“Huri? Nama yang indah,” tukasku, Huri tersenyum saat aku menyentuh pipinya menggunakan jari telunjukku.
Lirikanku berpindah ke Zeki yang telah beranjak berdiri. Dia berjalan mendekati lemari kayu lalu membukanya, “kau bisa sakit, jika tidak mengenakan pakaian sama sekali seperti itu,” ucapnya, yang kembali menutup pintu lemari lalu berbalik melangkah mendekat dengan beberapa lipatan kain di tangannya.
“Aku melepaskan pakaianku untuk menyelimuti tubuhnya, tubuhku masih sangat lemah untuk digerakkan,” ungkapku, dengan melirik ke arahnya yang telah duduk di sampingku.
“Aku akan mengenakannya sendiri. Hanya bantu aku saja untuk menggendongnya,” sambungku, aku memandangnya dengan sesekali melirik ke arah Huri yang aku gendong.
“Tapi-”
“Mulailah belajar untuk menggendong anakmu sendiri. Mendekatlah ke sebelah kananku,” tukasku memotong perkataannya, “Ayah, apa Ayah tidak ingin menggendongku?” sambungku, senyumku semakin merekah saat dia sendiri pun mulai beranjak lalu duduk seperti yang aku pinta.
Aku menyerahkan dengan perlahan Huri di kedua tangannya yang telah ada di dekatku. “Jangan tegang seperti itu! Dia anakmu, bukan sesuatu yang berbahaya!”
“Justru karena dia anakku, aku tidak bisa memperlakukannya sembarangan!” balasnya dengan perlahan menggerakkan tubuhnya duduk di sampingku.
“Apa seperti ini sudah benar? Aku tidak ingin membuatnya tidak nyaman saat aku gendong,” tukasnya menatapku.
“Aku bertanya, kenapa kau justru tertawa?!”
Aku menutup mulutku dengan membuang pandangan darinya, “pinggangku,” ucapku, tawaku berhenti diikuti tanganku yang mengusap pinggang.
“Dia akan menangis kalau tidak nyaman. Lagi pun, dibanding menatapku … Tatap saja dia, dan ajak dia berbicara,” sahutku sambil meraih gaun tidur berwarna cokelat yang tertumpuk di lipatan kain yang ia bawa.
“Apa yang harus aku katakan?”
Aku mencengkeram kuat gaun yang ada di tanganku itu, helaan napas turut aku keluarkan sebelum aku berbalik menatapnya, “aku sekarang sangatlah lapar, wahai suamiku. Jangan sampai, kesabaranku yang sudah menipis ini habis-”
“Ibumu benar-benar pemarah. Jika dia nanti memarahimu, datang saja ke Ayah,” ucapnya, dia memotong perkataanku sambil menyandarkan dirinya ke dinding.
“Cepat kenakan pakaianmu! Aku, akan mencarikan makanan untukmu selepas ini,” sambungnya yang tersenyum membalas tatapanku padanya.
Aku mengenakan gaun yang aku genggam itu tanpa menjawab perkataannya, “aku ingin membersihkan tubuhku,” ucapku, ketika tanganku menurunkan gaun tersebut hingga menyentuh pangkal pahaku.
“Apa aku, bisa mendapatkan air hangat? Aku pun, belum sempat membersihkan tubuhnya dengan benar,” sambungku, Zeki menganggukkan kepalanya saat aku mengalihkan pandangan kepadanya.
Dia beranjak dengan memberikan Huri kepadaku. Dia sedikit mengangkat kedua kakiku, lalu menarik kain basah yang menjadi alas tempat tidur kami. Zeki berjalan membawa kain kotor tersebut ke dekat pintu rumah, sebelum dia meraih kain yang ia ambil dari dalam lemari … Lalu membentang kain tersebut menjadi alas tidur. “Apa ada yang ingin kau makan?” tanyanya setelah selesai merapikan lantai yang biasa kami tiduri.
“Aku hanya ingin memakan apa pun yang membuatku kenyang, mungkin dengan nasi yang banyak,” ucapku dengan masih menatapnya.
“Baiklah. Beristirahatlah terlebih dahulu, aku akan menyiapkan semuanya,” tukasnya sambil mencium pipiku dan pipi Huri sebelum akhirnya ia beranjak keluar sambil membawa kain-kain kotor di tangannya.
“Huri, dunia ini sangatlah keji untuk para perempuan seperti kita. Namun, itu bukan berarti Ibu akan membiarkan mereka menyentuhmu. Ibu bersumpah akan melindungimu, jadi … Saat kau dewasa, jangan ragu untuk menyuarakan pendapatmu, karena dunia yang sekarang kami perjuangkan … Adalah dunia, di mana kau kelak akan bebas menjadi dirimu sendiri,” ucapku, kepalaku tertunduk menatapinya yang masih lelap tertidur.
_____________.
“Ini lepas dengan sendirinya,” tukasku sambil mengangkat tali pusar yang telah terputus dari Huri.
Sekarang, sudah beberapa hari sejak aku melahirkan. Aku sengaja untuk tidak memotong tali pusarnya, karena aku sendiri hanya ingin menunggu Tabib melakukannya. Namun, Lux yang pergi untuk menjemput mereka pun belum pulang sampai sekarang. Aku tidak menyalahkan mereka, karena beberapa hari di sini saja … Mungkin hanya setengah hari di dunia manusia. Mungkin.
“Apa yang harus kita lakukan dengan ini?” tanyaku sambil melirik ke arah Zeki yang duduk di sampingku.
“Aku akan menguburkannya,” jawab Zeki, dia meraih lalu memasukkan tali pusar yang ada di tanganku ke dalam kain yang membungkus plasenta milik Huri.
“Menguburnya?”
“Di Kerajaan kami memiliki tradisi, untuk menguburkan daging yang lahir bersama seorang anak. Di mana kau menguburkannya … Itu seperti harapan dari orangtuanya, akan menjadi seperti apa anaknya kelak.”
“Lalu, di mana kau akan menguburkannya?”
“Mungkin, di bawah pohon yang ada di sekitar sini. Aku berharap, dia akan menyejukkan orang-orang di sekitarnya seperti pohon tersebut,” timpal Zeki sambil beranjak dengan membawa bungkusan kain berisi plasenta itu keluar.
Aku beranjak berdiri dengan menggendong Huri setelah membedung dirinya. Lukaku sendiri telah sembuh sehari setelah aku melahirkan bahkan perutku sendiri kembali seperti sebelum aku mengandung, jadinya … Aku bisa dengan bebas berjalan sekarang seperti tak pernah hamil sebelumnya.
Huri sedikit menggeliat di gendonganku, saat sinar matahari menjatuhi kami. Aku berhenti sejenak dengan mencium pipinya sebelum melanjutkan kembali langkahku. Kedua kakiku terus melangkah, hingga berhenti di hadapan Kou yang terlelap di hamparan salju yang berseberangan dengan kami. “Kou,” tukasku memanggilnya, dia membuka perlahan kedua matanya itu melirik ke arahku.
“Terima kasih, telah membantuku selama ini,” ucapku lagi sambil mengangkat telapak tanganku ke arah wilayah bersalju yang ia tempati.
Kou beranjak lalu berjalan dengan mendekatkan kepalanya menyentuh telapak tanganku, “apa pun untukmu, My Lord,” tukasnya, matanya itu terpejam saat suaranya itu mengiang di kepalaku.
Aku mengusap kepalanya, “namanya Huri. Ini pertama kalinya kalian bertemu,” ucapku yang kembali menarik tanganku itu dari kepala Kou.
“Aku bersumpah, akan turut menjaganya untukmu, My Lord,” tukas Kou, bibirku tersenyum saat kedua matanya itu beberapa kali berkedip pelan padaku.
“Sachi nee-chan!”
Tubuhku berbalik saat suara Eneas tiba-tiba masuk ke dalam telinga, “ada apa, Eneas?” tanyaku, sambil melangkahkan kaki ke arahnya yang berlari mendekat.
“Aku,” ucapnya terhenti mengatur napas dengan tubuhnya yang membungkuk ke arahku, “aku, telah memasak makanan untukmu. Nee-chan, bisa menyantapnya selagi hangat,” sambung Eneas sambil mengangkat kembali pandangannya padaku.
“Aku baru akan memasak untuk kalian. Kau, tidak perlu memaksakan diri, Eneas,” ucapku yang dijawab gelengan kepala olehnya.
“Aku justru senang dapat membantumu nee-chan.”
“Huri, keponakan Paman yang cantik. Kau semakin cantik dari hari ke hari,” sambungnya, Huri menggenggam jari telunjuk Eneas saat Eneas mendekatkan tangannya.
“Nee-chan, bolehkah aku menggendongnya?”
“Apa kau yakin?”
Eneas menganggukkan kepalanya menatapku, “aku sudah sering menggendong Hikaru dulu. Kumohon nee-chan, dia menggemaskan sekali.”
Aku menghela napas saat dia tak berkedip menatapku, “baiklah,” sahutku sambil bergerak semakin mendekatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasíaKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...