Chapter DCCXLI

1.6K 381 16
                                    

Kakek yang datang, berjongkok di depanku sambil meraih dan menggendong Ihsan tanpa banyak berkata. Aku pun ikut terdiam sambil beranjak dengan menggendong Huri, “Kakek, apa Kakek tidak ingin bertanya sesuatu?” tukasku, karena dia sama sekali tak mengucapkan apa pun.

Aku menoleh kepadanya yang berjalan di samping, “tanpa kau ceritakan, Kakek sudah mengetahuinya. Kakek tidak akan memberitahukan keberadaan mereka pada siapa pun, jadi kau tidak perlu khawatir,” ungkapnya tanpa menoleh.

“Maafkan aku … Aku hanya ingin yang terbaik untuk anak-anakku,” gumamku dengan membuang pandangan setengah kosong ke depan.

“Kakek akan membantu Bibimu menjaga mereka. Dan jika kau nanti bertemu kesulitan saat di perjalanan, segera panggil Kakekmu ini!” ucapnya yang dengan cepat terbalaskan oleh anggukan.

Mataku melirik, ke seekor kunang-kunang yang terbang mengiringi kami. Semakin lama kami berjalan mendekati rumah, jumlah kunang-kunang yang datang kian bertambah. “Ini mengingatku saat berada di Dunia Elf. Kunang-kunang, memberikan kami cahaya di kegelapan … Apa Kakek yang membawa mereka semua ke sini?” tanyaku kepadanya yang masih terdiam.

“Kakek membutuhkannya untuk membuat rumah yang kalian tempati terang. Di dalam sudah ada beberapa buah yang bisa kalian makan, lalu pilihlah kamar mana saja yang ingin kalian tempati,” ungkap Kakek, sesaat dia sudah melangkah maju ke rumah besar terbuat dari kayu, di hadapan kami.

Aku berjalan sambil melirik pada Kakek yang membawa Ihsan ke dalam rumah. Keadaan di dalam rumah sangatlah terang, berbanding terbalik dengan kegelapan yang ada di luar … Semua itu, berkat puluhan kunang-kunang yang berbaris menempelkan diri mereka ke dinding.

“Sachi, biar Huri tidur bersama Miyu, sedang Ihsan tidur bersama Hikaru dan juga Takumi!” seru Bibi, sambil mengangkat jari telunjuknya ke arah Amanda yang telah berjalan memasuki sebuah kamar.

Aku menyusul Amanda ke dalam kamar, membaringkan Huri yang masih lelap di samping Miyu. Kuusap keningnya dengan sangat pelan, sebelum ciumanku mendarat di keningnya. “Kak, bantu aku untuk menjaga mereka,” ucapku sambil menoleh padanya.

“Kau tenang saja, mereka semua sudah seperti Anakku sendiri,” jawabnya seraya duduk di samping ranjang menatapi Miyu.

Aku masih terdiam, memandang wajah lelapnya Huri. Tubuhku berbalik, meninggalkan kamar tersebut tanpa banyak berkata-kata. Langkahku terus berjalan, mendekati tumpukan tas yang ada di dalam sudut rumah … Tas, dan beberapa barang-barang lainnya, yang dibawa oleh Uki menggunakan paruhnya.

“Uki, tolong jaga mereka berdua untukku! Dan, Lux, apa kau ingin ikut denganku melanjutkan perjalanan?” tanyaku kepada mereka berdua yang duduk bertengger di salah satu tas.

“Apa kau yakin, Sachi? Apa kau yakin ingin pergi meninggalkan mereka?” sahut Lux bertanya, disaat aku duduk sambil meraih tas milikku.

Tanganku bergerak membuka tas tersebut, lalu mengambil sebuah jubah yang aku simpan di dalamnya, “saat pendapatmu sudah tidak dibutuhkan lagi. Apa kau masih akan bertahan, Lux?” gumamku, dengan sedikit beranjak meraih beberapa pedang yang terselip di antara tas.

“Kau bisa merasakan perasaan Manusia, bukan? Sekarang coba jelaskan kepadaku! Seperti apa perasaanku yang kau rasakan sekarang?” sambungku yang membuatnya segera tertunduk.

Aku menoleh ke belakang, ketika bunyi langkah kaki terdengar mendekat. “Segera bereskan barang-barang yang ingin kau bawa, Ebe! Kakakmu mungkin sebentar lagi datang memenuhi panggilanku,” ucapku kepadanya yang berjalan di belakang Bibi dan juga Kakek.

Ebe mengangguk, dia mempercepat langkahnya mendekatiku lalu membungkuk meraih sebuah tas yang tak terlalu jauh dariku. “Bibi mencuri pedang dan panah-panah itu dari suku tersebut. Bibi berpikir, kau mungkin akan membutuhkannya,” ungkap Bibi sambil meraih dan memberikan sebuah busur dan tabung kayu berisi anak panah kepadaku.

Aku meletakkan benda-benda tadi ke samping, “Bibi, apa aku boleh meminta bantuanmu lagi? Apa Bibi bisa membawa Tsubaru ke sini secara diam-diam? Aku ingin dia mengajarkan Huri Bahasa Kuno, dan aku juga ingin dia mengajari Ihsan, Takumi, Hikaru … Cara bertarung menggunakan senjata.”

“Bibi akan mengusahakannya. Kau sangat percaya sekali kepadanya,” ungkap Bibi, sambil berjongkok memberikan sebuah busur panah kepada Ebe.

“Karena dia, seseorang yang pertama kali menerima kehadiranku. Aku yakin, mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang tangguh saat Tsubaru menjadi guru mereka.”

Aku mengangkat sebuah pedang lainnya yang masih tergeletak kepada Ebe, “apa kau memerlukan pedang, Ebe?” tanyaku sambil menunggu tangannya meraih pedang pemberianku.

“Aku masih belum terbiasa menggunakan pedang buatan manusia. Tapi baiklah, aku tidak akan kuat kalau tidak mengambil tantangan,” sahutnya yang menyimpan pedang tadi di samping kakinya.

“Lux, ambil dan kumpulkan air mata Uki! Kita mungkin akan memerlukannya nanti di saat-saat mendesak!” perintahku sambil melempar lirikan kepadanya yang sedari tadi hanya duduk terdiam.

“Sachi!”

Suara Amanda yang memanggil, membuatku tanpa sadar menoleh padanya. Dia duduk di dekatku sambil tangannya meraih dan menggenggam pergelangan tanganku, “ini sisa perhiasan yang dulu aku dapatkan saat kalian membagikannya di Kerajaan Ardenis. Ambil dan bawalah untuk bekal kalian di perjalanan!”

“Tapi Kak, ini milikmu,” ucapku yang tertunduk menatap bungkusan kain berwarna hitam yang ia berikan di tanganku.

“Aku akan tinggal di sini dan aku pikir, aku tidak akan membutuhkannya. Tapi kalian membutuhkannya! Jadi simpanlah dan gunakan perhiasan-perhiasan itu untuk membeli apa pun yang kalian butuhkan dan juga,” kata-katanya berhenti setelah dia mengangkat dan meletakkan sebuah kantung kain berwarna kecokelatan di samping bungkusan perhiasan pemberiannya, “ini koin Tickla yang aku simpan sebelum bertemu dengan Kakakmu. Kau juga bisa memilikinya-”

Amanda kembali terdiam, sebelum tubuhnya membungkuk hingga kepalanya tertunduk menyentuh tanganku, “aku tidak tahu apa yang terjadi pada Hikaru, tapi aku tahu bahwa kalian melakukan ini untuk kebaikan semua orang. Aku ingin sekali tumbuh lebih kuat untuk membantu kalian, tapi sekarang … Hanya ini yang bisa aku lakukan. Pulanglah dengan selamat kalian berdua! Aku bersumpah akan menjaga Anak-anak kalian dengan seluruh nyawaku,” tangisnya, yang membuatku sedikit merasakan air hangat yang mengalir dari ujung-ujung jariku.

Ebe sedikit beranjak lalu memeluk Amanda yang masih terisak dengan memegang tanganku, “Kak, kalau Takumi nakal dan membuat kepalamu pusing, kau boleh memarahinya! Aku tidak tahu, ke mana saja Sachi akan membawaku. Namun yang aku ketahui, meninggalkannya bersamamu ... Membuatku tenang.”

“Kak Amanda,” sahutku menimpali ucapan Ebe, “justru kami yang seharusnya berterima kasih. Apa yang Kakak berikan, itu benar-benar membantu kami,” lanjutku dengan sebelah tangan terangkat, mengusapi kedua matanya bergantian.

Mataku beralih pada Kakek yang berdiri di samping Bibi, “Kakek, kalau saja terjadi sesuatu padaku nanti. Kumohon, bawa pergi Ihsan dan Huri … Jauh dari jangkauan Manusia. Aku tidak ingin, membebankan mereka untuk sebuah masalah yang tak bisa aku selesaikan,” ungkapku, dengan tak berkedip membalas tatapannya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang