Chapter DCXLIX

2.7K 511 74
                                    

Kou mengangkat kembali salah satu kakinya, sebelum dia kembali menghantamkan kakinya tadi ke galian yang ia buat hingga menimbulkan lubang menganga di bawah kami. Aku merangkul lehernya, tatkala suara gemerisik air terdengar keras dari arah bawah, “Kou, berhati-hatilah!” pintaku dengan mengusap pelan lehernya.

Dia kembali memasukan tangannya ke dalam lubang, lalu mencengkeram tanah yang ada di sekitar lubang tadi hingga semakin lama dia melakukannya … Semakin lebar juga lubang yang ia buat. Kou membuka sayapnya, mengangkat tubuhnya sedikit mengambang dari tanah, diikuti kakinya yang masih berusaha untuk membuat lubang di tanah tersebut kian membesar.

Aku memeluk kuat lehernya, saat Kou merayap masuk ke dalam lubang tersebut. Aku semakin kuat memeluknya ketika Kou terperosok ke dalam lubang, sebelum kedua sayapnya kembali mengepak. Kou membuka mulutnya, hingga serpihan-serpihan es yang keluar, membuat aliran deras air yang ada di bawah kami, membeku sekejap.

Dia kembali membuka mulutnya, hingga sebuah jalan panjang yang terbuat dari kepingan es terbentuk, “dia berada di depan sana, My Lord,” ucap Kou, dengan mantap berjalan di kepingan es yang ia buat.

Aku masih merangkul lehernya, dengan melirik ke arah gua yang kami lalui … Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, hanya saja … Bebatuan beraneka warna yang menempel di sepanjang dinding gua, membuat gua ini tak gelap sama sekali, “sihir yang menyelimuti tempat ini, benar-benar menakjubkan,” gumamku, dengan sesekali memejamkan mata untuk merasakan sihir yang ada di sekitar.

Kou berhenti, diikuti ekornya yang melilit pinggangku. Tubuhku terangkat, lalu ia turunkan kembali di sampingnya, “apa di depan sana, Kou?” tanyaku, aku melirik ke arahnya saat dia bergeming untuk menanggapiku.

Tubuhku sedikit terperanjat, saat dua pasang mata sudah muncul di depan kami, lengkap dengan suara desis ular yang terdengar kuat. Tangan kiriku, memegang kuat kakinya saat dua pasang mata yang muncul dari kejauhan itu berjalan mendekat, “My Lord, kami menunggumu,” tubuhku kembali sedikit terhentak saat suara tiba-tiba mengiang di dalam kepala.

“My Lord?” gumamku, yang kembali membuang pandangan kepada Kou.

“Tama.”

“ Dan Shin-”

“Memberi hormat kepadamu, My Lord,” tukas dua suara laki-laki  berbeda yang terdengar secara bergantian.

Kedua mataku membesar, saat seekor kura-kura raksasa berwarna hitam, dan seekor ular besar yang hampir sama besarnya … Telah berada di hadapan kami. “My Lord? Tama? Shin? Kou, apa yang terjadi?” tanyaku bingung, dengan semakin kuat juga pegangan tanganku di kakinya.

“Aku Shin, My Lord. Apa kau melupakanku? Padahal, kami telah menunggu kedatanganmu kembali.”

Tubuhku mematung, saat kepala ular besar itu telah berada di depanku. Mataku, turut melirik ke arahnya yang bergerak mendekati pundak … Lengkap dengan lidahnya yang kerap kali keluar masuk dari mulutnya. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Maksudku, apa kita-”

“My Lord,” suara yang kembali terdengar menghentikan perkataanku.

“Aku Shin, ingatlah!” sambung suara itu kembali, diikuti tubuh ular tadi yang memeluk pundakku.

“Shin! Jangan memaksanya! Dia mungkin, memang tidak mengingat kita … Lihatlah, dia bahkan terlihat lebih kecil dibanding saat dia bersama kita dulu,” tukas suara lainnya yang menimpali.

“Kou?”

“Aku merasa mereka tidak berbahaya, karena itu aku membiarkan mereka-”

“Kou, sejak kapan tubuhmu menjadi kecil seperti itu?”

“Aku tidak mengenalmu! Jangan bertingkah seperti kau mengenalku,” timpal Kou kepada suara yang memotong perkataannya.

“Sebentar! Apa kalian berdua mengenal kami? Tama dan Shin,” ucapku kepada mereka sambil mengusap kening.

“Lama dan sudah sejak lama sekali, kau menemukan kami, My Lord. Jika apa yang aku sangka ini benar, kalian semua terlahir kembali sedang kami tidak-”

“Terakhir kita bertemu, adalah saat kau … Membuang kami ke laut, untuk meminta kami yang saat itu masih kecil … Bersembunyi ke dalam lautan, menjauhi Naga Kaisar yang mengejar kalian berdua. Kami, telah melakukan apa yang engkau perintahkan … Kami menyembunyikan diri, menunggu janjimu untuk menjemput kami kembali,” sambung suara itu kembali terdengar di kepala.

“Jadi yang ingin kalian maksudkan, kontrak di antara kita tidak berakhir walau aku sudah mati beberapa kali,” ungkapku memotong perkataan suara itu.

“Jika kalian hidup selama itu, seharusnya sihir kalian bertambah kuat seiring bertambahnya usia?”

“Sihir kami berasal dari tanah, kami bisa mengendalikan hewan apa pun … Jika selama mereka hidup, mereka menggantungkan hidup mereka di tanah. Satu kata darimu, My Lord. Hewan apa pun itu, akan kami buat menjadi prajurit yang tak terkalahkan untukmu,” jawab suara yang lain menimpali perkataan Kou, diikuti wajah ular tersebut yang kembali berada di depanku.

“Yang ingin Shin katakan, karena kami tidak langsung bersentuhan dengan tanah … Jadi sihir kami melemah walau tubuh kami semakin tumbuh besar.”

“Jadi, kau adalah Tama?” tanyaku kepada kura-kura hitam besar itu.

“Dan kau adalah Shin?” Aku kembali bertanya dengan mengalihkan pandangan ke arah Ular yang ada di hadapanku.

“Maafkan aku, karena sudah melupakan semuanya. Namun, bisakah kita mengulangi semuanya dari awal?”

“Walau sebenarnya, ada yang mengganjal di pikiranku. Kenapa hanya kalian yang tidak terlahir kembali?”

“Walau dibakar, walau dibuang ke dalam air, walau dilempar ke udara … Tanah tetaplah tanah. Robur Spei yang kalian cari, tidak akan hidup tanpa tanah … Walau Robur Spei hancur, kami tidak akan hancur. Sudah tak terhitung, berapa kali dunia ini menggelap, dan saat itu terjadi kami hanya tertidur sekejap sebelum terbangun kembali-”

“Dan saat dunia menggelap, kami akan langsung tahu … Tuan yang kami cintai, kembali meninggalkan kami tanpa sempat menemukan kami lagi. Aku sadar akan hal itu, tapi tetap saja rasanya sulit untuk menerima bahwa dia melupakan keberadaan kami,” sambung Shin yang menimpali perkataan Tama, diikuti tubuhnya yang kembali bergerak menjauhiku.

“My Lord, rasanya aku ingin sekali menelanmu agar tidak kehilangan sosokmu lagi-”

“Shin!”

“Ibuku, Ibu kami … Bawa kami pergi dari tempat menyedihkan ini,” sambung ular bernama Shin, diikuti tubuhnya yang kembali bersandar hingga memberatkan pundak kiriku.

Aku menggigit kuat bibirku. Aku tidak tahu kenapa? Hanya saja, saat mendengar kata-kata terakhir yang mengiang di kepala … Membuat dadaku sesak tanpa sebab. Tanpa sadar, tanganku terangkat mengusap tubuh ular yang hampir membenamkan pundakku itu, “jika kalian dapat berbicara denganku seperti sekarang, kenapa tidak memanggilku?”

“Andai kami lebih kuat, kami pasti bisa melakukannya. Aku merindukan belaianmu itu, My Lord. Aku ingin, tidur kembali di pangkuanmu seperti dulu,” ucapnya yang kembali menjauhkan tubuh dariku.

Aku kembali menoleh ke arah Kou, saat ekornya tiba-tiba sudah melilit tubuhku lalu mengangkatku duduk di punggungnya, “Di mana jalan keluarnya? Aku akan membantu kalian keluar dari sini, dan berhenti menggelantung di tubuh Tuanku!” ucap Kou sambil berbalik, membawaku berjalan menjauh.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang