Chapter DCCII

2K 431 17
                                    

Kepalaku menggeleng dengan sebelah tangan yang terangkat ke arah Zeki, “itu bukan musuh. Lihatlah! Uki bahkan tidak melakukan apa pun, itu berarti yang mendekat bukanlah musuh,” ucapku kepada Zeki, sambil berharap agar dia kembali duduk seperti sebelumnya.

Wajahku bergerak hingga pandangan mataku itu terjatuh ke permukaan air laut yang ada di samping perahu. Bibirku tersenyum diikuti tanganku yang bergerak masuk ke dalam air, “kau datang, Kuro?” tukasku, sambil melirik ke arah ujung ekornya yang keluar sedikit dari dalam permukaan air.

Telapak tanganku bergerak dengan sangat perlahan, mengusap permukaan kasar yang sebelumnya menyentuh tanganku itu. “Dia mungkin merasakan keberadaanmu. Dia nekat sekali sampai datang ke sini hanya seorang diri,” sahut Ebe yang membuat perhatianku beralih kepadanya.

“Kau benar,” jawabku singkat dengan tertunduk sambil menarik tanganku dari dalam air.

“Ada apa? Apa terjadi sesuatu?”

Lirikan mataku bergerak, ke arah Haruki yang baru saja turun dari atas kapal dengan tangannya yang masih memegang tali yang menjuntai di sampingnya. “Kuro, datang menemuiku. Tidak terjadi apa pun selain hal itu, nii-chan,” ungkapku kepadanya yang enggan memalingkan tatapannya padaku.

Haruki berbalik dengan kedua tangannya terangkat ke atas, meraih Amanda yang bergerak dengan sangat perlahan menuruni tali yang sebelumnya Haruki pegang. Setelah Amanda duduk dengan tenang di atas perahu, Haruki baru memanjat kembali mendekati Eneas yang masih berada di atas Kapal dengan Miyu yang ia gendong.

“Ibu, apa Kuda ini sedang berenang di dalam air?”

Panggilan dari Huri, mau tak mau membuatku kembali menoleh ke arahnya. Bibirnya tersenyum lebar diikuti suara tawa kecil darinya, tatkala tangannya itu mengusap kepala Kuro yang entah kenapa mencuat dari dalam air. “Kuro, masuk lagi ke dalam air!” Aku sedikit meninggikan suara, hingga tangan Huri berhenti bergerak dan Kuro kembali menenggelamkan tubuhnya.

Aku menghela napas, sesaat mataku itu bertatapan secara langsung dengan mata Zeki. “Huri,” ucapku sambil meraih tangannya yang masih tak bergerak, “dia bernama Kuro, salah satu hewan milik Ibu. Dia, akan mati kalau tidak terkena air, karena itu … Ibu memintanya untuk kembali masuk ke dalam air. Maafkan Ibu. Ibu, tidak bermaksud untuk memarahimu,” sambungku sambil mengusap pelan kepalanya yang tertunduk.

Huri beranjak berdiri, lalu berbalik dan duduk di pangkuanku, “Ibu, jangan dekat-dekat dengan Kou yang berwarna hitam. Huri melihatnya memakan Ibu.”

Dengan segera, kulempar lagi pandanganku kepada Zeki yang sama terkejutnya mendengar apa yang dikatakan Huri. Aku kembali menunduk, lalu memeluk erat tubuh kecilnya, ketika isak tangis darinya menyentuh telinga. “Apa Huri bermimpi buruk?” tanyaku pelan, sambil kugigit kuat bibirku tatkala dia membalas ucapanku itu dengan anggukan darinya.

“Itu hanya mimpi, Huri. Semuanya hanya mimpi … Kou berwarna putih, bukan? Dan juga, ada Ayah yang akan menjaga kita. Tidak akan ada terjadi apa pun kepada Ibu, Huri ataupun Ihsan. Apa kau masih ingin minum? Ibu lupa jika kau ingin minum sebelumnya,” ucapku lagi seraya menjulurkan tangan kananku kepada Zeki.

Zeki menunduk sambil merogoh ke dalam tas yang ada di samping Ihsan. Dia memberikan sebuah kantung air yang ia keluarkan dari dalam tas kepada Ihsan, lalu tangannya menggenggam kuat tangan Ihsan yang beranjak dari pangkuannya dan berjalan mendekati kami berdua. “Terima kasih, Putraku,” ungkapku sembari meraih tangannya hingga dia sendiri duduk di depanku.

“Baiklah, pegangan yang kuat! Semuanya sudah berada di perahu masing-masing. Kita, akan segera berangkat!” sahut Zeki dengan sebuah dayung di tangannya.

Aku meraih kantung air yang Ihsan berikan, membuka penutup dari kantung air tersebut lalu mendekatkannya kepada Huri yang masih menenggelamkan wajahnya di dadaku. “Huri, minum dulu airnya! Soalnya, setelah ini, kita akan mengunjungi sebuah pulau yang sangat indah. Pulau, yang semua orangnya hanyalah perempuan-”

“Perempuan? Seperti Huri, Ibu, Bibi dan juga Miyu?” Huri akhirnya kembali membuka mulutnya lagi dengan pandangan matanya yang tertuju kepadaku.

Kepalaku mengangguk lalu mengecup keningnya, “kita akan berkunjung ke sana, menemui Ratu Alelah dan Bibi Callia. Jadi, karena tempatnya sangat luas … Kau tidak akan bisa bermain di sana, kalau Putri Ibu ini sampai kehausan,” sahutku diikuti keningku yang menyentuh keningnya.

Dia tertawa lalu mendekatkan wajahnya ke kantung kulit berisi air yang aku pegang. Bibirku masih terkatup sangat rapat, dengan pandangan yang terjatuh ke arah Huri yang meneguk air di dalam kantung itu. “Ayah, saat kita pulang. Apa aku bisa mendapatkan banyak sekali gaun yang cantik?” tukas Huri, sesaat dia melepaskan bibirnya dari kantung air.

Dia berbalik, dengan punggungnya yang bersandar kepadaku. “Dan juga Ayah, apa di Istana kita, punya benda-benda berkilau, seperti yang dimiliki Bibi Julissa?” Dia kembali melontarkan pertanyaan dengan kedua tangannya yang terangkat ke atas.

“Tentu. Bagaimana mungkin Ayah tidak memilikinya, sedang Ibumu sendiri sangatlah tergila-gila dengan benda tersebut.”

Zeki terus saja mendayung, dengan lirikan darinya yang enggan untuk berpindah dariku, “setelah kalian dewasa, Yadgar, akan menjadi milik kalian. Tapi sebelum itu, kalian berdua haruslah berjanji kepada Ayah,” sambung Zeki, hatiku berubah sedikit gusar tatkala nada bicaranya tiba-tiba berubah.

“Orangtua, berkewajiban melindungi anak-anak mereka. Ayah dan Ibu, sudah pasti akan melakukan apa pun agar kalian tidak terluka,” Zeki menghentikan ucapannya dengan matanya yang terlihat sangat lama, memandangi Ihsan dan juga Huri yang duduk di depannya, “berjanjilah kepada Ayah … Kalian, akan tumbuh kuat dengan cara kalian masing-masing. Suatu saat, kalian akan dihadapi pilihan, menyelamatkan diri kalian sendiri atau menyelamatkan kami berdua.”

“Bersumpahlah kepada Ayah, agar kalian memilih untuk menyelamatkan diri kalian sendiri. Apa pun yang terjadi, kalian harus saling melindungi-”

“Zeki?”

Kata-katanya berhenti dengan mata yang berpaling kepadaku, “tidak ada gunanya untuk menyembunyikan semua hal ini dari mereka. Kita tumbuh kuat seperti sekarang, karena kita sudah memahami bagaimana terkutuknya dunia ini sejak kecil,” ucapnya sambil terus mendayung perahu yang kami naiki.

“Huri, Kou yang berwarna hitam, memang ada,” kata singkat darinya membuat jantungku seakan berhenti saat mendengarnya.

“Ze-” Dia mengangkat sebelah tangannya, yang membuatku harus mengatup rapat bibirku sendiri.

“Kou, yang berwarna hitam tersebut, adalah Naga milik Kaisar. Jika Naga tersebut menemukan Ibu kalian … Ibu kalian, pasti akan langsung dimakan olehnya.”

“Ibu?”

Aku terdiam sambil menggigit kuat bibirku, ketika mereka berdua dengan cepat menoleh menatapku. “Ibu, apa yang Ayah katakan itu benar? Apa Ibu benar akan dimakan oleh Kou yang berwarna hitam itu? Huri-” kata-kata darinya berhenti, diganti oleh tangisan ketika dia beranjak lalu memeluk tubuhku.

Helaan napasku keluar sambil tangan kiriku terangkat, ke arah Ihsan yang menatapku dengan bibirnya yang terlihat gemetar menahan tangis, “kemarilah, Ihsan! Jangan dengarkan perkataan Ayahmu,” ucapku, kuusap pelan lalu kucium kepalanya saat dia sendiri beranjak dengan turut memelukku.

“Kau tidak harus menceritakan hal tersebut. Sebagai orangtua, aku akan lebih memilih menelan semua kerisauan itu sendiri, dibanding harus menyeret mereka untuk merasakan penderitaan yang sama-”

“Aku pun, sedang mencoba untuk melakukan hal tersebut. Apa kau, tidak memahaminya?” ungkapnya memotong perkataanku, Zeki membuang wajahnya ke samping dengan tangannya yang tak berhenti mendayung perahu kami.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang