Zeki melepaskan kembali pelukannya, sambil mengecup keningku sebelum dia berbalik, melangkahkan kakinya ke arah padang bunga yang jauh di hadapan kami. “Kau, memilih suami yang tepat,” kata-kata dari Bibi membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya.
“Terima kasih,” ucapku, sambil tersenyum membalas senyuman Bibi padaku.
“Bibi, apa itu berbahaya? Apa yang terjadi padaku sekarang ini berbahaya?” Aku balas bertanya dengan kembali mengarahkan pandangan kepada Zeki, yang terlihat mendekatkan wajahnya ke satu per satu bunga yang tumbuh.
“Entahlah, karena itu Bibi ingin memastikannya. Andaikan, Bibi bisa mencium aromanya juga, Bibi pasti sudah ikut membantunya mencari bunga tersebut sekarang,” jawab Bibi menyahuti pertanyaanku.
Aku menundukkan kepala, sambil mengusap perut, “jika itu berbahaya untukku, bantu aku untuk menyembunyikannya dari siapa pun. Saat mengetahui kabar kehamilanku, dia yang paling bahagia … Jadi Bibi, bantu aku untuk menyembunyikannya,” ucapku pelan, dengan tetap mengusap pelan perutku.
“Bibi, tidak bisa berjanji melakukannya. Mana mungkin, Bibi membiarkan keponakan Bibi sendiri celaka, bukan?”
Aku menarik napas dalam setelah mendengarkannya, “tidak perlu mendengarkan perkataan yang lain. Ibu, berjanji akan menjagamu apa pun yang terjadi. Jadi, teruslah tumbuh, lalu jadilah anak yang pandai dan juga rendah hati,” gumamku pelan menggunakan Bahasa Inggis, aku tersenyum kecil saat kurasakan gerakan pelan yang menyentuh telapak tanganku itu.
Aku menoleh ke belakang, saat akar tumbuh di belakangku. Akar-akar tersebut, tumbuh dengan saling melilitkan tubuhnya hingga membentuk sebuah kursi. “Duduklah di sana! Jika kau lapar, katakan saja! Bibi akan menumbuhkan pohon dari buah apa pun yang kau inginkan,” ucap Bibi saat kedua mata kami saling bertemu.
“Terima kasih lagi, Bibi,” tukasku, aku berjalan mendekati kursi akar buatan Bibi lalu mendudukinya.
Aku duduk sedikit bersandar dengan terus menatap Zeki yang masih menciumi satu per satu dari banyaknya bunga yang tumbuh. “Bibi, apa hubungannya aroma di tubuhku dengan bunga yang harumnya sama persis sepertiku?” tanyaku, sambil tetap menatapi Zeki dari kejauhan.
“Bunga, memiliki artinya tersendiri. Aroma harum yang dikeluarkan, memberikan isyarat … Kemampuan dari sang anak itu sendiri. Dia akan kuat atau tidak, tergantung dari aroma tubuh yang ia keluarkan selama berada di dalam perut Ibunya. Karena itu, Bibi ingin memastikan semuanya-”
“Dia sepertinya telah mendapatkan bunga tersebut,” sambung Bibi yang membuatku turut mengarahkan pandangan ke arah Zeki.
Aku beranjak berdiri, saat Zeki semakin berjalan mendekat. “Aroma tubuhnya, persis seperti bunga ini,” ucap Zeki sambil mengarahkan beberapa tangkai bunga ke arah Bibi saat dia telah menghentikan langkahnya di depan kami
“Gardenia, kah?” tukas Bibi, sambil meraih bunga berwarna putih yang diberikan Zeki kepadanya.
“Gardenia?” Aku mengulangi perkataan yang Bibi ucapkan.
“Itu adalah nama, yang diberikan para manusia seperti kalian kepada bunga ini,” jawab Bibi dengan kembali menoleh ke arahku.
“Simbol kemurnian, kepercayaan, harapan, kejelasan dan perlindungan. Itu semua, yang dapat Bibi katakan tentang bunga ini. Ratusan tahun aku hidup, ini kali pertama untukku mendapatkan dia yang memiliki aroma tubuh seperti bunga ini … Dan itu justru, datang dari dia yang bukan Elf murni.”
“Apa maksud Bibi?”
Bibi tersenyum menatapku, “Bibi pun, belum dapat memastikan semuanya. Bibi akan menanyakannya kepada sesepuh di desa. Jadi, kita pergi menemui Kakek dan saudaramu terlebih dahulu sekarang … Setelah Bibi memastikan semuanya, Bibi akan segera memberitahukan semuanya kepada kalian berdua.”
“Dan lagi pun, jika kita terlalu lama di sini. Nagamu, benar-benar akan membekukan tanah yang ada di sini,” sambung Bibi, hingga aku turut menoleh ke arah yang ia tunjuk.
Aku mengangkat tanganku, mengusap kepala Kou yang telah menghentikan langkahnya di dekatku. Kuarahkan, mataku melirik ke arah tanah yang membeku oleh setiap pijakan yang dilakukan Kou. “Cepatlah! Mereka, pasti telah menunggu kita,” perkataan dari Bibi, lagi-lagi membuatku mengalihkan pandangan kepadanya.
Aku menoleh ke arah Zeki, kurangkulkan tanganku di lengannya saat matanya sendiri pun berulang kali bergerak ke tangannya, seakan memintaku untuk merangkul lengannya itu. “Apa kau lelah?” tanyaku pelan sambil mengusap dadanya, ketika langkah kaki kami berdua melangkah di belakang Bibi.
“Ini sudah yang kesekian kalinya kau bertanya akan hal ini-”
“Itu karena aku tidak ingin kau jatuh sakit karena kelelahan,” sahutku yang segera memotong perkataannya.
Zeki mendekatkan wajahnya ke arahku sambil sebelah tangannya terangkat ke samping wajahnya, “cium aku,” bisiknya, dengan sedikit memajukan bibirnya sebelum dia kembali tersenyum kecil.
“Tanganku akan menutupinya, agar bibi tak bisa melihatnya,” sambungnya kembali berbisik ketika aku hanya mengerutkan kening tanpa menjawab perkataannya.
Aku menghela napas saat wajahnya yang memelas itu semakin menjadi-jadi. Aku melirik ke arah Kou, lalu tersenyum kecil saat Kou sendiri telah berjalan sambil membuang pandangannya ke samping. Wajahku bergerak maju-mundur perlahan, saat mata kami saling bertemu. Jantungku semakin terasa bergemuruh, padahal … Ini bukan lagi hal asing untuk kami berdua.
Aku menghentikan langkah, lalu berjinjit sambil mengecup cepat bibirnya. Kusembunyikan dengan cepat wajahku yang panas itu dibalik punggungnya, sambil memperkuat rangkulanku di lengannya. Langkahku kembali berlanjut saat kurasakan usapan pelan yang menyentuh beberapa kali rambutku, aku menarik napas dalam … Lalu mengembuskannya kembali, sambil membuang kembali pandangan ke depan.
“Nee-chan!”
“Sachi nee-chan!”
Kepalaku bergerak ke sekitar, saat suara Eneas yang memanggilku tak henti-hentinya terdengar. “Di sana!” tukas Zeki, aku mengikuti jari telunjuknya yang menunjuk ke arah bayangan seseorang yang terlihat dari kejauhan melambai-lambaikan tangannya.
Aku mengangkat tanganku membalas lambaian tersebut, senyumku semakin mengembang saat bayangan itu terus bertambah lalu semakin jelas terlihat di mataku. Aku melepaskan rangkulanku di Zeki sambil berjalan ke salah satu laki-laki lalu memeluknya, “Izu-nii. Aku merindukanmu, nii-chan,” tangisku sambil membenamkan wajahku di dadanya yang bidang itu.
“Aku pun sama. Bagaimana keadaanmu?” tanyanya sambil kurasakan kecupan di kepalaku.
Aku mendongakkan kepala menatapnya, “aku baik-baik saja. Di mana Haru-nii, Lux dan juga Kakek?”
“Haruki, mungkin sekarang sedang menjaga Putranya. Kakek dan Lux, bukannya mereka bersamamu sebelumnya, Eneas?”
“Mereka, sedang mencoba untuk menumbuhkan tanaman yang dapat digunakan untuk obat di bukit yang ada di sana,” jawab Eneas menimpali perkataan Izumi.
Aku melepaskan pelukanku pada Izumi, sebelum beralih memeluk Eneas, “aku merindukanmu, Eneas. Kau tumbuh semakin tinggi dalam beberapa bulan,” ucapku sambil menepuk-nepuk pelan belakang kepalanya.
“Aku pun merindukanmu nee-chan. Syukurlah, jika nee-chan baik-baik saja,” ucapnya, yang balas tersenyum saat kedua mata kami bertemu.
“Mereka telah datang, Hikaru. Beri salam kepada Paman dan Bibimu.”
Aku menoleh ke samping, air mataku lepas begitu saja saat mataku itu jatuh kepadanya yang tersenyum menatapku sambil menggendong seorang bayi di tangannya. “Haru-nii. Haru nii-chan … Nii-chan,” tangisku sambil memeluk dengan merangkulkan kedua lenganku di lehernya.
“Kau akan membuatnya tidak bisa bernapas,” bisikan Haruki membuatku melepaskan pelukan darinya.
"Maafkan aku."
“Izumi!”
“Baiklah. Hikaru, ikut paman Izumi sebentar. Bibimu sangatlah cengeng, jadi kau harus mengalah sedikit darinya hari ini,” ucap Izumi, dia meraih lalu menggendong bayi laki-laki yang sebelumnya Haruki gendong.
“Bagaimana keadaanmu, Sa-chan?”
Aku kembali menoleh ke arah Haruki yang telah tersenyum kecil ke arahku, “aku merindukanmu, Haru-nii,” ucapku, sambil kurasakan usapan pelan di belakang kepalaku saat aku memeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasiKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...