“Selimuti dengan benar tubuhmu! Udara di sini terasa dingin, aku tidak ingin kalau kau jatuh sakit,” ucapnya, aku sedikit tertunduk dengan melirik ke arah tangannya yang semakin merapatkan kain yang menyelimuti tubuhku itu.
“Baiklah, aku paham,” jawabku, tanganku bergerak semakin merangkulkan kain tersebut ke tubuh setelah Zeki telah menarik kembali tangannya.
Aku menjatuhkan pandangan kembali, ke arah anak laki-laki Elf tersebut … Yang terus membawa kami berjalan menjauhi perkampungan dengan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan, kunang-kunang yang terbang di atas kepala kami pun, seakan ikut mengantar kami ke tempat yang dimaksudkan. Langkahku sempat terhenti, aku tertunduk dengan memegang punggungku, mataku terpejam sambil berusaha mengatur napasku yang tak berirama.
Aku sedikit terperanjat saat tubuhku tiba-tiba terangkat, “Zeki,” ucapku, saat aku sudah tersadarkan telah berada di gendongannya.
“Aku sudah katakan, jangan memaksakan dirimu! Jika lelah, katakan saja padaku!” tukasnya, yang mengarahkan pandangannya ke depan setelah sebelumnya tertunduk menatapku.
Aku semakin menyatukan kedua tanganku di atas dada dengan kepalaku bergerak mendekati pundaknya, “biasanya aku bisa memanjat bukit seperti ini dengan mudah. Namun, semenjak mengandung aku mudah sekali merasa kelelahan,” ucapku, sambil mengangkat sebelah tanganku menggenggam pakaiannya.
“Karena itulah aku katakan, jangan memaksakan diri. Kau, masih memilikiku sebagai suamimu,” jawabnya, sambil ikut kurasakan semakin kuatnya cengkeraman tangannya yang menahan tubuhku.
“Kau benar. Maafkan aku, karena sempat tidak mengingatnya,” tukasku sambil sesekali menatap kunang-kunang yang semakin banyak terbang di atas kepalanya.
“Kau pun, jika lelah membawaku … Jangan terlalu memaksakan diri-”
“Aku tidak selemah yang kau pikirkan. Dibanding kedua kakakmu, aku sudah melatih tubuhku sendiri jauh lebih lama daripada mereka,” ucapnya memotong perkataanku.
Aku menoleh ke kiri, saat dia menghentikan langkah kakinya. Dengan perlahan, dia menurunkanku dari gendongannya hingga kakiku kembali memijak tanah. “Bibi,” ucapku, aku masih berusaha untuk berdiri dibantu lengan Zeki yang memapah punggungku.
Bibi menghentikan langkah kakinya di hadapan kami, “para tetua suku, menunggu kehadiran kalian. Ikuti Bibi!” tukasnya berbalik, dia mendekati anak kecil tadi dengan mengusap kepalanya sebelum langkahnya kembali berlanjut menjauhi kami.
Aku melirik ke arah Zeki sebelum melanjutkan kembali langkah bersamanya menyusul Bibi. Aku tertegun, saat kami menghentikan langkah di sebuah bangunan batu dengan kerlap-kerlip dari cahaya kunang-kunang yang menempel di setiap batu yang ada di bangunan terbuka itu. Cahaya dari kunang-kunang yang ada, semakin membesar tatkala kunang-kunang yang menerangi jalan kami juga ikut berkumpul bersama yang lainnya.
Aku melangkah maju dengan sebelumnya melepaskan sandal yang aku kenakan, sebelum melanjutkan kembali langkah menaiki tangga batu menuju lingkaran Altar yang dikelilingi beberapa puluh Elf. Aku duduk, di tengah-tengah mereka dengan Zeki yang juga duduk di sampingku saat Kakek mengarahkan tangannya ke tengah Altar sambil melirik ke arah kami … Sesekali aku mencuri pandangan dengan mencoba untuk mencari saudara-saudaraku, tapi mereka tak kutemukan di antara para Elf yang ada.
Aku tidak tahu, bagaimana aku membedakan … Para tetua dengan mereka yang bukan tetua. Karena di mataku, mereka terlihat sama-sama muda, tak ada satu pun kerutan di wajah mereka, persis seperti Kakek.
“Sachi, Bibi … Telah menceritakan apa yang terjadi kepadamu kepada para tetua,” ucap suara Bibi menggunakan bahasa Latin memecah keheningan malam.
“Karena itulah, mereka semua berkumpul untuk bertemu denganmu malam ini,” sambung Bibi kembali padaku.
“Dan, kakek Ignatz yang akan lebih menjelaskannya. Dan juga, dia jauh lebih tua dibanding Kakekmu, jadi bersikap baiklah kalian berdua,” ucap Bibi merendahkan suaranya, kali ini tidak menggunakan bahasa Latin seperti sebelumnya.
“Kakek Ignatz, dipersilakan,” ungkap Bibi lagi menggunakan bahasa Latin sambil mengangkat kedua tangannya ke arah kami.
Pandangan mataku, teralihkan kepada seorang laki-laki tampan dengan rambut hitam panjang yang tergerai hingga menyentuh punggungnya. Laki-laki tersebut, duduk dengan menekuk kedua kakinya ke belakang di hadapan kami. Dia masih terdiam, menatapiku dan Zeki bergantian dengan mata hijaunya itu, “mata hijau, tapi telingamu sangatlah pendek. Ini kali pertama, untukku bertemu dengan Elf tidak murni sepertimu,” ucapnya, tubuhku terdiam diikuti detakan jantungku yang tiba-tiba berdetak kuat saat dia mulai berbicara menggunakan bahasa Latin.
Aku menganggukkan pelan kepalaku, sebelum kembali menatap matanya yang sayu itu. “Gardenia, melambangkan kesucian dan kemanisan. Satu-satunya Elf yang mengeluarkan wangi bunga tersebut, adalah Ibu mertua dari Kakekmu-”
“Benar, dengan kata lain … Nenekmu yang mengeluarkan aroma tersebut, saat dia masih di dalam kandungan,” ucap laki-laki itu kembali, sebelum aku sempat menanyakan apa pun.
Aku semakin mencengkeram kedua lenganku yang memegang kain yang masih menyelimuti tubuhku itu saat laki-laki itu kembali tersenyum padaku, “Elf yang tidak murni sepertimu, tidak akan selamat melahirkannya. Kami sudah memutuskan, untuk mengambil paksa dia dari rahimmu … Meletakkannya di kuncup Robur Spei yang akan dijaga oleh Bibimu-”
“Apa maksudnya ini?” tanyaku memotong perkataannya.
“Manusia setengah Elf sepertimu, tidak pantas menjadi Ibu dari janin tersebut.”
Aku tertunduk, air mataku tanpa sadar keluar saat dia mengatakan kata-kata tersebut. “Zeki, bawa aku kembali pulang ke Yadgar,” ucapku, yang meraih lalu menggenggam kuat tangannya.
“Apa yang terjadi?” tanyanya setengah berbisik dengan balas menggenggam tanganku.
Aku menarik napas, mengangkat kembali wajahku menatapi para Elf yang duduk di hadapanku itu, “mereka mengatakan, jika manusia setengah Elf sepertiku ini … Tidak pantas menjadi Ibu dari anak kita. Dan mereka juga mengatakan, ingin mengambil paksa dia dari kandunganku. Walau nyawaku jadi taruhannya, aku … Benar-benar tidak ingin melepaskannya,” ucapku dengan suara gemetar sambil membuang kembali pandangan kepada Zeki.
“Lalu bagaimana denganku? Aku hanya manusia biasa, apa aku pun tidak pantas untuk menjadi Ayahnya?”
Kapalaku beralih menatap ke sekitar, saat tumbuhan berduri tiba-tiba tumbuh mengelilingi Altar … Seakan-akan ingin mengurung kami untuk jangan pergi ke mana pun. “Kakek!” panggilku, aku menggigit kuat bibirku saat dia membuang pandangannya menghindari tatapanku.
“Bibi?”
“Maafkan Bibi Sachi, tapi yang mereka katakan benar … Jangan membuang nyawamu begitu saja, kalian dapat memiliki anak lagi nanti-”
“Omong kosong macam apa yang kau ucapkan itu, Bibi?” ucapku memotong perkataannya, “apa dia yang sekarang berada di dalam kandunganku ini bukan anakku? Jika kalian menahanku pergi, akan kuhancurkan dunia Elf ini hingga hancur tak bersisa.”
“Sachi, jangan keras kepala! Nyawamu akan melayang jika kau bersikap keras kepala seperti ini!”
“Nyawaku sudah melayang beberapa kali! Aku, sekali pun tidak pernah takut akan kematian … Aku hanya takut, belum melakukan yang terbaik hingga menimbulkan penyesalan untuk orang-orang yang aku sayangi-”
“Kou, kau sudah baik-baik saja sekarang, bukan? Bekukan perkampungan jika mereka masih menahanku, bawa para Manticore ke sini untuk menyantap mereka semua … Agar mereka paham, arti dari dipisahkan dengan orang-orang yang mereka sayangi,” sambungku, yang tak berkedip membalas tatapan mereka.
![](https://img.wattpad.com/cover/255183933-288-k758823.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasíaKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...