Chapter DCCLXXXII

1.5K 409 68
                                    

Shin merayap pergi meninggalkan kami. “Kita masih harus melanjutkan langkah!” celetuk Kei yang membuatku berpaling.

Kei mulai kembali melangkah, dia melompat … Menjatuhkan pijakan pada pusaran kecil angin, lalu meloncat lagi ke atap salah satu rumah penduduk. “Hawa sihir tidak mengenakkan yang ada di sini, sudah mulai melemah,” gumamku pelan disaat Kei sendiri masih diam tak bergerak.

“Itu karena Uki telah memurnikan banyak sekali kutukan yang ada di sini. Aku tidak menyangka, jika sihir miliknya akan kuat dan sebanyak ini. Dia mungkin masih menyembunyikan kekuatannya yang sebenarnya … Burung itu, selama ini aku selalu mengira bahwa dia hanya hewan agung yang banyak bicara,” tukas Kei diikuti sihirnya yang meningkat drastis.

Kei merenggangkan sedikit tubuhnya ke belakang, “aku menemukan mereka semua. Jangan berharap bisa bersembunyi dariku,” tutur Kei, yang melompat tinggi ke atap rumah lainnya.

Aku menarik napas dalam, disaat rasa menggigil telah menyelimuti tubuh. Hawa dingin yang Kou pancarkan, hujan yang Uki buat dan sekarang … Angin semilir milik Kei yang terasa masuk ke setiap pori-pori kulitku.

Dibalik nyanyian hujan yang menerpa. Samar-samar, terdengar teriakan penuh ketakutan dari kejauhan. “Kei, berhenti!” pintaku kepadanya.

Wajahku menoleh, ke arah segerombolan Kesatria yang tengah berdiri melindungi beberapa orang di belakangnya. Para Kesatria tersebut, terlihat sedang melindungi mereka semua yang ada di sana dari Manticore-manticore milikku. “Jangan serang mereka! Mereka hewan-hewan milik Ratu!” Aku seketika terhenyak mendengar teriakan yang entah dari mana.

Kepalaku bergerak, mencoba untuk mencari … Arah dari suara laki-laki tadi. “Jangan arahkan pedang kalian pada mereka! Mereka milik Ratu Kita!” teriak seorang laki-laki yang berlari tergopoh mendekati kerumunan itu.

“Bawa aku ke sana, Kei!” perintahku dengan tak berhenti memperhatikan mereka.

Kei berbelok, lalu meloncat turun dan berjalan mendekati mereka semua. Dia membawaku berhenti tepat di tengah-tengah pergumulan. “Ra-Ratu?” tutur laki-laki yang sebelumnya berlari, setelah dia sudah berhenti di dekat kerumunan Kesatria.

Dia segera berlutut dengan kepala yang tertunduk sesaat kedua mata kami saling bertemu. “Hormat untukmu, Yang Mulia Ratu!” cetusnya yang dengan cepat menarik perhatian Kesatria lainnya.

Kesatria yang terheran-heran dengan apa yang terjadi, segera ikut berlutut dikala auman yang dilakukan Kei memecah hujan di sekitar kami. Para penduduk di belakang mereka, turut berlutut ketika Kei membawaku berjalan mendekati mereka semua. “Apa Yadgar, memang selemah ini?” ucapku menggunakan Bahasa Yadgar, mereka masih tertunduk tanpa berani menatapku.

“Yadgar diselimuti kutukan, dan kalian sama sekali tidak menyadarinya?!” Suaraku meninggi dari sebelumnya, “apanya yang kuat! Kalau kalian sendiri saja sudah tak sadar telah dikalahkan oleh Kekaisaran!”

“Pergi dan berpencarlah! Tarik semua teman, keluarga, penduduk atau Kesatria Yadgar yang bersembunyi di mana pun! Seret mereka semua hingga hujan yang turun ini dapat membasahi tubuh mereka!” perintahku dengan tetap meninggikan suara, “karena hanya dengan itu, aku bisa menyelamatkan kalian semua,” tuturku yang kali ini menurunkan nada bicara.

“Mereka yang ada di belakangku, akan melindungi kalian dari serangan hewan milik Kaisar. Jangan takut! Kalian keluargaku! Dan sudah menjadi tugas sebuah keluarga untuk saling melindungi. Pergilah! Bantu aku untuk melindungi rumah kita.”

Seorang Kesatria beranjak, "tidakkah kalian mendengar apa yang Ratu perintahkan? Segeralah berdiri dan menyelamatkan mereka semua!” seruan dari Kesatria tersebut membuat yang lainnya ikut beranjak. Para Kesatria yang berdiri di depanku itu membungkuk, lalu berbalik meninggalkan kami dengan penduduk yang mengikuti.

“Kalian para Manticore, pergilah dan lindungi rakyat-rakyatku!” perintahku tanpa menoleh pada mereka.

Aku masih terdiam, dikala Manticore-manticore yang ada di belakangku itu berlari lalu memencarkan diri menyusul mereka. “Jangan lengah! Aku merasakan sesuatu sedang mendekat,” ungkap Kei setelah mereka semua menghilang dari pandangan kami.

Kei berbelok ke kiri lalu menggeram dengan sedikit menurunkan tubuhnya, persis seperti hewan yang tengah bersiap untuk menyerang. Aku tertegun, merasakan angin kuat yang terbang melewati. Angin tersebut terbang dari arah belakang … Dan saking cepatnya, arah hujan yang jatuh turut bergerak mengikutinya.

Secara tiba-tiba, Kei berlari kencang ke depan. Jantungku berdetak, mengikuti perasaan terkejut yang mengerubuti, dikala … Suara benda terjatuh, terdengar dengan sangat keras. Aku segera menoleh, menjatuhkan tatapan pada lubang besar yang ada di jalan yang baru saja kami lewati. Darah di tubuhku serasa dipacu kencang, tatkala teriakan kuat laki-laki memekakkan telinga.

Tangan berukuran raksasa muncul dari lubang tersebut, diikuti sebuah bola mata besar yang menatap tajam ke arahku. Sosok laki-laki tersebut terlihat kian membesar … Ketika dia sudah berhasil memanjat lubang itu.

Jantungku tak berhenti untuk berdegup kencang, sesaat raksasa itu tiba-tiba berlari mengejar kami. Tak ingin kalah dari raksasa tersebut, Kei turut memacu kakinya … Membawaku berlari meninggalkan makhluk itu. “Aku hanya ditugaskan untuk mengantarmu. Sedang, yang harus menghancurkan musuh, penganggu tugasku adalah-”

Belum sempat Kei menghentikan ucapannya … Dari sela-sela rumah penduduk yang kami lewati. Muncul segerombolan tikus-tikus berukuran setelapak tangan manusia, yang berlari mendekati raksasa tersebut. Bukan hanya tikus … Puluhan kucing bahkan anjing, turut menyerang raksasa tadi.

Aku segera membuang pandangan ke depan. Meninggalkan bunyi langkah kaki dari Sang Raksasa yang semakin menghilang. Kugigit bibirku, sambil mempererat cengkeraman tangan di bulu Kei disaat … Gerbang tinggi berhias emas, Gerbang Istana Yadgar, berada di depan mata kami.

Beberapa angin yang bergulung-gulung menjadi bola di dekat kami. Melesat terbang ke arah tembok tinggi di hadapan kami lalu menghancurkannya. Kei melompat, melewati sisa-sisa tembok yang tingginya mungkin hanya sampai pinggang manusia dewasa. “Ada apa, Kei?” tanyaku kepadanya yang tiba-tiba berhenti.

“Apa kau bisa pergi ke sana sendirian, My Lord?” tukas Kei sambil membelokkan tubuhnya ke kanan, “aku akan menahan mereka semua di sini, agar tidak menganggumu,” sambungnya kembali berbicara.

“Dia bersama Leshy yang menghilang. Temukan Leshy tersebut, maka kau akan menemukannya!”

Aku menarik napas dalam lalu mengembuskannya kembali dengan kuat, disaat Kei benar-benar tak mengucapkan kata-kata apa pun lagi setelahnya. “Berhati-hatilah, Kei! Segera susul aku setelah kau menyelesaikan semua ini!” perintahku sembari bergerak turun dari punggungnya.

“Tentu. Kau pun, berhati-hatilah, My Lord!”

Kepalaku mengangguk sambil kakiku berjalan mundur menjauhinya. Tubuhku berbalik, lalu berlari cepat meninggalkannya. Kedua kakiku terus berlari dan terus berlari tanpa henti mendekati Istana. Sesekali aku akan berhenti, untuk memastikan letak keberadaan sihir lemah dari Leshy yang dimaksud.

Napasku yang mulai bergemuruh, semakin membuatku terasa sulit untuk bergerak, terlebih dengan gaun basah sebatas lutut yang aku kenakan. “Sachi! Sachi Bechir!” Tubuhku terpaku secara tiba-tiba mendengarkan suara laki-laki dari belakang yang memanggil namaku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang