Chapter DCXXXV

1.3K 297 4
                                    

Entah, sudah berapa lama kami berenang mengikuti arus yang membawa titik-titik hijau yang menerangi jalan kami tersebut. Rangkulanku di pinggang Ebe, mengendur tatkala Hippocampus miliknya melamban saat kami berenang di atas sungai di dalam dasar laut. Menatap, beberapa cabang pohon yang tertanam di dalam lautan, membuatku kembali teringat saat pertama kali aku ke sini dengan membawa jiwa Eneas.

“Aku jadi mengingat saat pertama kali aku berkunjung ke sini,” gumamku, sambil menyingkap rambut Ebe yang mengambang menutupi pandangan.

“Aku pun turut mengingatnya,” sahut Ebe, sambil mengangkat sebelah tangannya meraih rambutnya yang panjang itu.

Aku melepaskan rangkulanku padanya, ketika kami semua telah berenang melewati gerbang. Kedua tanganku terangkat ke arah Hippocampus berwarna hitam, yang sedang berenang melewati kerumunan ke arahku, “bagaimana keadaanmu, Kuro?” tanyaku sambil mengusap kepalanya yang bersandar di pundakku.

Kuro menggerakkan kepalanya dengan mulutnya yang sedikit terbuka, membuat beberapa gelembung-gelembung udara keluar bersama perbuatan yang ia lakukan, “dia tidak lagi membuat para duyung ketakutan seperti dulu. Aku pikir, dia menjadi sangat penurut sejak menjalin kontrak denganmu, Sachi,” tukas suara Ebe yang telah berenang di sampingku.

“Benarkah? Kerja bagus, Kuro! Kau, benar-benar membuatku bangga,” sahutku dengan usapan tangan yang beralih ke lehernya.

“Aku, akan mencari Kakek. Ebe, bawa mereka ke Istana!”

Aku berpaling ke arah Dekka yang berenang menjauh dengan beberapa duyung laki-laki di belakangnya, “Sachi, dan yang lainnya … Ikuti aku!” pinta Ebe, lirikan mataku mengarah kepadanya yang telah berenang menjauh melewati aku dan juga Kuro.

“Kuro!” panggilku dengan kembali menatap matanya, “aku mungkin akan membutuhkan bantuanmu untuk berpergian jauh. Jadi persiapkan baik-baik tubuhmu, dan jangan merepotkan mereka yang ada di sini,” ucapku pelan sambil tangan kananku mengusapi lehernya.

Aku bergerak mundur, lalu menggerakkan tubuhku berenang melewatinya. Selama berenang, kadang kala … Aku melirik ke arah beberapa duyung yang menatapi kami dari kejauhan, bahkan beberapa di antara mereka, menahan para duyung-duyung yang masih kecil untuk berenang mendekat. “Apa mereka, masih takut kepada manusia?” tanyaku pelan, saat aku sudah menyusul Ebe berenang di sampingnya.

“Mungkin. Ketakutan mereka atas manusia, sudah dari leluhur … Lagi pun, yang hanya sering bertemu denganmu, hanya kami dan para duyung yang memang ditugaskan untuk melindungi Kerajaan,” sahut Ebe, dia tetap terus berenang dengan tatapan matanya yang terus menatap ke depan.

“Apa kakekmu sedang tidak ada di Istana?” Aku kembali bertanya dengan melirik ke arahnya.

“Dia mungkin sedang ada di Kuil, aku pun tidak merasakan sihirnya di dekat sini,” jawab Ebe, diikuti kepalanya yang menoleh ke arahku.

Ebe mempercepat dayungan ekornya, mendekati sebuah bangunan batu dengan beberapa duyung berjaga di sekitar bangunan tersebut. Para duyung itu, menundukkan pandangan saat Aku dan Ebe berenang melewati mereka, “apa yang harus aku siapkan untuk hidangan kalian? Apa kalian bisa memakan rumput laut?” tanya Ebe, saat kami semua memasuki ruangan luas dengan sebuah singgasana di dalamnya.

“Memangnya, kalian sendiri memakan apa?” Aku balas bertanya padanya.

“Memakan rumput, dan juga makhluk-makhluk hijau yang kita temui sepanjang perjalanan,” jawab Ebe, diikuti ekornya yang bergoyang pelan membelah air di hadapanku.

“Kami tidak ingin merepotkanmu, Ebe. Lagi pula, kami semua masih sangat kenyang,” tukasku dengan melirik ke arah mereka berempat bergantian.

“Itu tidak merepotkan, belum tentu kedepannya kalian akan datang ke sini … Karena itu, aku ingin menyambut kalian dengan usaha terbaik. Jadi, apa yang kalian makan? Aku, akan berusaha mencarinya di dekat pantai-”

“Jangan membahayakan dirimu sendiri! Bagaimana jika ada manusia yang melihatmu? Itu terlalu berbahaya,” sahut Izumi yang membuat Ebe menutup bibirnya.

“Yang dikatakan Kakakku itu benar, keselamatanmu lebih penting dibanding rasa lapar kami,” timpalku yang membuat tatapan mata Ebe kembali beralih kepadaku.

“Baiklah. Kakekku, mungkin akan pulang sebentar lagi, kalian bisa beristirahat sejenak di sini,” jawab Ebe, lirikan mataku beralih kepadanya saat tanganku itu ditarik olehnya, “Sachi, bisa kau ikut aku sebentar?” tanyanya, yang dengan cepat aku balas menggunakan anggukan kepala.

Aku berenang, mengikutinya ke sebuah ruangan dengan lubang tanpa pintu sebagai jalan masuknya. Aku masih terdiam, mengawasinya yang sudah berbalik berenang dengan membawa sebuah kerang di tangannya, “Sachi, bisakah kau menolongku?” tanyanya sambil menyodorkan kerang yang ia pegang itu kepadaku.

“Di dalam kerang ini, ada sebuah mutiara kehidupan. Setiap duyung yang beranjak dewasa, pasti akan mengeluarkan kerang ini dari tubuh mereka … Kerang ini, dapat memberikan kesempatan kedua untuk hidup kepada seseorang yang memakannya. Bisakah, kau memberikannya kepada kakakmu?” tukasnya, tangannya yang menyodorkan kerang tadi masih bergeming ke arahku.

“Izumi?” tanyaku yang dibalas anggukannya.

“Kau ingin memberikan benda berhargamu ini kepada kakakku? Apa kau-”

“Aku serius, aku benar-benar serius. Jika aku yang langsung memberikannya, dia akan menolaknya lagi seperti hadiahku saat itu. Jadi, aku ingin kau menyimpannya lalu berikan kepadanya saat dia membutuhkannya,” ucapnya yang memotong perkataanku.

Aku menghela napas sambil mendorong kerang tadi perlahan mendekatinya, “aku tidak bisa melakukannya. Jika kau ingin memberikannya, berikan saja langsung kepadanya-”

“Aku tidak bisa,” sambungnya yang kembali memotong ucapanku, “aku tidak bisa menjamin, sampai kapan aku akan hidup-”

“Apa yang kau maksudkan, Ebe?!” bentakku yang kali ini memutus perkataannya.

“Tahukah kau, Sachi,” ungkap Ebe, sambil berenang lalu duduk di sebuah batu berbentuk persegi panjang di dalam ruangan, “seekor duyung, memiliki kutukan yang dinamakan cinta. Duyung, hanya bisa jatuh cinta satu kali seumur hidup, dan jika dia yang dicintainya itu menikah dengan yang lain, duyung itu akan kehilangan nyawanya … Karena itulah, ada mutiara yang menjadi penawar akan kutukan itu-”

“Kenapa kau baru memberitahukan aku hal ini? Kau tahu bukan, kalau kakakku Izumi sudah memiliki pasangan dan mereka juga-” Aku menggigit kuat bibirku, saat kata-kata terakhir yang hendak aku ucapkan terasa sulit sekali untuk keluar.

“Aku tahu, tapi mau bagaimana … Aku tidak bisa memilih pada siapa aku akan jatuh cinta.”

“Kalau seperti itu, tetaplah hidup dan simpan mutiara itu. Kau temanku, Ebe … Aku, tidak ingin terjadi sesuatu kepadamu,” sahutku, aku berenang mundur dengan mendayung tanganku ke depan saat dia berenang mendekatiku.

“Sachi, apa kau pernah merasakan … Jatuh cinta pada seseorang, tapi tak bisa kau ungkapkan karena satu alasan?”

Aku pernah, aku paham benar rasa sesak dan sakitnya … Karena itu-

“Ebe,” suaraku gemetar memanggil namanya.

“Aku baik-baik saja. Jadi kumohon, simpan baik-baik mutiara ini dan berikan kepadanya kalau terjadi sesuatu kepadanya,” ucapnya sambil meraih tanganku lalu meletakkan kerang yang ia pegang itu ke telapak tanganku, “kau, akan lebih terpukul kehilangannya saat dia membantumu mencapai tujuan, dibanding kehilanganku. Dia laki-laki yang baik, dan aku yakin … Akan ada banyak yang bersedih kalau terjadi sesuatu kepadanya.”

“Cepatlah! Aku merasakan sihir kakekku, kemungkinan dia sudah pulang sekarang,” sambung Ebe seraya menggerakkan ekornya berenang melewatiku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang