Chapter DCXXIX

1.4K 300 3
                                    

Aku memukul-mukul pinggangku dengan menatapi barisan pakaian yang baru saja aku jemur. Pandangan mataku beralih, ke arah suara yang tiba-tiba terdengar di telingaku. Aku menunduk dengan meraih ember kayu, lalu membawa ember tersebut ke arah suara yang aku maksudkan. “Kalian telah pulang?” tukasku, saat langkahku itu sendiri berhenti di hadapan Haruki, Ryuzaki dan juga Tatsuya dengan Hikaru di gendongannya.

“Apa kau-”

“Aku telah melahirkan bayi perempuan yang cantik, nii-chan,” ucapku sambil meletakkan ember yang aku bawah ke tanah lalu berjalan mendekati Hikaru di gendongan Tatsuya.

“Hikaru, bagaimana keadaannya?” tanyaku yang membungkuk sambil meletakkan telapak tanganku di pipi Hikaru.

“Tabib mengatakan, itu sudah biasa untuk anak demam menjelang tumbuhnya gigi. Tatsuya sebenarnya sudah mengatakan hal ini kepadaku, tapi tetap saja aku ingin memastikannya sendiri,” jawab Haruki ketika aku mengalihkan pandangan kepadanya.

“Sa-chan, sebenarnya sudah berapa hari kami pergi?”

“Sekitar satu pekan lebih, mungkin-”

“Berarti Izumi dan yang lainnya telah kembali?” tukas Haruki memotong perkataanku, aku mengikuti langkah kakinya berjalan dengan sebelumnya membawa kembali ember yang aku letakkan di tanah.

“Izu nii-chan dan yang lainnya belum kembali. Zeki sedang menyusul mereka, untuk tidak perlu lagi membawa Tabib ke sini,” ucapku yang melirik ke arahnya.

“Lalu, di mana keponakan kami?”

“Dia sedang tidur, Eneas dan Uki yang membantuku menjaganya. Beristirahatlah, aku akan menyiapkan makanan untuk kalian,” ucapku yang tersenyum menatapi mereka sebelum langkahku kembali berlanjut meninggalkan.

_____________.

Aku melirik ke arah Haruki yang berjalan mendekat dengan menggendong Hikaru, “apa kau baik-baik saja? Kau, terlihat kelelahan,” tukasnya sambil ikut duduk bersandar di batang pohon.

“Aku hanya kurang beristirahat, Huri selalu bangun di tengah malam karena lapar,” ucapku, sambil mencubit pipi Hikaru yang tengah menepuk-nepuk sendiri tangannya.

“Lama-lama kau akan terbiasa,” sahut Haruki, dia menepuk-nepuk paha Hikaru sambil pandangannya tetap mengarah ke depan.

“Jadi Sa-chan, apa kau masih ingin melanjutkan perjalanan?” sambung Haruki yang membuatku kembali menoleh padanya.

“Aku masih ingin,” timpalku sambil menunduk menatapi Huri yang lelap, “aku melahirkan seorang Putri. Aku ingin, dia tidak terbelenggu dengan dunia ini,” sambungku sambil mengusap ujung bibir Huri yang basah.

“Bagaimana dengan Zeki? Apa kalian telah membicarakannya?”

Kepalaku yang tertunduk itu menggeleng pelan, “aku akan membicarakan hal ini setelah dia kembali,” jawabku sambil kembali menoleh padanya.

“Bagaimana denganmu, nii-chan?”

“Aku, akan meminta Tatsuya membawa dan menjaga Hikaru di tempat yang aman. Kau tahu nyawanya bergantung pada Robur Spei seperti Ryu, bukan? Karena itu, aku tidak akan tenang sebelum mendapatkan Robur Spei itu di tanganku,” ucapnya, Haruki tersenyum dengan mencium kepala Putranya tersebut.

“Sepertinya Eneas memanggil kita.”

Aku melirik ke arah yang Haruki tunjuk, bibirku masih terdiam saat kedua mataku itu terjatuh ke arah seseorang yang melambaikan tangannya ke arah kami. Aku kembali melirik ke arah Haruki yang beranjak, sambil kugerakkan tubuhku ikut beranjak berdiri menyusulnya. “Apa terjadi sesuatu?” tanyaku yang telah berjalan berdampingan dengan Haruki.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang