Chapter DCCLXXIII

1.8K 435 55
                                    

“Aku tidak bisa pulang ke Sora. Aku, masih belum sanggup untuk bertemu dengan Ayah,” ucapku setelah selesai mengemas semua barang.

Mataku yang sebelumnya menatap tas, segera mendongak sesaat sebuah tangan meraih dan mengangkat tas di hadapanku itu. “Kakek meminta kami untuk membawamu ke Dunia Elf. Kau akan lebih aman tinggal di sana dibanding Sora ataupun Il.” ungkap Kakakku Izumi, seraya melangkah meninggalkanku dan Haruki berdua.

Haruki mengangguk dikala mata kami saling bertemu. Aku berbalik, menyusul Izumi yang sudah keluar dari kamar dengan Haruki di belakangku. Langkah kaki beriringan kami berhenti, di hadapan mereka semua yang ternyata telah menunggu di luar. Izumi melangkah maju lalu membungkukkan tubuhnya di hadapan Danurdara, “terima kasih karena telah membiarkannya berada di sini untuk sementara-”

“Tolong jangan lakukan hal ini, Izumi!” sergah Danurdara sambil memegang kedua pundak kakakku, “justru dengan adanya Sachi di sini. Kerajaan ini jadi baik-baik saja seperti sekarang,” sambungnya dengan balas menatap Izumi yang telah kembali beranjak.

Aku turut melangkah disaat Izumi menoleh ke arahku, “terima kasih Danur dan juga kau, Wasfiah. Aku sangat senang selama berada di sini,” ucapku setelah berhenti di samping Izumi.

Wasfiah meraih dan menggenggam tanganku, “datanglah lagi ke sini nanti! Aku pun menikmati kebersamaan kita,” sahutnya dengan senyum yang terlempar.

Aku balas tersenyum sambil melirik pada dua anak perempuan yang digendong oleh masing-masing pelayan, di belakang mereka berdua, “semoga kalian selalu sehat dan bahagia untuk selamanya,” tukasku seraya menoleh lagi kepada pasangan di depanku itu.

“Jika terjadi sesuatu yang mencurigakan di sini, segera beri laporan kepadaku, Danur! Lalu, terima kasih untuk semuanya.”

Danurdara mengangguk, “tentu. Jaga diri kalian! Aku akan membuat Kerajaan ini menjadi kuat, agar nantinya dapat mendukung apa yang kalian lakukan,” tutur Danurdara menjawab ucapan Haruki.

Aku berbalik, dikala Izumi menyentuh punggungku. Kedua kakiku berjalan mengikuti Haruki yang telah melangkah meninggalkan kami. Kepalaku tertunduk disaat telapak tangan milik Izumi menepuk pelan beberapa kali kepalaku itu. “Semuanya akan baik-baik saja. Jika Zeki lemah, aku tidak akan mengizinkannya untuk menikahimu,” ucapnya pelan menyentuh telinga.

Kami terus berjalan mendekati sebuah pohon yang terletak jauh dari kawasan Istana. Di depan pohon tadi, terdapat beberapa laki-laki yang berdiri … Laki-laki yang merupakan Elf, dari sihir yang dapat kurasakan. Haruki melangkah memasuki lubang berbentuk terowongan di pohon tersebut, disusul Izumi dan juga aku di belakangnya.

Aku langsung menunduk sambil menutup hidung. Mataku membelalak, saat pandanganku itu terjatuh ke arah rumput kering yang kuinjak. Aku terpaku sesaat kepalaku terangkat … Jantungku berdegup sesak, menatapi padang rumput yang sering aku lewati kala mengunjungi Dunia Elf, kini mengering seperti kehilangan hidupnya.

Seorang Elf yang sebelumnya berdiri di samping pohon, berhenti tepat di depan Haruki. Dia terlihat berbicara sebelum memandu kami berjalan. Semakin kami melangkah, semakin itu juga perasaanku kian tak menentu, “apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tukasku lemah sambil melemparkan pandangan kesegala arah.

Rasa khawatir di dalam diriku kian membuncah, dikala mataku terjatuh ke semua pohon di sini yang terlihat layu dan menghitam. Langkahku terhenti dengan Izumi yang segera memapahku, sesaat daku hampir terjatuh setelah melihat pemandangan di depan. Tubuhku seketika lemas, tatkala menatap perkampungan Elf yang sudah tak bersisa.

Aku menarik napas sambil menurunkan tangan Izumi yang memegang pundakku. Kedua kakiku segera berlari mendekati kerumunan Elf perempuan yang tengah duduk mengelilingi kumpulan kelopak bunga  yang terbang di sekitar mereka. “Bibi?” ucapku gemetar menatap tubuhnya berbaring tak bergerak di tanah.

Dengan cepat, aku menyelip ke tengah-tengah kerumunan itu. Air mataku jatuh seketika, disaat aku sudah duduk di samping tubuhnya. Matanya tak terbuka … Setengah bagian bawah tubuhnya sudah menghilang, pecah berurai menjadi kelopak-kelopak bunga yang sebelumnya aku lihat.

Tangisanku pecah pada akhirnya. “Bibi!” isakku memanggilnya sambil kupangku kepalanya ke pahaku. “Ini tidak benar, bukan? Apa yang aku lihat ini tidak benar, bukan?” tangisku dengan air mata yang terus berderai menjatuhi wajahnya di pangkuan.

“Maaf. Apa aku bisa lewat?”

Kepalaku menoleh ke samping, diikuti tangisanku yang semakin tak bisa kukendalikan, disaat Izumi berjalan melewati beberapa Elf lalu duduk di sampingku. “Saat Kakek menjemput kami. Semuanya sudah seperti ini,” ucap Izumi yang menoleh sambil mengusap mataku menggunakan sebelah tangannya.

“Di mana Kakek? Kumohon, tanyakan kepadanya! Apa ada yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkannya?”

Aku menggigit kuat bibir, lalu menunduk dengan tangisan yang masih berlanjut disaat Izumi menggeleng, menjawab ucapanku. “Semua ini salahku … Seharusnya, seharusnya aku tidak meminta tolong kepadanya.”

“Bibi hanya ingin menolong keponakannya dan itu yang terjadi! Rasa bersalahmu tidak akan membawanya kembali hidup, jadi hentikan!” sahut Izumi menimpali ucapanku.

Kupandang Kakakku itu, yang terlihat tenang di sampingku. Kuusap pelan mataku, sesaat aku tak sengaja menangkap sembab yang terlihat samar di bawah matanya. Aku kembali menoleh, memandang wajah Bibi … Dia tetap tertidur lelap, walau tubuhnya terus melebur menjadi kelopak-kelopak bunga.

Tangan kananku yang sebelumnya berada di atas perutnya, kini telah jatuh beriringan dengan kelopak bunga kemerahan yang tertiup angin di hadapanku. Aku kembali tidak bisa menahan tangisanku, sesaat tubuh Bibi yang sudah seperti Ibuku sendiri itu … Pecah, meninggalkan sebuah benih yang tergeletak di atas tanah.

Izumi menarik wajahku ke pelukannya, dikala mataku tak bisa terlepaskan kepada kelopak-kelopak bunga yang terbang semakin menjauhi kami. “Aku sudah menganggapnya seperti Ibuku sendiri, bahkan lebih dari Ibu yang melahirkanku,” tangisku sambil menggenggam erat baju yang dikenakan Izumi.

“Bibi,” tangisku semakin dalam yang bersambung dengan usapan di belakang kepalaku.

“Izumi, bawa dia! Aku tidak ingin terjadi sesuatu kepadanya dan anak yang sedang dia kandung!”

Perintah dari Haruki yang sepintas terdengar, dijawab oleh Izumi oleh perlakuannya. Izumi menggendongku dan membawaku pergi dari tempat itu. Aku kembali mencengkeram erat bajunya, sambil kubenamkan wajahku ke dadanya. Tangisanku tak kunjung berhenti, walau pakaian yang dikenakan Izumi telah basah … Tangisanku masih berlanjut.

Aku menunduk, menatap kedua tangannya yang menggenggam erat tanganku ketika dia sudah menurunkanku dari gendongannya dan berjongkok di hadapanku. “Kakek sekarang sedang berusaha untuk memurnikan sisa-sisa kutukan yang ada di sini. Sebelum dia kembali … Simpan tangisanmu!”  ucapnya dengan bertambah kuatnya genggaman yang ia lakukan.

“Kakek mungkin yang paling terluka dengan apa yang terjadi sekarang. Dia mengirim kami hanya untuk memastikan keadaanmu … Jika dia melihatmu sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja seperti sekarang, dia pasti akan jauh lebih terluka,” sambung Izumi yang mencoba tersenyum walau kedua sudut bibirnya nampak gemetar.

“Aku pun sama terlukanya,” lanjut Izumi dengan kali ini menundukkan wajahnya, “sama sepertimu, dia sudah seperti Ibu untukku.”

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang