Kepalaku mendongak ke atas, diikuti napasku yang berusaha aku atur tatkala rasa sakit yang meremukkan seluruh tubuh bagian bawahku itu kian jelas terasa seiring waktu. Kugigit kuat bibirku dengan ikut kurasakan keringat yang kian banyak keluar, tatkala dari dalam pinggulku itu terasa seperti ada yang memaksa keluar, diiringi rasa sakit yang juga turut seakan meremukkan kepalaku.
“Sachi.”
Lirikan mataku terangkat ke atas, “Lux,” suaraku yang keluar, terdengar gemetar saat lirikanku itu terjatuh kepadanya yang terbang di depanku.
“Apa,” tukasku terhenti, aku menarik napas dengan meneguk air ludahku menatapnya, “apa mereka, belum ada yang kembali?” sambungku, sambil diikuti pipiku yang basah oleh air hangat yang mengalir dari ujung mataku.
“Aku, telah membuatkan ramuan untukmu … Aku, akan menyusul mencari mereka di dunia manusia. Bertahanlah, Sachi. Aku tahu, kau kuat,” kepalaku mengangguk pelan, ketika suaranya yang gemetar itu menyentuh telingaku.
Aku mengutuk laki-laki di dunia ini, teganya mereka memperlakukan perempuan. Di saat-
“Ini sakit sekali, Tuhan,” tangisku, aku tertunduk dengan mengusap mataku yang basah saat rasa sakitnya kian menjadi-jadi.
Aku menarik napas panjang, sambil kedua tanganku menarik rok gaunku itu hingga berkumpul di pangkal pahaku. Kuatur kembali napasku, dengan menggerakkan kedua tanganku membuka ikatan di samping kedua sisi celana dalam yang aku kenakan. Aku menarik napas sedalam mungkin sambil melebarkan kedua kakiku, kuembuskan kembali napasku dengan perlahan diikuti kedua tanganku yang menyentuh perut. Aku kembali menarik napas dalam, lalu kukeluarkan kembali sambil mengerahkan tenagaku untuk mengejan.
Aku tidak tahu, yang ada di pikiranku sekarang … Hanyalah, bagaimana aku mengeluarkan dia yang terasa mendorongku dari dalam untuk dikeluarkan.
Napasku semakin tak beraturan, saat aku mendongakkan kepalaku ke atas. Kedua tanganku keras mengepal, ketika aku kembali mencoba untuk mengejan yang kesekian kalinya. Pandangan mataku menerawang ke depan, kerongkonganku terasa sangat kering … Tubuhku turut menggigil seiring waktu.
Apa aku menyerah saja? Aku, sudah tidak memiliki tenaga apa pun lagi.
“Istana itu, terlalu luas untuk aku tinggali sendiri.”
Kugigit kuat bibirku, sekuat mungkin aku mencoba menahan tangisanku saat kata-katanya tiba-tiba terngiang di kepalaku. Aku menarik napas dalam dengan kembali menegakkan kepalaku, kutahan napasku itu dengan berusaha mengejan menggunakan sisa-sisa tenaga yang aku miliki.
Aku mengulangi hal itu kembali beberapa kali, hingga aku terhenyak saat rasa perih diikuti panas menyelimuti organ kewanitaanku itu … Ketika kurasakan, sesuatu berhasil menerobos keluar darinya. Lagi-lagi, aku menarik napas dalam lalu mengejan sekuat tenaga untuk semakin mendorongnya keluar. Rasa sakit dan lelah yang menggeliat di seluruh tubuhku, berusaha sekuat tenaga untuk kutepis.
Aku terkulai, setengah bersandar di dinding. Napasku sudah tak bisa kuatur, pandangan mataku yang sebelumnya gelap … Berangsur-angsur jelas, saat suara tangisan bayi semakin lama, semakin terdengar memenuhi rumah kecil yang aku tempati. Tarikan napasku semakin dalam, saat aku mencoba untuk beranjak duduk.
Aku tanpa sadar melepaskan gaun tidur berwarna putih yang aku kenakan, meletakkan gaun tersebut di atas pahaku. Dengan tangan gemetar, aku meraih lalu mengangkatnya yang menangis kencang di atas kain basah yang menjadi alas tempat tidur kami. Dengan perlahan, aku menyelimuti tubuhnya yang basah itu dengan gaun milikku.
Air mataku tak kunjung berhenti, saat lama aku mendekapnya di pelukanku. Aku tertunduk dengan menyeka kedua mataku, tatkala kurasakan tangannya bergerak di sekitar dadaku. Aku membuka ikatan kain yang menutupi dadaku tersebut, bibirku tersenyum menatapi bibirnya yang bergerak saat aku semakin mendekati wajahnya di dadaku.
Mataku sedikit terpejam, ketika rasa geli, aneh dan bahagia bercampur menjadi satu ketika tangisannya berhenti, beralih ke isapan kuat yang ia lakukan di dadaku. “Aku tidak tahu, kalau lidah bayi akan setajam ini,” gumamku, sambil mengusap rambutnya yang basah dengan gaun yang menutupi tubuhnya itu.
Lirikan mataku, beralih ke onggokan daging yang ada di tengah-tengah pangkal pahaku, “apa ini harus dipotong?” gumamku kembali, sambil menyentuh sesuatu yang panjang seperti daging yang terhubung dengannya dan anakku.
Aku menarik napas, mengangkat onggokan daging tadi ke samping sambil kusandarkan kembali tubuhku itu ke dinding, “aku, tidak ingin mengambil risiko. Aku, akan menunggu Tabib datang untuk melakukannya,” sambungku bergumam, dengan kembali melirik ke arahnya yang masih menyusu sambil menekan sedikit dadaku dengan tangannya.
“Ayah dan Pamanmu akan segera pulang. Berkenalanlah dengan mereka nanti, Putriku,” bisikku sambil mengecup pelan kepalanya.
______________.
Aku sedikit terperanjat saat suara tangisan kembali terdengar, kutarik napas sedalam mungkin saat aku membuka mata dengan kepala tertunduk. "Apa kau lapar?" bisikku pelan sambil tanganku terangkat menyentuh pipinya.
Kupaksakan tubuhku itu bergerak, kedua tanganku dengan pelan meraih dan menggendongnya. Tangisannya terhenti, saat bibirnya tak berhenti bergerak mengisap dadaku.
Bibirku tersenyum, saat matanya terpejam dengan menggenggam jari telunjukku menggunakan tangan kecilnya. Lirikan mataku terangkat, ketika suara benda menabrak sesuatu terdengar di telinga.
Aku tertegun, ketika mataku itu terjatuh ke arahnya yang berdiri di ambang pintu. Dia sempoyongan berjalan masuk ke dalam, bibirnya masih terkatup saat dia sendiri duduk di dekatku dengan napasnya yang tak beraturan.
"Maafkan aku, aku belum sempat mencari mereka saat Lux tiba-tiba muncul memintaku pulang. Maafkan aku, Sachi ... Telah membuatmu berjuang sendirian."
Tangisanku pecah, tatkala kepalaku ia rangkul di pundaknya. "Aku takut sekali sebelumnya, Zeki ... Aku pikir, aku tidak akan bisa bertemu dengan kalian lagi saat itu," tangisku dengan semakin membenamkan wajahku itu di pundaknya.
"Maafkan aku."
Kepalaku menggeleng pelan saat dia terus-menerus mengatakannya. Aku tersenyum dengan menatap kembali bayi kami, saat kurasakan isapan di dadaku itu berhenti. "Kau mendapatkan seorang Putri, Ayah. Hapus air matamu, atau Putrimu ini akan menangis lagi," ucapku, sambil menggerakkan dengan pelan jari telunjukku yang masih ia genggam.
Aku menoleh ke arah Zeki, lalu mengecup lembut pipinya saat air mata tak berhenti mengalir dari pipinya itu. "Dia menunggu nama dari Ayahnya," tukasku yang kembali mencium pipi Zeki.
Zeki tertunduk dengan mengusap kedua matanya. "Apa kau, percaya adanya Surga?" tukasnya dengan sesenggukan mendekatkan telapak tangannya di kaki anak kami.
"Aku, pernah membacanya di buku yang ada di Perpustakaan Istana. Di buku itu mengatakan, jika Surga adalah tempat yang indah ... Tempat, yang hanya dihuni oleh mereka yang baik hatinya. Tempat di mana, mereka yang ada di dalamnya akan mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara."
"Aku, akan memberikannya nama Huri. Huri, yang berartikan ... Perempuan Surga. Sebagai harapan, jika dia akan membawa kebaikan dan kebahagiaan seperti Ibunya," sambung Zeki, dengan ibu jarinya mengusap pelan punggung tangan bayi kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...