Chapter DCXLVII

2.8K 487 24
                                    

“Ada apa?”

Aku melirik ke arah Haruki yang duduk bersandar pada Hippocampus miliknya, “aku hanya sedang tidak bisa tidur,” jawabku, sambil menundukan wajah, menatap ekor Kuro yang melingkar di pinggangku.

“Apa ada yang kau pikirkan?”

“Aku hanya sedang memikirkan Huri. Dadaku seringkali nyeri, apa mungkin karena aku sudah lama tidak menyusuinya,” gumamku, dengan kembali menyandarkan tubuh pada Kuro.

“Kau ingin bertemu dengannya?”

Kepalaku mengangguk, walau enggan untuk terangkat menatapinya, “aku merindukan mereka,” jawabku singkat sambil melirik ke arah seekor ubur-ubur yang berenang melewati.

“Sa-chan!” panggil Haruki yang membuatku kembali menoleh padanya.

“Aku sebenarnya ingin memberitahukan hal ini, jauh-jauh hari sebelumnya … Akan tetapi, karena keadaanmu yang tidak memungkinkan dulu. Aku terpaksa, untuk tidak memberitahukannya-”

“Memberitahukan apa?” Aku dengan cepat memotong ucapannya.

“Alvaro telah meninggal, beberapa bulan yang lalu.”

Kedua mataku membelalak saat mendengar apa yang ia katakan. “Dia meninggal, saat kau masih tinggal di Yadgar bersama Zeki. Aku tidak ingin, kabar kematiannya mengganggu kehamilanmu … Karena itu, aku juga meminta kepada Izumi untuk menyembunyikannya-”

“Sachi?” ucap Haruki lagi dengan memanggil namaku.

Kepalaku tertunduk, dengan kembali menatapi ekor Kuro yang menahanku agar tidak mengambang saat tertidur di dalam air, “aku, tidak tahu bagaimana caranya bersikap. Aku sedih bercampur lega … Aku sedih, karena gagal menyelamatkannya. Namun, di sisi lain aku lega, mengetahui bahwa dia tidak perlu lagi merasakan sakit,” ucapku, yang tetap enggan untuk mengangkat pandangan.

“Aku, masih ingat benar bagaimana pertama kali kita bertemu … Walau aku sempat marah, karena Izu-nii terluka akibat ingin membantunya. Tapi di sisi lain aku pun merasa, jika dia laki-laki yang baik. Kenapa, mereka yang baik seringkali pergi begitu cepat-”

“Jangan menyalahkan dirimu. Itu sudah takdirnya, kau juga sudah berusaha yang terbaik untuk membantunya.”

“Izu-nii,” ucapku dengan menatap kepadanya yang tiba-tiba bersuara.

“Bukan hanya kau, aku pun terpukul saat mendengar kabar kematiannya … Tapi yang bernyawa pasti akan mati. Entah hari ini atau besok, entah saat berperang atau saat tidur … Kita tidak tahu, kapan tepatnya akan mati,” ungkap Izumi, dia menunduk sambil mengusap kepala Ebe yang tidur berbaring di pangkuannya.

Bibirku terkatup, dengan wajah terangkat ke atas, “setelah ini semua berakhir. Ajak aku untuk pergi ke makamnya … Setidaknya, dia juga salah satu temanku,” ungkapku sambil dengan perlahan mengusap ekor Kuro.

“Dan-” tukas Haruki terpotong, dia melirik ke arahku dan Izumi bergantian sejenak, “jika kita tidak menemukan makhluk itu nanti. Apa kalian, ingin mengikutiku singgah di sebuah tempat di arah Barat  sejenak?” tanyanya, yang kali ini menggunakan bahasa Jepang.

“Kita, juga akan menitipkan istrimu, Izumi, di sana. Ada yang harus aku lakukan di sana … Ini untuk, masa depan Hikaru juga. Aku harus menyelesaikan ini secepat mungkin, agar pikiranku tidak terbagi akan sesuatu itu selama perjalanan,” sambung Haruki kembali menggunakan bahasa Jepang.

“Aku tidak akan mempermasalahkannya. Namun, apa Kou sanggup membawa lima orang sekaligus?”

Aku mengangkat kedua pundakku, membalas lirikan Izumi, “aku tidak tahu. Tapi, aku akan mencoba untuk merundingkan hal tersebut kepadanya."

_________________.

“Sa-chan! Apa kau yakin?!”

Aku kembali mengusap leher Kuro, agar dia lebih cepat berenang ke arah yang aku pinta, “aku yakin, nii-chan. Ada titik sihir di depan sana, tapi kecil … Kou sendiri yang menyuruhku ke sana. Kalian, sebaiknya waspada!” Aku balas berteriak, sambil tetap membuang pandangan mataku ke depan.

Ini sudah kesekian harinya kami menghabiskan waktu di lautan. Apa sihir yang aku rasakan sekarang … Adalah, milik makhluk itu?

“Kou, bersiap-siaplah!” perintahku, saat aku sendiri pun telah semakin dekat ke titik sihir yang dimaksudkan.

Aku kembali mengusap leher Kuro, memintanya untuk berhenti. Kuangkat sebelah tanganku ke belakang, agar mereka yang ada di belakang turut berhenti … Atau lebih bagus, untuk jangan mendekat. Kuusap kembali leher Kuro, kali ini aku memintanya untuk berenang pelan … Bersembunyi di antara kumpulan batu karang.

“Ada apa?”

Aku melirik ke arah Haruki yang berenang mendekat bersama Dekka, “lihatlah ke atas!” perintahku, sambil menunjuk ke arah permukaan.

Aku turut mengangkat kembali pandangan, saat mereka berdua mengikuti apa yang aku perintahkan. “Apa itu buaya? Di laut?” tukas Haruki, kepalaku mengangguk, membalas tatapan berserta ucapannya.

“Sihir tersebut, berasal dari atas. Namun masalahnya, bagaimana caranya kita melewati buaya-buaya itu,” ucapku, sembari kembali melemparkan pandangan ke arah beberapa ekor buaya besar yang berenang di atas kepala kami.

“Apa yang dimaksudkan itu, berada di daratan?”

“Mungkin,” jawabku singkat, setelah melirik ke arah Dekka, “Dekka, apa kau bisa membantu kami untuk menarik perhatian hewan tersebut?”

“Kau ingin menjadikanku sebagai umpan?”

“Kurang lebih seperti itu, jika kau tidak mempermasalahkannya,” ungkapku kembali padanya.

“Baiklah, lagi pun … Apa yang bisa aku lakukan di daratan. Aku akan menarik perhatian mereka, berenanglah cepat ke sana saat aku melakukannya,” tukas Dekka, dia mengangkat sebelah tangannya ke samping, hingga Hippocampus miliknya berenang mendekat.

“Dekka, terima kasih.”

Dia menoleh lalu tersenyum menatapku, “apa pun, asal dapat memuaskan rasa penasaranku,” ucapnya, sembari berenang menjauh dengan Hippocampus yang ia kendalikan.

“Aku menyukai makhluk sepertinya-”

“Karena mengingatkanmu kepada seseorang, kan, nii-chan?” tanyaku, memotong perkataannya.

“Kau benar sekali Adikku. Aku, akan memerintahkan yang lain agar bersiap-siap,” tukas Haruki, seraya berenang mendekati mereka yang menunggu sedikit kejauhan dari tempat kami bersembunyi.

Aku kembali menatap Dekka yang berenang semakin mendekati kmpulan buaya-buaya tadi. Dekka mengangkat sebelah tangannya, hingga sebuah pusaran air berbentuk bola kecil, berada di tangannya. Selama dia melakukannya, selama itu pula … Bola air yang dimaksudkan, kian membesar.

Dekka, melemparkan bola air tadi ke arah salah satu buaya. Hingga satu per satu buaya yang ada, berenang menyelam … Lama menjatuhkan tatapan kepadanya. Lagi-laki, Dekka memukul buaya yang lain, menggunakan bola air yang ia buat. Sebelum akhirnya, dia membawa Hippocampus miliknya itu berenang … Menghindari kejaran para buaya yang ingin menangkapnya.

Aku menoleh ke arah Haruki, sambil kuusap leher Kuro saat Haruki sendiri mengangguk membalas tatapan mataku. Kami berenang cepat, mendekati permukaan … Sebelum akhirnya, kembali tertegun oleh kumpulan buaya-buaya lainnya yang tengah berjemur di daratan.

“Di sini justru lebih banyak, dibanding buaya yang dipancing Dekka,” gumam Haruki dengan tetap mengarahkan pandangan ke arah pulau dengan banyaknya buaya itu.

“Lalu apa yang harus kita lakukan? Membagi dua kelompok, untuk memancing mereka?” tukas Izumi yang turut menimpali.

“Sachi mengatakan, ada sesuatu di sana. Tentu saja, kita harus melakukan apa pun untuk mendapatkannya,” ungkap Haruki yang kali ini membuang pandangannya kepadaku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang