Aku tidak serta merta berjalan mendekati keluargaku ... Karena entah kenapa, langkah kakiku bergerak mendekati para Manticore yang tengah berkumpul. Langkahku berhenti di samping Acey yang sedang berdiri di depan Manticore yang lain. Bibirku masih terdiam ketika Acey mengangkat sebelah tangannya ke atas kepala salah satu Manticore yang masih sangat kecil, "kau bisa mengikuti kami berperang menggantikan Ayahmu, saat kau sendiri sudah dewasa," ucap Acey menggunakan bahasa Latin yang masuk di kepalaku.
Aku menoleh ke arahnya, tatkala para Manticore tersebut berjalan menjauh kecuali Acey yang masih berdiri di sampingku. "Apa kau sedang berusaha menghibur mereka?" tanyaku sambil mengangkat tangan kiriku mengusap bagian samping lehernya.
"Asal keturunan kami memiliki tempat yang aman seperti di sini, kami akan melakukan apa pun untuk melawan mereka ... Walau harus mengorbankan kehidupan kami sendiri. Saat kehidupan kami berakhir, kehidupan keturunan kami berlanjut lalu keturunan dari mereka akan turut berlanjut, seperti itulah hidup."
"Bagaimana dengan anakmu sendiri? Kau, tidak memperkenalkan anakmu kepadaku-"
"Dia gugur oleh makhluk yang meludahinya kutukan ... Para Elf, sudah membantuku untuk menguburkan tubuhnya di dunia mereka. Aku permisi, My Lord. Aku harus mengurus mereka," ucap Acey memotong perkataanku sambil berjalan menyusul para Manticore yang lain.
Aku masih terdiam menatapinya yang kian berjalan semakin menjauh. Tubuhku sedikit terhentak, tatkala kurasakan sesuatu menepuk-nepuk pundakku diikuti suara gumaman yang sudah sangat aku kenal. Aku berbalik sambil mengecup pipi Huri yang berada di gendongan Zeki, "ada apa?" tanyanya, kepalaku hanya menggeleng dengan tangan mengusap pipi Huri yang masih bergumam dengan menggigit tangannya sendiri.
"Putri Ibu, kau tidak menangis, kan?" ucapku dengan meraih Huri lalu menggendongnya, "ini hanya perasaanku, atau memang dia tumbuh lebih besar," sambungku bergumam sambil melirik ke arah giginya yang tumbuh lebih banyak dibanding terakhir kami tinggal.
Aku mendekat ke arah Zeki yang melambaikan tangannya kepadaku, "dia sebelumnya hanya bisa membalikkan tubuhnya, bukan? Namun, Amanda mengatakan bahwa kita sudah pergi sangat lama. Dia bahkan sudah bisa duduk dan juga merangkak," bisik Zeki, kepalanya mengangguk saat aku mengalihkan pandangan kepadanya.
Tubuhku bergerak ke samping tatkala Huri menggeliat dengan mengangkat tangannya. Baik aku dan Zeki hanya saling bertatap, kami berdua sama-sama bingung saat Huri tiba-tiba menangis kencang sambil menggerakan tubuhnya ke arah yang sama. Aku mulai berjalan mengikuti arah yang ia pandang saat Zeki sendiri mengangguk, memintaku untuk mengikuti permintaan Huri.
Langkah kaki kami berdua, berhenti di wilayah yang berbatasan dengan wilayah bersalju. Huri kembali mengeluarkan suara gumaman dengan sebelah tangannya terangkat ke depan hingga salju yang turun, jatuh mengenai lengannya. "Apa kau ingin bertemu dengan Kou?" ucapku yang juga turut mengangkat tangan ke depan.
Aku melirik ke arah Huri yang tersenyum lebar tatkala bayangan Kou muncul dari kejauhan. Dia tertawa sambil memukul-mukul wajah Kou beberapa kali, "sepertinya dia akan baik-baik saja di wilayah bersalju. Aku, akan membawanya berkeliling bersama Kou di sana. Beristirahatlah!" ucapku seraya mengalihkan pandangan kepada Zeki.
"Baiklah. Aku akan membantu Kakakmu membersihkan rumah yang sudah lama kita tinggalkan itu. Jangan melupakan kesehatanmu, kau juga butuh istirahat," sautnya, aku mengangguk saat dia mengucapkannya sambil mendaratkan kecupan di pipiku.
Aku berbalik sambil melangkahkan kaki ke wilayah bersalju dengan menggendong Huri, "apa kau sama sekali tidak kedinginan, Huri?" gumamku seraya mencium pipi Huri dengan sesekali melirik ke arah Kou yang turut berjalan di sampingku.
"Menginjak wilayah bersalju, membuatku jadi mengingat saat pertama kali aku menemukanmu, Kou," ucapku sambil tersenyum kecil menatapnya.
Langkahku berhenti, lirikan mataku beralih ke arah ekor Kou yang melilit pinggangku lalu mengangkatku duduk di atas punggungnya. "Apa yang akan engkau lakukan setelah ini, My Lord?" Dia bertanya sambil tetap melangkah membawa kami di punggungnya.
"Aku hanya ingin Huri berada di tempat yang aman, karena setelah dia berada di tempat yang aman ... Aku akan lebih tenang melanjutkan perjalanan," jawabku sambil mengusap kepala dan tubuh Huri yang sudah dijatuhi oleh serpihan salju.
Langkah kaki Kou berhenti dengan ekornya yang kembali melilit pinggangku. "Apa tempat ini?" tanyaku, setelah sebelumnya mataku itu terjatuh ke arah kepingan batu di tengah-tengah hamparan salju.
Kou menurunkan aku kembali di dekat kepingan batu itu. Aneh ... Jika saat pertama kali aku menemukannya, batu tersebut dipenuhi oleh salju. Namun sekarang justru sebaliknya, serpihan-serpihan salju yang turun sama sekali tidak menyentuh kepingan batu tersebut.
"Kalau aku tidak salah mengingatnya, aku dan Lux dulu jatuh begitu saja dari lubang ini. Sejak kapan, di lubang ini ada tangganya?" gumamku dengan melangkahkan kaki, berjalan masuk menyusuri tangga.
"Kou, panggil mereka berempat. Ini perintah dariku!"
Aku terus berjalan dengan api berwarna kebiruan yang tiba-tiba menyala begitu saja menerangi ruangan berdinding batu, "sudah lama sekali. Aku menemukan tempat ini, sesaat setelah aku pulang dari bertunangan,"sambungku bergumam sambil meletakan telapak tanganku menyusuri dinding yang dipenuhi oleh ukiran berbentuk Naga.
Kedua kakiku lagi-lagi berhenti, di depan tumpukan reruntuhan batu yang dulu sempat menjadi meja yang menjaga telur Kou. Aku duduk berlutut dengan menyentuh sebuah kristal es yang tumbuh dari sela-sela reruntuhan batu tersebut, "apa kau juga ingin menyentuhnya, Huri? Inti sihir, dari dia yang menjaga kita," ucapku sambil meraih pelan tangan Huri lalu mengarahkannya menyentuh kristal es yang ada di depan kami.
Aku kembali beranjak dengan menggendong Huri meninggalkan gua tersebut, "kalian semua sudah berkumpul di sini," ucapku, sambil melirik ke arah Kou, Uki, Tama, Shin dan bahkan Kei yang berdiri menunggu di depan mulut gua.
Huri kembali gelisah, dia menggeliat dengan menggerakan tubuhnya ke arah Kei yang masih berdiri diam di tempatnya. Helaan napasku keluar, sambil berjalan ke arah Kei menyusuri hamparan salju lalu duduk berjongkok di depannya. Kedua tangan Huri bergerak mengusap lalu memukul wajah Kei, sambil sesekali aku mencoba untuk menjauhkan wajahnya ... Saat wajah Huri sendiri, berusaha untuk bergerak mendekati mulut Harimau besar yang ada di depannya.
Kei tak mengeluarkan suara apa pun, dia hanya mengangkat salah satu kaki depan miliknya lalu menggigit kaki tersebut hingga darah menetes ... Membuat titik-titik kemerahan di hamparan salju. "Apa kau yakin, Kei?" tanyaku dengan menampung tetesan darahnya yang jatuh dengan ujung jariku.
"Usia manusia itu pendek. Aku tidak ingin mati begitu saja mengikuti usia seorang anak manusia."
Bibirku tersenyum saat Kei akhirnya menjawab pertanyaanku. "Buka mulutmu, Huri. Jika nanti Ibu tiada, jangan membuat mereka kesepian," bisikku, sambil memasukan tetesan darah di ujung jari telujukku itu ke dalam mulut Huri.
"Tama?"
"Hanya jika Shin setuju, My Lord," sautnya yang membuat tatapan mataku berbalik kepada Shin.
"Tuanku hanya satu, tidak ada yang bisa menggantikannya ... Siapa pun itu," ucap Shin, saat kedua mata kami saling bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasíaKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...