Chapter DCCXXX

1.7K 364 10
                                    

Aku menghela napas dengan mengangkat kepala, menatapi rerimbunan daun di cabang-cabang pohon yang tertiup angin. “Bukan hanya tubuhmu, tapi sifatmu juga semakin dewasa sekarang. Aku sangatlah terharu seakan anak yang telah aku rawat sudah tumbuh dewasa,” ungkapku sambil mengangkat tangan mengacak rambutnya.

“Nee-chan, lihatlah ke sana! Siapa anak kecil yang digendong Bibi? Apa itu Huri?” tukas Eneas, dengan wajah yang tertuju ke arah kanan kami.

Mataku itu, beralih mengikuti tatapannya yang terjatuh kepada Bibi. Alisku dengan cepat mengernyit, sesaat sosok anak perempuan yang berada di gendongannya itu, bergerak menyembunyikan wajahnya ketika mata kami saling berpadu. “Bibi, apa kau mengajak Huri?” tanyaku sambil berjalan ke arahnya yang kian mendekat.

“Dia baru saja sembuh, bagaimana jika dia sakit lagi karena ingin bertemu Ayah dan Ibunya? Lagi pun, jika wajahnya tertutup jubah ini, tidak akan ada yang bisa mengenalinya.”

“Aku akan mengatakan kepada Ayah dan Ibumu, bahwa dia anak temanku,” sambung Bibi, dengan menarik penutup jubah kecil yang Huri kenakan, hingga wajahnya tertutup sepenuhnya oleh jubah hitam tadi.

“Tapi Bibi-”

“Aku melakukannya karenamu. Jika kau meninggalkannya dalam keadaan seperti ini … Kau pasti tidak akan berhenti mengkhawatirkannya. Bukankah lebih baik kalau kau bisa mengawasinya lebih dekat?” sahut Bibi menyergah ucapanku.

Aku mengusap wajahku sendiri, dengan helaan napas berat yang turut keluar, “dari mana kau mendapatkan jubah ini? Astaga, aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi,” ungkapku, sambil merapikan penutup jubah yang menutupi wajah Putriku itu.

“Huri, saat di sana, dengarkan baik-baik perkataan Nenek! Ini semua karena Ayah, Ibu dan yang lainnya … Tidak ingin terjadi apa pun pada kalian. Apa kau mengerti?” Aku sedikit menghela kembali napas disaat dia mengangguk pelan setelah ucapanku terhenti.

“Baiklah, karena semua urusan telah selesai. Eneas, menyingkirlah sedikit dari pohon tersebut!” ucap Bibi sambil berjalan melewati dengan membawa Huri di gendongannya.

Bibi berdiri di depan pohon, sebelah tangannya terangkat ke depan setelah Eneas mengikuti perintahnya. Aku berjalan mendekat, setelah batang pohon yang ada di hadapan kami itu terbelah … Membuka sebuah jalan yang harus kami lewati. Bibi berjalan, lalu menghilang dari pandangan sesaat dia memasuki belahan di batang pohon tersebut, “aku harap ini semua akan baik-baik saja,” gumamku yang ikut berjalan menyusul di belakang Bibi.

Kami kembali, di sebuah pohon yang menjadi tempatku berbicara terakhir kali dengan Bibi. Aku berbalik, mendekati Eneas yang baru saja keluar dari batang pohon yang sama, “Eneas, temui Ayah dan juga Ibu. Katakan kepada mereka, kau sudah kembali dari melakukan tugas yang diperintahkan Haru-nii, dan jika Ayah bertanya tugas apa itu … Katakan saja, kau membantunya mempersiapkan pernikahan.”

“Jika kau berjalan lurus ke arah Barat, kau akan bertemu dengan Tenda yang mereka tempati. Cepatlah! Mereka mengkhawatirkanmu tadi,” sambungku berbisik kepada Eneas, sambil jari telujuk tangan kananku terangkat tanpa sadar ke arah yang dimaksud.

“Baiklah. Aku akan pergi menemui mereka,” ucapnya, yang baru mulai melangkah setelah kepalaku mengangguk kepadanya.

“Ayo kita pergi, Huri! Kita akan bertemu dengan Pamanmu yang akan segera menikah.”

Mataku segera berbalik ke arah Bibi yang telah membawa Huri berjalan menjauh, “Bibi! Jangan melakukan se-”

“Aku tahu. Aku tahu, Sachi. Kau tenang saja, aku hanya ingin mengajaknya bersenang-senang,” tuturnya yang semakin menjauh saja dari pandangan.

Aku menarik napas lalu mengembuskannya dengan kuat, sambil menggerakan kedua kakiku menyusul mereka berdua. Bibi terus saja berjalan, membawa Huri ke tengah kerumunan penduduk suku Azayaka yang tengah melakukan santap siang bersama. Di tengah-tengah kerumunan itu, dapat kulihat kedua kakakku dan juga Zeki yang sedang berbincang-bincang dengan kedua Paman dan Kakek.

Zeki beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan mendekat, sesaat matanya itu tak sengaja jatuh menatapku. “Dari mana kau? Aku berkeliling mencari keberadaanmu … Apa kau harus selalu menghilang untuk menyelesaikan masalah?”

Aku dengan cepat menarik lenganku dari genggamannya, “apa yang kau maksudkan? Aku pergi hanya untuk memastikan kondisi anak-anakku. Huri jatuh sakit, dan apa kau pikir aku akan cepat kembali sebelum merawatnya terlebih dahulu!” bisikku, yang membuat kedua matanya sedikit membelalak terkejut.

“Huri sakit? Dan kau ada di sini?”

“Kau! Kau sangatlah menjengkelkan, Zeki Bechir!” tuturku dengan menyentuh dadanya menggunakan jari telunjukku, “kalian sendiri yang memintaku untuk menyembunyikan keberadaan mereka. Apa kau lupa? Di mata kedua orangtuaku, kita tidak memiliki anak … Alasan apa yang harus aku berikan pada mereka jika aku pergi dan tinggal untuk merawat Huri? Apa kau pikir, aku tidak merasa bersalah karena meninggalkannya?”

“Zeki! Apa yang kau,” tukasku berhenti, sambil tanganku berusaha untuk melepaskan cengkeraman tangannya yang menarikku.

“Putriku sekarang sedang sakit, bagaimana mungkin aku bisa bersikap tenang di sini. Jika kau pergi denganku, tidak akan ada yang mencurigaimu,” ungkapnya yang berbalik setelah menghentikan langkah.

Aku menghela napas sambil mengusap wajah menggunakan sebelah tangan, “tidak perlu melakukannya. Aku dan Bibi membawanya ke sini,” sahutku sambil menunjuk ke arah Bibi yang tengah duduk memangku Huri di depan barisan makanan, “dia memakai jubah, jadi tidak akan ada yang bisa mengenalinya. Bersikaplah seperti tidak terjadi apa pun … Aku akan melaksanakan kewajibanku sebagai seorang Ibu, Istri dan juga Adik dengan baik.”

“Maafkan aku,” sahutnya, diikuti genggaman tangannya padaku yang sedikit merenggang, “kau tahu, ini juga berat untukku. Seumur hidup, aku diperlakukan seperti seorang anak yang tidak pernah ada oleh Ayahku … Dan hal yang sama, justru aku lakukan pada anak-anakku.”

“Bagaimana denganku?” ucapku dengan suara yang sedikit gemetar, “aku pun tahu dan aku juga merasakan, seperti apa sakitnya tidak diharapkan oleh orangtua sendiri. Aku ingin, anak-anak kita tidak merasakan apa yang pernah kita rasakan. Apa kau lupa? Kita dahulu mengharapkan hal tersebut.”

Zeki membuang pandangannya ke samping, lalu mengangkat dan melambaikan tangannya ke arah Huri yang menatap kami dari kejauhan. Huri yang duduk di pangkuan Bibi, segera beranjak setelah Bibi menganggukan kepalanya. Zeki berjongkok, menunggu kedatangan Putrinya yang berlari mendekat dengan jubah hitam yang membalut tubuhnya.

“Ayah dengar dari Ibumu, bahwa kau sakit. Mendekatlah! Ayah mengkhawatirkanmu,” ungkapnya kepada Huri yang tiba-tiba menghentikan langkahnya beberapa kaki dari kami.

“Aku baik-baik saja, Kakak. Aku sudah sembuh.”

Aku berjalan lalu berjongkok di depannya, setelah sebelumnya Zeki menoleh ke arahku, “kakak?” tanyaku sambil meraih dan menggenggam tangannya.

“Nenek yang memintaku untuk memanggil Ayah dan Ibu seperti itu. Nenek akan membawaku pulang, kalau aku tidak melakukannya-”

“Nenek berkata, Ayah dan Ibu akan ditangkap orang-orang jahat kalau aku tidak melakukannya.”

Bibi yang sebelumnya menatap kami, segera membuang pandangannya setelah mataku itu terjatuh ke arahnya saat mendengar apa yang Huri katakan. “Huri!” tutur Zeki, disaat dia sudah berjongkok di sampingku, “maafkan Ayah, kau tidak perlu melakukannya, Putriku. Mendengarmu memanggilku, Kakak. Itu benar-benar membuatku sedih-”

Kata-kata Zeki berhenti, ketika dia sudah kembali beranjak berdiri, “apa ada sesuatu yang ingin kau makan? Katakan saja! Ayah akan mengambilkannya untukmu,” lanjut Zeki, sambil meraih Huri lalu membawanya pergi dengan menggendongnya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang