa yang harus kami lakukan untuk menyambut hari kelahiranmu, Ratu?”
Aku meraih gulungan kertas di tangannya, “aku ingin kau meminta persetujuan Yang Mulia untuk memanggil seluruh Bangsawan. Ada yang harus aku selesaikan, sebelum akhirnya aku melanjutkan lagi perjalanan. Aku ingin, semua bangsawan berkumpul tanpa terkecuali!”
Mataku menoleh pada Tsubaru yang berdiri tegap di sampingku, “Tsu nii-chan, selama aku pergi nanti … Tolong jaga posisiku! Dan posisi anak-anakku! Aku tidak ingin, jika nantinya seekor tikus pengganggu masuk ke dalam rumahku tanpa izin. Kalau perlu … Aku tidak perlu menjelaskannya, kan, nii-chan?” sambungku yang segera dibalas anggukan pelan kepalanya.
“Ini bukan berarti aku tidak mempercayainya. Namun, kertas yang sudah remuk … Akan sulit untuk kembali seperti semula.”
Aku beranjak, meninggalkannya dengan membawa gulungan kertas yang ia berikan. “Kou, bawa aku ke suatu tempat!” perintahku sambil terus berjalan menjauhi ruang kerja.
Aku berhenti, disaat hendak mendekati taman, justru bertemu dengan Ihsan yang duduk termenung di kursi taman. “Ihsan!” panggilku, dia masih larut dalam lamunan dikala aku sendiri sudah duduk di sebelahnya, “Ihsan?” Aku mencoba memanggilnya, tapi kali ini dengan tepukan di pundak yang mengikuti.
Dia yang terkejut akan apa yang aku lakukan itu segera menoleh, lalu menunduk kembali sesaat matanya yang sembab itu berpapasan denganku. “Ada apa dengan matamu? Apa yang terjadi?” tanyaku sambil memegang kedua pipinya.
“Jawab pertanya-” kata-kataku berhenti, ketika dia terlihat meringis kesakitan tatkala tanganku menyentuh lengannya.
Alisku mengernyit, melihat reaksinya yang selalu terlihat sakit tiap kali aku memegang lengannya. Aku dengan cepat membuka pakaiannya … Memastikan, “apa yang terjadi pada lenganmu? Siapa yang melakukannya?!” nada bicaraku meninggi, disaat amarahku semakin menjadi ketika melihat bekas lebam di lengannya.
“Ibu, apa itu benar? Kalian akan membuangku.”
Aku seketika terhenyak mendengar ucapannya, “siapa yang mengatakannya? Siapa yang mengatakan omong kosong itu?”
Tanganku mengusap pelan kepalanya, ketika matanya terlihat kosong. “Aku Ihsan Bechir. Aku Ihsan Bechir,” ucapnya terus-menerus yang membuatku sangat khawatir.
“Pangeran Ihsan Bechir!” bentakku memanggil, hingga dia seketika mendongak, “apa yang terjadi? Apa kau tidak ingin menjawab pertanyaanku?!”
Ihsan lama menatapku, sebelum tangisannya pecah. Aku menarik napas panjang, sebelum beranjak untuk menggendongnya. Aku menepuk, mengusap punggungnya dikala dia tak berhenti menangis memanggilku. “Apa yang terjadi, Nak? Ceritakan semuanya kepada Ibu!” pintaku, sesaat dia tiba-tiba memelukku erat.
“Kou, panggil Uki dan Kei ke sini! Lakukan sekarang juga!” perintahku sambil berjalan dengan membawa Ihsan di gendongan.
Aku terus saja berjalan membawanya ke ruang kerja milik Raja. “Menyingkirlah!” sambungku memerintah, tapi kali ini pada dua kesatria yang berjaga di depan pintu.
“Yang Mulia tengah bersama tamu penting. Yang Mulia memerintah kami untuk tidak membiarkan seorang pun mengganggu,” ucap seorang kesatria.
Tanganku mengepal kuat … Lama kutatap kesatria tadi, sebelum pukulanku mendarat kuat di perutnya. “Jangan menghalangiku! Sebelum Yang Mulia menghukummu, kau mungkin sudah terlebih dahulu mati di tanganku!” ancamku, sambil menerobos masuk, melewati mereka.
Aku berhenti, menatapi semua orang di ruangan yang berbalik menatapku. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Zeki yang beranjak dari kursinya.
Aku melirik pada satu per satu tamu miliknya, “aku ingin menanyakan, perihal sesuatu yang menyakiti anakku,” sahutku menjawab ucapannya.
Mataku berpaling, kepada seorang laki-laki yang terkekeh setelah mendengar ucapanku, “kenapa kau tertawa? Apa ada sesuatu yang menyenangkan?”
Laki-laki tadi beranjak lalu membungkuk menatapku, “maafkan saya, Ratu. Namun, saya pikir … Sangatlah tidak pantas, jika pembicaraan kami terganggu oleh seorang anak yang bahkan bukanlah seorang bangsawan.”
“Apa yang kau katakan? Siapa yang memberikanmu hak untuk mengatakannya!”
“Yang Mulia,” ucapnya dengan kali ini membungkuk pada Zeki, “tidak perlu menutupi kebenaran, karena semua orang sudah mengetahuinya.”
“Kei!”
Aku mempererat pelukanku pada Ihsan, sambil berjalan mundur untuk memberikan jalan kepadanya. Mataku melirik, pada bola angin yang terbang cepat … Menghantam kuat, kepala laki-laki tadi. Laki-laki tersebut sontak tersungkur, dengan kepala yang hampir berputar ke belakang, oleh pukulan angin tadi yang memelintir lehernya. “Apa di antara kalian, masih ada yang ingin berbicara?” ancamku seraya menoleh pada beberapa laki-laki lainnya yang menunduk gemetar.
“Aku sudah memintamu hal ini dari jauh-jauh hari, tapi kau selalu menundanya,” ungkapku sambil melirik pada Kabhir yang berdiri di dekat Zeki, “kirimkan surat ke seluruh bangsawan! Jika dalam satu minggu mereka tidak menemuiku … Bersiap-siaplah untuk dijemput kematian mereka sendiri. Hal ini juga berlaku, untuk kalian semua yang berada di dalam ruangan ini,” tuturku sambil berbalik pergi meninggalkan mereka.
“Sachi! Sachi!”
Langkahku terhenti oleh tarikan di lengan. “Apa yang terjadi? Setidaknya ceritakan kepadaku!” tutur Zeki yang masih menggenggam kuat lenganku tadi.
“Seluruh tubuhnya dipenuhi lebam, Kau ingin tahu apa yang terjadi, bukan? Lihatlah semua lebam di tubuhnya! Di saat aku hampir tidak tidur membangun Yadgar … Seseorang dengan mudahnya menyiksa putraku!” amukku yang dengan cepat mengubah raut wajahnya.
Zeki maju mendekat, sambil sedikit menyibak kerah dari pakaian yang Ihsan kenakan. “Akash! Kumpulkan seluruh pelayan yang melayani Pangeran Ihsan, dan eksekusi mereka semua!” Dia tak kalah meninggikan suaranya.
Aku memberikan Ihsan kepadanya, dikala dia sendiri yang meminta ingin menggendong putranya itu. “Ihsan, apa yang terjadi? Katakan kepada Ayah! Ihsan, masih ingat dengan janji untuk tidak menyembunyikan apa pun dari Ayah, kan?” tutur Zeki sambil menyentuh dagunya.
“Ayah, apa benar Ayah akan membuangku? Ayah sudah memiliki pangeran, jadi tidak membutuhkanku lagi-”
“Siapa yang mengatakannya? Siapa?” Aku dengan cepat memegang lengan Zeki yang sudah terlihat dipenuhi amarah.
“Aku bukanlah anak ayah dan ibu … Semua orang mengatakan itu,” tuturnya dengan suara gemetar menahan tangis. “Huri, Sema dan juga Anka … Hanya Ihsan yang berbeda-”
Aku dengan cepat memeluknya sebelum dia mengucapkan apa pun lagi, “lalu kenapa jika Ihsan berbeda? Ibu, Paman Haruki, Paman Izumi, dan bahkan Paman Eneas terlihat berbeda … Apa mereka bukan kakak dan adik Ibu?” tukasku yang tak kalah gemetar mengucapkannya.
“Di saat Ayah dan Ibu memeluk Huri, menyuapi Huri makanan, atau menggendongnya. Apa kami tidak melakukan hal yang sama kepada Ihsan?”
Aku mengecup pipinya, dengan sebelah tangan bergerak mengusap air mata yang memenuhi wajahnya, “ikutlah dengan Ibu! Ada yang ingin Ibu tunjukkan kepadamu,” sambungku sambil meraihnya kembali ke gendongan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasiKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...