Chapter DCCXXVII

1.8K 353 11
                                    

Aku kembali melanjutkan langkah mengikuti mereka berdua. Sesekali, aku akan melirik ke arah bunga-bunga berbentuk lonceng berwarna biru yang aku lewati. “Ibu!” Langkahku seketika berhenti, sesaat Bibi yang duduk di hadapan pohon tersebut tiba-tiba bersuara.

“Aku mengajak salah satu Cucumu datang untuk menemui, Ibu,” sambung Bibi, dengan bibir yang terlihat dipaksakan untuk tersenyum, “Sachi, mendekatlah! Pohon yang ada di hadapanmu ini, adalah Nenekmu,” Bibi kembali melanjutkan kata-katanya yang terdengar gemetar.

Aku bergerak mengikuti perintah Bibi. Bau harum yang dulu pernah aku cium saat mengandung Huri, semakin kuat tercium dari pohon yang ada di depan kami itu. “Gardenia … Bunga yang sama, seperti yang kau berikan kepadaku saat kau mengandung Huri, bukan?” ucap Bibi sambil melemparkan lirikan matanya kepadaku.

“Kabarnya, Nenek kalian mengeluarkan harum yang sama di saat dia masih berada di dalam kandungan,” sambungnya, dengan kembali menatap ke pohon tersebut, “di saat Elf kehilangan nyawanya, begitu mayatnya ditutupi oleh tanah … Sebuah pohon bunga akan tumbuh mengikuti harum bunga yang ia keluarkan sejak berada di dalam kandungan.”

“Kita sekarang, berada di tempat peristirahatan terakhir Nenekmu,” ungkap Bibi, melanjutkan lagi perkataannya yang sempat terhenti, “Nenek kalian, ingin dikuburkan di Dunia Kelahirannya, dan yang mengetahui hal ini hanyalah aku dan juga Kakek kalian. Dunia ini sangat gelap, disaat pertama kali aku dan Ayah membawa jasadnya ke sini-”

“Walaupun Beliau sudah tak bernyawa … Tubuhnya masih memberikan kehidupan untuk Dunia ini walau itu hanya sedikit. Pohon dan bunga-bunga yang ada di dekatnya, membuktikan apa yang aku katakan,” Bibi mengucapkannya, sambil mengangkat tangannya menyentuh pohon bunga itu, hingga beberapa akar mencuat di sekitarnya, “itu buku milik Ibu. Tidak ada yang bisa menghancurkan sihir yang melindungi buku tersebut … Karena itu, bukunya ikut dikubur bersamanya.”

“Sachi, dulu saat kau hamil … Maafkan apa yang Bibi lakukan kepada kalian. Bibi sangatlah mengkhawatirkan keadaanmu saat itu, dan salahnya … Bibi tidak memikirkan perasaanmu sebagai seorang Ibu-”

“Bibi,” ungkapku menyergah ucapannya, “aku sudah melupakan semuanya. Dan kupinta, Bibi juga melupakannya … Demi Huri,” sambungku sambil melipat bibir setelah mengucapkannya.

“Ambillah! Bibi pikir, Buku tersebut memang ditinggalkan untukmu,” lanjut Bibi, dengan kepalanya yang sedikit bergerak, seakan memerintahku untuk segera mengambilnya.

“Baiklah,” jawabku setelah menarik napas sedalam mungkin. Dengan perlahan, kuangkat buku tersebut dari akar yang menyangganya, “Mawar? Ini sihir waktu?” gumamku, sembari mengusap lambang bunga mawar yang menjadi sampul buku tadi.

“Sihir waktu?”

Aku menoleh ke arah Bibi, sebelum mataku kembali tertunduk pada buku yang ada di tanganku, “aku menemukan lambang yang sama, di kotak yang menjaga Uki, dan sebuah piano di Istana Yadgar. Sihir milik Kou bisa menghancurkannya … Tapi Bibi, apa tidak masalah jika aku melakukannya?”

Bibi mencubit pipiku hingga aku sedikit mengerang sakit oleh apa yang ia lakukan, “Beliau Nenekmu, tentu saja kau boleh melakukannya. Bibi yang akan bertanggung jawab menenangkan Kakekmu, kalau saja dia mengetahui tentang hal ini.”

“Lakukanlah! Seperti yang Bibi katakan, Buku ini mungkin memang Ibu tinggalkan untuk cucunya,” tutur Bibi, sambil memperlihatkan senyumannya lagi kepadaku.

“Baiklah,” ungkapku, dengan menarik kembali napas yang sangat dalam, sekedar mengusir kerisauan yang tiba-tiba menyelimuti, “Kou, hancurkan sihir yang melindungi buku ini! Kau bisa melakukannya, kan?”

“Apa kau yakin, My Lord?” jawabnya yang terdengar melewati kepala, “baiklah. Akan aku lakukan,” Kou kembali bersuara di dalam kepalaku, ketika aku sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.

Udara dingin, dengan tiba-tiba berembus keluar dari ujung-ujung jariku, tepat setelah Kou menghentikan kata-katanya. Serpihan demi serpihan es, mulai terlihat menyelimuti buku tersebut. Beberapa bunga dan bahkan sedikit bagian dari pohon yang ada di hadapanku itu, ikut membeku dikala  es menjalar dari tempat yang aku duduki.

Bibi beranjak menjauhiku, ketika Uki yang terbang di dekatnya, menarik rambut Bibi menggunakan paruhnya. Mataku terpejam, sesaat es yang menyelimuti buku tadi dengan tiba-tiba pecah, hingga beberapa serpihan es yang terbang … Menusuk, tertancap kuat di kedua lenganku.

Kugigit kuat bibirku, untuk mengusir rasa sakit yang menusuk-nusuk di lenganku tadi. Kepalaku tertunduk, menatap darah dari lenganku yang menetes hingga sedikit membasahi celana yang aku kenakan. “Sachi!” Aku berusaha untuk mengatur kembali napas, ketika rangkulan dari Bibi menyelamatkanku yang hampir jatuh tersungkur.

Tanganku yang memegang erat buku tadi, mulai bergetar oleh rasa sakit yang kian menjadi. “Bibi akan mencabutnya. Apa kau bisa menahannya?” Kepalaku mengangguk pelan, menanggapi ucapannya.

Mataku spontan terpejam kembali, sesaat rasa sakit kembali mencuat disaat Bibi mencabut serpihan-serpihan es yang menancap di lenganku. Aku mulai membuka perlahan kedua mataku lagi, ketika rasa hangat mengalir jatuh di lenganku. Bibirku masih terkatup rapat, disaat kedua mataku tadi terjatuh menatap Uki yang tengah mengeluarkan air matanya untuk menyembuhkan lukaku.

Seiring air matanya yang jatuh di lenganku itu mengering, seiring itu juga rasa sakit yang menyelimuti kedua lenganku tadi sirna. Semua luka yang memenuhi tanganku, menghilang begitu saja dengan hanya meninggalkan bekas darah yang menempel. “Bibi mengkhawatirkan keadaanmu. Bibi akan membawamu ke Dunia Elf, untuk bertemu Anak-anakmu. Bawa buku tadi bersamamu, dan simpan baik-baik! Berlama-lama di sini juga tidak bagus untuk kita,” ungkap Bibi, sambil membantuku untuk berdiri.

"Apa kau bisa berjalan?"

"Aku baik-baik saja, Bibi. Tidak perlu khawatir."

Bibi menghela napas setelah aku melempar senyuman ke arahnya, "baiklah. Bibi akan membuat Gerbang untuk kita pergi," ucapnya, yang segera mendapatkan balasan anggukan kepala dariku.

Aku masih berdiri dengan menoleh kembali ke arah pohon ketika Bibi berjalan lalu berdiri membelakangiku. Tangan kananku, memegang erat buku tadi, sebelum akhirnya aku berbalik lalu berjalan menyusul Bibi yang sudah kembali membuat gerbang akar untuk kami meninggalkan tempat ini. “Nenek, kelak aku akan mengunjungimu lagi nanti,” gumamku, sembari melangkahkan kaki memasuki gerbang buatan Bibi.

Mataku kembali sedikit terpejam, sesaat kilatan cahaya yang menusuk mata, tergantikan dengan hamparan rerumputan sejauh mata memandang. “Bibi, apa tidak apa-apa jika kita dari sana la-” kata-kataku tercegat, oleh tangan Bibi yang dengan cepat menutup mulutku.

“Kau akan membuatku mati terbunuh di tangan Kakekmu sendiri, Sachi. Jaga ucapanmu! Kau pasti paham benar, seperti apa Kakekmu itu,” bisik Bibi di telingaku.

“Biasanya, aku akan singgah terlebih dahulu di tempat lain. Sihir dari hewan-hewanmu, sudah lebih dari cukup mengatasi itu semua. Jadi, rahasiakan ini dari siapa pun, jika kau ingin melihatku bisa bersama-sama dengan Huri dan juga Ihsan, disaat mereka dewasa. Apa kau mengerti?”

Bibi menghela napas, saat anggukan kepalaku menjawab permintaannya, “Bibi terlalu lama di Dunia Manusia. Biarkan Bibi beristirahat sebelum mengantarmu kembali, dan selama itu … Temui mereka! Kau tiba-tiba menghilang tanpa mengatakan apa pun pada mereka, mereka pasti mencarimu,” sambung Bibi kembali padaku.

“Bibi, terima kasih.”

“Tidak perlu berterima kasih. Pergilah!” ucapnya yang kali ini mengatakannya sambil mengacak-acak rambutku menggunakan kedua tangannya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang