Chapter DCCXVIII

1.9K 392 14
                                    

“Kalian berdua. Apa kalian berdua akan bertingkah seperti itu di mana saja?”

Suara tawa di antara kami berdua tiba-tiba menghening, dengan kedua mata kami yang saling melirik setelah sindiran yang dilakukan Izumi terdengar. “Apa yang kami berdua lakukan? Apa Suami dan juga Istri tidak boleh saling bercanda?” sahut Zeki menimpali sindiran tersebut.

“Apa ada seseorang yang bisa melarang kalian berdua? Dari sebelum menikah, hingga sudah menikah pun, mereka tetap bersikap bahwasanya dunia ini hanya milik mereka berdua saja,” Izumi lagi-lagi menggerutu dengan kepalanya yang sedikit menggeleng.

“Tidak akan ada yang bisa melarangmu juga, kalau kau ingin melakukan hal yang sama bersama Istrimu, Kakak Ipar-”

“Zeki!” Kupanggil namanya, agar pembahasan di antara mereka berakhir. “Nii-chan, hanya lemparkan saja pandangan matamu itu ke depan! Pohon di hadapanmu itu sudah lebih dari cukup untuk membuat wajahmu kesakitan kalau menabraknya,” ungkapku sambil melambaikan tangan ke arahnya.

“Jadi seperti itu caramu berbicara dengan Kakakmu sendiri? Yang mengurusmu sejak kecil itu aku! Bukan laki-laki yang ada di sampingmu sekarang ini,” cibirnya yang membuat bibirku mau tak mau kugigit kuat saat mendengarkannya.

Kami bertiga seketika berhenti melangkah, sesaat Haruki yang berjalan di belakang Ryuzaki, tiba-tiba diam tak bergerak. “Kalian berdua!” pungkasnya, diikuti wajahnya yang melirik ke arah kami, “tutup mulut kalian! Sebelum kedua tanganku ini, memaksanya untuk tak bisa bersuara lagi,” sambungnya datar, dengan selanjutnya menyambung kembali langkahnya.

Baik aku, dan juga Izumi hanya bisa terdiam, dengan sesekali kedua mata kami akan saling menjatuhkan lirikan satu sama lain. “Kalian, benar-benar tidak bisa berkutik saat Haruki sudah berbicara. Menyedihkan sekali,” sindir Zeki, sambil berjalan melewati kami berdua.

Kugaruk ujung alis mata kananku. “Ini semua salahmu, nii-chan,” gumamku, dengan melirik ke arahnya yang juga telah berjalan di sampingku.

“Tidak perlu saling menyalahkan. Ini pun, merupakan kesalahanmu juga,” tukasnya sambil mendorong pipiku menggunakan jari telunjuknya.

Kami berdua terus saja berjalan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun di antara kami. Bahkan, saat kami melewati tenda-tenda dengan beberapa penduduk yang duduk di sekitarnya pun, suara dari masing-masing kami tetap tak terdengar.

Ryuzaki yang berjalan memimpin kami. Menghentikan kedua kakinya di depan sebuah tenda yang terbuat dari sebuah pecahan kain yang disambung satu per satu menggunakan jahitan. “Tuya, apa kau di dalam?” tukas Ryuzaki, yang terlihat sangat berusaha untuk mengucapkannya.

Cukup lama, kami semua menunggu di depan tenda tersebut, akan tetapi … Sedikit saja jawaban, tak kami dapatkan ketika Ryuzaki mencoba untuk memanggil namanya kembali. “Aku akan memeriksanya,” ucapku dengan berjalan melewati mereka.

Aku duduk berjongkok, sambil membuka tirai yang menjadi pintu di tenda itu. Kepalaku masuk ke dalam tenda tersebut, “tidak ada siapa pun di sini!” tuturku, sembari bergerak mundur lalu beranjak lagi mendekati mereka.

“Bagaimana kalau kita menunggu sejenak di sini? Sudah terlalu tanggung untuk kita pergi sekarang,” sahut Izumi kepada Haruki yang masih berdiri terdiam.

Haruki menganggukan kepalanya, ketika kami berempat sama-sama menatapnya, “baiklah. Kita akan menunggunya untuk beberapa saat,” ungkapnya, dengan kedua mata yang tampak memperhatikan keadaan sekitar.

Aku berjalan mendekati Zeki, lalu berhenti dengan menyandarkan kepalaku di punggungnya, “panas sekali,” gumamku sambil sesekali mengipas wajahku sendiri.

“Kau bersembunyi di belakangku, agar tubuhku ini menghalangi sinar matahari menyentuhmu, seperti itu?”

“Aku tidak bisa meminta Kou untuk mengaliri sihirnya. Aku tidak ingin, kalau misalnya Naga Kaisar tiba-tiba saja muncul di sini, karena wilayah ini masih tidak terlalu jauh dari Kekaisaran. Jadi, lindungi aku!”

“Sejak bila kami mendidikmu menjadi perempuan lemah seperti itu?”

Kedua mataku seketika menyipit, menatap Izumi yang juga tak mengalihkan pandangannya kepadaku. “Aku benar-benar kasihan kepada Istrimu! Apa salahnya, kami para perempuan bersikap manja ke pasangan kami sendiri? Aku ingin bergelantungan di tubuh suamiku atau aku ingin dia menggendongku seharian penuh … Itu terserah padaku!”

“Sebenarnya, apa yang dilihat Ebe dari laki-laki yang tidak memahami perempuan sepertinya?!”

“Kau!” geram Izumi, diikuti kedua kakinya yang bergerak mendekat, “kemarilah kau!” sambungnya kembali, tak lupa dengan tangannya yang ikut melambai ke arahku.

Aku berjalan mundur, mendekati Haruki, sesaat Izumi semakin mendekat. “Haru-nii! Adik laki-lakimu itu, benar-benar tidak bisa melihatku bahagia,” ucapku, sambil terus berusaha menghindari Izumi, dengan bersembunyi di balik punggung Haruki.

“Kalian, sudah menjadi orangtua untuk anak-anak kalian. Kenapa,” ucap Haruki terhenti oleh helaan napas yang ia keluarkan, “apa kalian tidak bisa bersikap sedikit tenang?” sambungnya  dengan kedua lengan yang saling bersilang di dada.

“Dan Izumi, ada apa denganmu? Jangan terus-menerus mengganggunya!”

Lidah Izumi berdecak, dengan pandangan yang ia lempar ke samping, “aku mengganggu Sachi, itu karena kalian terlalu tegang. Aku benar-benar merasa sulit, kalau menemukan situasi seperti sekarang.”

“Yang ingin aku katakan hanyalah, takdir itu tidak bisa disangka … Orang yang ingin kau jauhi, ternyata berakhir menjadi pasangan hidupmu. Sedang orang yang berusaha kau pertahankan, justru sebaliknya. Untuk mereka berdua yang ternyata berakhir bersama, belum tentu akan terjadi kepada orang lain,” sambung Izumi seraya melontarkan tatapannya kepada Zeki yang tak bersuara.

“Kenapa kau harus mengatakan hal tersebut, nii-chan?”

“Entahlah. Firasat seorang Kakak, firasat keluarga … Bisa dikatakan seperti itu,” jawabnya santai menanggapi perkataanku.

Aku mengikuti lirikan mata Izumi, yang terjatuh ke sosok seorang perempuan, yang berdiri mematung, tak terlalu jauh dari kami. “Tuya!” Tuya berjalan mundur, saat Ryuzaki yang memanggil namanya itu berjalan mendekat.

“Aku tidak bisa menerimanya!” sahutnya singkat, yang membuat langkah Ryuzaki seketika berhenti.

“Aku tidak ingin meninggalkan suku ini. Aku, tidak ingin pergi dari suku ini. Aku … Aku tidak bisa menerima lamaran darimu, Tuan Ryuzaki.”

“Baguslah,” ungkap Haruki yang membuat kami semua seketika terhenyak, “kau, mengingatkanku pada sosok perempuan lemah yang sangat ingin aku singkirkan dari keluargaku. Adik-adikku, tidak pantas mendapatkan pasangan lemah yang hanya akan menyulitkannya saja di masa mendatang.”

“Kita sudah menyelesaikan semua urusan di sini. Ikuti aku! Kita akan segera pergi!” perintah Haruki sembari lanjut melangkah melewati Tuya yang tak mengucapkan sepatah kata pun lagi.

“Kau Pangeran Kerajaan Sora. Sebagian harga diri Sora, berada di setiap tingkah laku yang kau miliki. Jika kau menghormatiku sebagai Kakakmu. Ikuti apa yang aku perintahkan, Pangeran Takaoka Ryuzaki!” sambungnya, saat dia berhenti melangkah dengan menoleh ke arah Ryuzaki.

“Ryu!” kali ini Izumi memanggilnya. Ryuzaki baru mulai melangkah pergi setelah Izumi yang berjalan mendekatinya itu, menepuk pelan punggungnya.

“Aku harap kau tidak akan menyesali keputusanmu ini, Tuya. Suatu hubungan yang sudah dibina lama, tidak akan hancur semudah itu … Walau aku sekarang sudah menyandang nama keluarga suamiku, tapi aku tetaplah keluarga mereka, salah satu anggota keluarga Takaoka.”

“Apa dengan pergi meninggalkan suku ini, itu berartikan bahwa kau bukan lagi bagian dari mereka? Aku benar-benar kecewa, bahwa kau menolaknya dengan suatu alasan yang terdengar dibuat-buat,” sambungku, sembari melangkah menyusul mereka yang telah semakin menjauh.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang