Chapter DCCLXXXIV

1.5K 431 95
                                    

Aku berhenti melangkah, tepat di depan seorang laki-laki yang duduk dengan kepala tertunduk. Wajah dan tubuh laki-laki tersebut, dipenuhi luka bakar yang membuatku sulit untuk mengenalinya. “Apa pun yang ingin kau lakukan padaku, aku … Tidak akan pernah mengkhianatinya,” ungkapnya, ketika ujung jariku menyentuh pangkal telinganya.

“Zeki?” tuturku memanggilnya. Walau aku tidak bisa mengenalinya saat ini, tapi suaranya terasa begitu melekat padaku, “apa yang terjadi kepadamu? Apa yang mereka lakukan kepadamu?” sambungku dengan suara gemetar mengucapkannya.

Zeki masih terdiam, dia mengabaikan ucapanku seperti tidak mendengarkannya. Dia juga mengabaikan keberadaanku … Seperti aku, tidak berada di dekatnya. “Padahal dia dulu telah menolongmu, tapi apa yang kau lakukan sekarang justru mengkhianatinya. Apa kau pikir, dengan merebutku akan membuatnya menderita?” ucapnya sambil melemparkan pandangan kosong ke depan.

“Dia sudah memutuskan untuk meninggalkanku. Apa yang kau lakukan ini sia-sia … Apa kalian, tidak bisa langsung saja membunuhku?”

Aku terhenyak, bibirku terkatup saat mendengar apa yang ia ucapkan. “My Lord!” panggilan dari Leshy yang telah mengubah kembali wujudnya menjadi manusia itu, membuatku berpaling.

“Dia berkata, suamimu tidak bisa mendengar suaramu karena mereka membuat telinganya tidak bisa mendengar. Suamimu tidak bisa melihatmu karena mereka membuat matanya tidak bisa melihat … Maaf, My Lord, aku tidak bisa melindunginya,” ucap Leshy tersebut sambil membungkuk dengan menyodorkan cacing yang ada di telapak tangannya.

Air mataku mengalir, “ini bukan kesalahanmu. Terima kasih, karena tidak meninggalkannya, dan terima kasih, karena kau baik-baik saja,” ungkapku, kepada Leshy berwujud cacing tersebut.

Mataku menoleh lagi pada Zeki, yang masih termangu seperti sebelumnya. Lirikanku mulai berpaling, menatapi kedua kakinya yang dipenuhi luka membusuk. Aku berbalik lalu merangkul lehernya, kubenamkan wajahku ke pundaknya … Bau busuk yang menyelimuti tubuhnya, sudah tak kuhiraukan lagi.

“Maaf, maafkan aku,” tangisku sambil memeluk erat tubuhnya, “kalau aku tahu semuanya akan seperti ini … Aku tidak akan meninggalkanmu,” sambungku yang menangis kian kuat.

"Sachi, apa itu kau?” Kepalaku yang masih terbenam di pundaknya itu mengangguk, sesaat telapak tangannya menyentuh punggungku, “kau kembali? Apa kau … Sudah memaafkanku?”

Aku mengecup pipinya, disaat pelukannya padaku menguat disertai tangisan yang ia keluarkan. Selama bersamanya … Dapat dihitung menggunakan jari, sudah berapa kali dia menangis, dan semua hal itu … Hanya menyangkut masalah keluarga kecil kami. “Semuanya baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir,”  jawabku sambil menepuk pelan punggungnya beberapa kali.

Aku beranjak mundur dengan melepaskan pelukan pada Zeki, “apa kau, bisa membantuku untuk membawanya?” sambungku, seraya menoleh kepada Leshy yang berwujud manusia itu.

Dia mengangguk, lalu menunduk dengan memasukkan cacing di tangannya ke saku bajunya. Leshy tersebut berjongkok dan beranjak kembali sambil membawa Zeki ke rangkulannya. Hatiku sakit, terasa sangat sakit ketika mataku itu memandang Zeki yang bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya oleh banyaknya luka membusuk di sana. Aku menarik napas dalam, kucoba untuk mengendalikan diri agar tangisanku itu tak terdengar olehnya, “bawa dia ke hujan yang ada di luar!” pintaku sambil berjalan maju membantu Leshy itu merangkul Zeki.

Dengan sangat hati-hati, aku dan Leshy membawanya naik untuk menyusuri anak tangga di penjara bawah tanah. Langkah kaki kami terus berlanjut dan kadang-kadang berhenti, ketika suara bisik menahan sakit … Tak sengaja ia keluarkan. “Bertahanlah! Sedikit lagi,” pintaku walau dia tak mendengar apa yang kuucapkan.

Seketika, Zeki langsung menggigit kuat bibirnya tatkala hujan sudah membasahi tubuh kami. Aku menoleh pada si Leshy lalu mengangguk, “turunkan dia pelan-pelan. Dan bantu temanmu untuk memulihkan dirinya!” perintahku sembari bergerak duduk ke rerumputan.

Leshy tersebut berjongkok, menurunkan Zeki dengan pelan hingga kepalanya berada di pangkuanku. “Buka mulutmu, Zeki!” pintaku sesaat Leshy tadi telah pergi menjauh meninggalkan kami berdua.

Jari telunjukku menyentuh bibirnya. Bak mengerti apa yang kumaksudkan … Zeki melepaskan gigitan di bibirnya sendiri lalu membukanya. Perlahan, luka bakar yang memenuhi wajahnya menghilang, disapu air hujan yang jatuh.

Aku membungkuk, merangkulnya, “bertahanlah!” pintaku lagi padanya, sambil mengusapkan tangan ke wajahnya, dikala dia mengerang penuh rasa sakit. “Tidurlah! Beristirahatlah!” ucapku ketika Zeki menghening tak sadarkan diri sesaat asap hitam yang sangat pekat, menguap dari tubuhnya.

Kepalaku terangkat, menatapi Shin yang telah berada di depan kami. “Aku akan menjaganya, My Lord. Pergilah! Masih ada yang harus kau lakukan,” tuturnya membalas tatapanku.

Aku lagi-lagi mengangguk. Kuangkat pelan kepala Zeki, lalu membaringkannya kembali ke rumput sebelum aku beranjak, “Shin, tolong jaga dia!” tukasku seraya berlari meninggalkan mereka.

Kedua kakiku terus berlari … Berlari dan berlari, menuju sihir Uki yang kurasakan melemah seiring waktu. Aku segera berhenti dan bernapas lega, tatkala sosoknya terlihat di ujung sana. Uki menoleh ke arahku, “My Lord!” panggilnya, diikuti berangsur-angsur menghilangnya api di sekujur tubuhnya.

Aku melangkah tanpa sadar menjawab panggilannya. Seketika aku terkesiap, setelah menemukan sosok hewan yang hangus terbakar di kakinya. Hewan berkaki empat yang bersayap itu … Atau bisa aku katakan, hewan milik Kaisar yang sempat menyerangku itu. Terbaring kaku, tak bergerak dengan tubuh yang hangus di bawah pijakan Uki.

Tubuhku segera berbelok ke belakang, ketika sihir milik Kei ikut kurasakan mendekat. Dia berjalan, seperti tanpa beban dengan seonggok tubuh kecil di mulutnya. Darah yang mengalir dari tubuh kecil tersebut, jatuh tercecer membasahi langkah yang dilalui Kei.

Dia berlalu begitu saja melewati kami tanpa mengucapkan sepatah kata pun, “Ikuti dia, My Lord!” sahut Uki yang membuatku kembali menoleh padanya.

Segera aku berlari, mengikuti Kei yang berjalan semakin menjauh. Kei akhirnya berhenti, tepat di samping pintu besar … Pintu, dari kamar milikku dan Zeki. Aku membalas tatapan Kei yang menoleh padaku, dengan mendorong pintu di hadapan kami hingga pintu tersebut terbuka.

Sosok seorang perempuan tertangkap mataku. Perempuan tersebut duduk dengan tak menghiraukan kedatangan kami, pandangannya masih terjatuh ke arah cermin di depannya. “Kau akhirnya datang?” tutur perempuan tersebut tanpa menoleh.

Lirikan mataku justru berpaling pada Kei yang berjalan maju membelakangiku. Entah apa yang ia lakukan … Dinding yang ada di kanan dan kiri kami seketika hancur, oleh angin kuat yang berasal dari tubuhnya. “Apa yang kau lakukan, Kei?” bisikku pelan dengan terus menatapi perempuan tadi yang bergeming dari tempat duduknya.

“Ada makhluk-makhluk kerdil yang bersembunyi untuk menyerangmu. Hawa sihir mereka memang sulit untuk dirasakan, tapi mereka tidak bisa bersembunyi dari angin milikku … Ratu di sana terlihat gusar, karena tak ada siapa pun lagi di sini kecuali kita bertiga,” sahut Kei sambil berjalan mendekati perempuan tadi.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang