Chapter DCCLV

1.5K 362 11
                                    

Kami masih terdiam di tengah-tengah hiruk-pikuk sorakan yang terdengar. Senyumku yang tersembunyi dari balik topeng, mencuat keluar disaat angin kuat tiba-tiba berembus … Meraih dan mencuri salah satu kantung yang terlempar ke udara oleh beberapa laki-laki yang berebut untuk memilikinya. Aku tersenyum karena yang berembus itu sudah dipastikan bukanlah angin biasa. Angin biasa, tidak akan bisa menerbangkan kantung berisi penuh kerikil.

Setelah berhasil memerangkap kantung tadi … Pusaran angin itu segera terbang kembali ke atas, membawa kantungnya hingga jejak dari kantung tadi segera menghilang. “Lanjutkan permainan! Tidak ada kantung lagi, yang mendapatkannya akan menjadi pemenang!” Keadaan sempat menghening sejenak, sebelum kembali ribut oleh mereka semua yang memperebutkan kantung yang tersisa di tangan salah seorang pemuda, setelah teriakan dari seorang laki-laki yang memimpin acara berteriak.

Aku mengalihkan pandangan pada laki-laki yang berdiri di samping gong. Sesaat lirikanku akan beralih pada Bernice yang telah terlihat gusar. “Belum saatnya,” ungkapku sambil terus memperhatikan beberapa laki-laki yang berjalan mendekat ke gong emas tersebut.

“Bernice, apa kau bisa berkuda secepat mungkin sebelum bunyi gong ketiga terdengar? Kau harus berkuda secepat mungkin ke arah di mana tanganku menunjuknya. Lakukan dengan benar jika kau menginginkan kita memenangkan ini.”

Mataku semakin menyipit, memerhatikan empat laki-laki yang berdiri di samping gong, “Bernice!” perintahku sambil mengangkat tangan kiri setelah salah satu laki-laki mengangkat tongkat pemukul hendak memukul gong tadi, “perhatikan langit!” Aku kembali memerintah Bernice ketika suara gong pertama terdengar.

Aku tak lagi memerhatikan kerumunan yang kian kacau oleh suara gong, yang menjadi tanda pertandingan akan segera berakhir. Namun, mataku justru tak berpaling pada Bernice yang berkuda ke arah di mana aku memerintahkannya untuk pergi. Kuda yang Bernice tunggangi berlari lebih kencang dibanding sebelumnya, sesaat suara gong yang kedua terdengar … Terlebih dengan beberapa laki-laki yang berkuda mengejarnya setelah mereka menyadari apa yang sedang Bernice kejar sekarang.

Senyum di bibirku kian merekah, karena sesaat sebelum bunyi gong ketiga menyeruak … Kedua tangan Bernice berhasil memeluk kantung kulit berisi kerikil yang jatuh dari atas langit. “Sachi!” tutur Ebe kegirangan, tubuhku sedikit bergoyang disaat dia meraih dan menggoyang-goyangkan lenganku.

Aku mengangkat jempolku ke arah Bernice yang segera menarik jubahnya, untuk segera menutupi rambutnya yang hampir terlihat. Sorak-sorai dari penonton baru terdengar dikala Bernice mengangkat kantung kulit yang ada di tangannya ke atas, menyusul kantung kulit yang telah diangkat sebelumnya oleh seorang laki-laki. Kuda yang aku tunggangi, baru aku biarkan berjalan mendekati Bernice dikala satu per satu laki-laki yang sebelumnya memenuhi lapangan, pergi menjauh dengan hanya meninggalkan kami berempat dan … Lima orang laki-laki, sambil salah satu di antara mereka memegang kantung kulit yang sama.

Suara laki-laki kembali terdengar, meminta kami untuk mendatangi sebuah tempat peristirahatan di kedua sisi lapangan, sembari memberikan sedikit waktu untuk mereka mempersiapkan pertandingan selanjutnya. Aku melompat turun lalu duduk di bangku panjang yang menjadi tempat untuk kami beristirahat. “Mereka terlihat tangguh, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” sahut Ebe yang telah ikut melompat turun menyusulku.

“Memang aneh melihat angin yang tiba-tiba muncul dan menerbangkan kantung itu, dan walau mereka mencurigainya … Mereka tidak bisa menyalahkan siapa pun karena itu murni perbuatan angin. Beruntungnya, mereka tidak memiliki kantung cadangan yang dapat dijadikan pengganti dari kantung yang menghilang-”

“Aku memerintahkan Bernice untuk mengejar kantung tadi, hanya karena ingin membuat kemenangan kita tak dicurigai. Namun sekarang berbeda, jika kita diam … Kita akan kalah dan mati di sini. Jadi, perintahku hanya satu. Di saat kau mendapatkan kantung, segera lempar kantung tadi ke arah mana pun yang kalian inginkan. Usahakan, jangan sampai kantung tadi berada lama di tanganmu. Ini untuk kebaikan kita semua,” ucapku sambil membuka ikatan pada jubah yang menutupi tubuh.

Aku menarik jubah itu dengan sebelah tanganku sedang tangan yang lain sedang menahan panah yang ada di pundakku. Aku menunduk menatap kedua pahaku yang kian terlihat jelas dari celana pendek berwarna putih milikku, Tubuhku beranjak sambil melemparkan jubah yang sebelumnya aku pakai ke bangku, “apa kalian siap?” tanyaku dengan berbalik pada mereka yang juga telah melucuti jubah-jubah mereka.

“Apa yang terjadi? Apa mereka perempuan?!”

“Kenapa Perempuan ada di sini?!”

“Apa yang mereka lakukan di sini?!”

“Usir mereka! Mereka tidak seharusnya di sini!”

Satu per satu cemohan kudengarkan dengan sangat baik, ketika aku sudah mulai berjalan sambil menarik kudaku yang merupakan sesosok Leshy. Langkahku berhenti, bersama dengan mereka bertiga, di depan lima orang laki-laki yang akan menjadi lawan kami. “Apa kami harus melawan mereka?!” teriak salah seorang laki-laki yang berdiri berhadapan denganku..

“Kami sudah pasti menang. Segera beri saja hadiah kepada ka-”

Ucapan laki-laki yang ada di hadapanku itu berhenti, ketika tangannya yang hendak mendekati dadaku segera dicengkeram kuat oleh Sabra. Aku menarik napas sebelum kakiku memberikan terjangan kuat di selangkangan laki-laki tersebut. “Sa? Sachi?!” teriakan Alma yang beranjak dari kursinya, dengan seketika membuat rakyatnya terdiam disaat aku melepaskan topeng kayu yang menutupi wajah.

“Salam untuk kalian, Pangeran Alma Mateo, dan juga … Putra Mahkota Vartan Joselito,” ungkapku dengan sedikit membungkukkan tubuh ke arah mereka berdua yang terlihat sangat terkejut.

Vartan beranjak dengan memukul meja yang ada di depannya, “apa yang kau lakukan di sini?!” tanyanya dengan kedua mata yang melotot padaku.

“Aku hanya ingin menemui teman lamaku, Pangeran Alma Mateo. Aku hanya ingin bertanya kepadanya … Apa ada cara untukku memutuskan pertunangan tanpa membuatku dieksekusi,” ucapku membual sambil melirik pada Alma yang terlihat gusar, tak berani untuk menatapku.

“Bukankah kau sudah menikah dengan laki-laki itu? Jadi unt-”

“Laki-laki yang mana, yang kau maksudkan, Vartan?” tuturku dengan nada menggoda sebelum perkataannya selesai, “bayangkan jika aku menikah denganmu. Lalu sebagai suamiku, apa kau akan membiarkanku berkeliaran seperti sekarang? Kakakku hanya ingin mengujimu dan kau sudah langsung membuatnya kecewa,” sambungku yang dengan seketika membuat raut wajahnya berubah.

“Pangeran Alma Mateo, apa kau mengenalnya?” tanya salah seorang laki-laki yang duduk di dekat Raja Juste.

“Dia,” tukas Alma terlihat ragu untuk menjawab. Dia menunduk sambil memejamkan kedua matanya, “dia Takaoka Sachi. Putri dari Kerajaan Sora.”

“Salam Raja. Takaoka Sachi, Putri dari Kerajaan Sora, memberikan hormat untukmu,” ungkapku menimpali ucapan Alma dengan tubuh membungkuk ke arah mereka.

“Aku mendengar bahwasanya Kerajaan Juste memiliki festival yang menarik. Aku tertarik untuk mencobanya, jadi … Apa aku boleh melakukannya?” lanjutku setelah mengangkat lagi wajah membalas tatapan mereka.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang