Chapter DCCXII

2K 410 17
                                    

"Takaoka Masashi? Duke?" tukas Izumi yang dengan segera mendapatkan anggukan kepala Haruki sebagai jawabannya.

"Kakekku, hanya memiliki dua orang anak. Ibuku, sebagai Putri Pertama sedang Paman Masashi sebagai Adiknya. Paman Masashi, tidak ingin menjadi seorang Raja, karena itu ... Takhta dialihkan kepada Ayah," jawab Haruki sambil memangku wajahnya ke lengan kursi.

"Aku memang selalu penasaran sejak dahulu, seperti apa keluarga Ibumu. Aku benar-benar tidak menyangka jika kau akan menyembunyikan hal ini dari kami," ucap Izumi yang menjadikan Haruki kembali meliriknya.

"Duke Masashi memintaku untuk merahasiakan ini dari siapa pun. Bahkan, dia memintaku untuk terus menganggapnya seperti Duke Masashi yang biasanya kita kenal setelah aku mengetahui semua itu. Sebenarnya, Duke Masashi juga yang dahulunya memperkenalkanku Bahasa Kuno. Mungkin, itu juga karena dia dahulu merasa kasihan kepadaku yang dulu hidup penuh dengan kutukan-"

Haruki menghentikan ucapannya sambil melirik dengan sebuah senyum kecil yang mengukir, "mendapatkan kutukan, hampir mati oleh pelayan perempuan yang diperintah Kakak Perempuanku sendiri ... Menjadi Putra Mahkota Kerajaan Sora sangatlah sulit," sambungnya, dia tertawa kecil sambil menggaruk ujung matanya setelah pandangannya itu terjatuh ke arahku dan Izumi bergantian.

"Jangan menatapku seperti itu! Aku tidak menyukainya, jika tatapan kasihan itu diberikan oleh Adik-adikku, karena aku tidak bisa untuk memungkiri hal ini ... Kalian pun, sudah sangat berjuang ketika memikul nama Takaoka di masing-masing pundak kalian."

"Jadi, dari semua yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa Kaisar ingin sekali membunuh kita, karena dia takut jika kita nantinya ingin merebut takhtanya?"

Haruki kembali duduk dengan biasa, tapi kali ini kedua tangannya tak lupa untuk ia silangkan di dada, "kemungkinan besar seperti itu. Ayah kita, menjadi ancaman terbesarnya mempertahankan takhta, dan akan lebih sulit untuk Kaisar jika saja para keturunan dari Adiknya itu, tumbuh menjadi Pangeran atau Putri yang tangguh," ungkap Kakakku itu menjawab pertanyaan yang aku lontarkan.

Lirikanku beralih ke arah Izumi yang sedikit tertunduk dengan mengusap wajahnya sendiri, "aku selalu bertanya pada diri sendiri, kenapa hanya Ibu-Ibu kita yang selalu saja diincar oleh Kekaisaran. Selama ini, aku mengira jika itu karena Kerajaan kita yang kuat, yang kemungkinan membuat Kaisar terancam. Namun, alasan dibaliknya justru lebih jauh dari itu," tutur Izumi, dia menyandarkan punggungnya ke kursi sambil pandangan matanya itu, ia lempar ke atas.

"Lalu, setelah kalian mengetahui hal ini. Apa yang ingin kalian lakukan kedepannya?" Zeki menyahut tiba-tiba, dengan lirikan mata yang ia buang kepadaku.

"Tidak ada yang berubah, kami akan tetap melawan Kaisar, kalau bukan karena keberuntungan ... Aku dan Kedua Kakakku, mungkin sudah mati sejak kecil, dan memang seharusnya sudah mati oleh semua percobaan pembunuhan yang ia lakukan."

"Aku bahkan, masih mengingatnya dengan sangat jelas. Bagaimana takutnya aku saat itu, ketika kedua mataku dengan tiba-tiba tidak bisa melihat, tubuhku tidak bisa digerakan, dan lidahku tidak bisa merasakan lezatnya makanan apa pun yang aku santap. Aku tidak ingin anakku mengalami ketakutan yang sama ... Aku, tetap akan melawan Kaisar," sambungku, setelah sebelumnya menarik napas yang sangat panjang.

"Baiklah," ucapan singkat Kakek, membuatku sedikit terhenyak, begitu kurasakan ada sesuatu yang melilit lenganku, "gunakan kelopak bunga itu, untuk memanggil kami disaat kalian mengalami kesulitan. Kalian semua pasti lelah. Beristirahatlah terlebih dahulu! Kita akan menyambung pembicaraan ini esok hari," tukas Kakek, setelah sebuah gelang akar dengan bunga-bunga kecil, melingkar di masing-masing pergelangan tangan kami.

Haruki beranjak, disusul Izumi, Eneas, Ryuzaki dan akhirnya Zeki, "kami permisi terlebih dahulu, Kakek," tukas Haruki sambil membungkuk, lalu berjalan meninggalkan ruangan bersama yang lainnya.

Aku baru beranjak, setelah Lux turut terbang mengikuti mereka semua, "Sachi!" Langkahku terhenti ketika namaku itu dipanggil olehnya, "jangan ragu untuk meminta bantuan Kakek saat kau mengalami kesulitan. Kakek berjanji, akan segera datang menyelamatkanmu saat kau memanggil Kakek," ungkapnya dengan kepala yang hampir tak bergerak.

"Tentu. Kakek, Huri mengatakan bahwa Kakek Buyutnya itu sangat-sangatlah hebat ... Aku mengatakannya, agar Kakek mengetahui seperti apa perasaannya," jawabku, sambil membungkuk lalu berjalan meninggalkannya.

Aku terus melangkah, mendekati sebuah pintu yang terbuka. "Zeki, aku ingin meminjam Kakakku. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepadanya," sahut Ryuzaki, sesaat aku sudah berjalan melewati pintu dan hendak mendekati Zeki.

"Denganku?" Kepala Ryuzaki mengangguk, tatkala aku berusaha memastikan hal itu kepadanya.

"Aku akan memeriksa rumah yang dulu pernah kita tempati. Cepatlah kembali, jika pembicaraan di antara kalian telah selesai," ungkap Zeki, yang dengan segera kubalas menggunakan anggukan kepala dariku.

Aku berbalik, menunggu Ryuzaki yang sedang menutup rapat pintu rumah Kakek. Kedua kakiku, baru berjalan mengikutinya, saat kepalanya bergerak, seperti isyarat untuk memintaku mengikuti langkahnya. "apa yang ingin kau bicarakan, Ryu?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya yang berjalan di sampingku.

Ryuzaki menggerakan bola matanya ke ujung kanan dan kiri matanya, seakan tengah berusaha untuk memastikan sesuatu, "aku ingin meminta bantuanmu," bisiknya, saat wajahnya itu bergerak mendekatiku.

Alisku mengernyit ketika mata kami saling bertemu, "apa? Kau ingin meminta tolong apa?" Aku balik bertanya dengan sedikit kikuk, karena selama kami bersama, ini kali pertama Ryuzaki meminta bantuanku seperti ini.

"Bantu aku untuk meminta Uki menyembuhkan seseorang," ucapnya yang membuat keningku kian berkerut.

"Seseorang? Siapa?"

"Aku akan menjelaskannya nanti. Kumohon, Sachi onee-chan," lanjutnya dengan kedua tangan menggenggam erat telapak tanganku.

Apa saat aku sedang memohon pada seseorang, wajahku akan terlihat seperti ini?

Kutarik napas dalam, dengan kepala mengangguk membalas tatapannya, "Uki, kemarilah! Aku membutuhkan bantuanmu!" perintahku, menggunakan Bahasa Inggris untuk memanggil Uki.

"Aku sudah memanggil Uki, jadi beritahukan kepadaku siapa yang ingin aku bantu?"

Ryuzaki menarik tanganku untuk berjalan mengikutinya, tanpa sepatah kata pun ia ucapkan. Dia terus saja membawaku berjalan, hingga kami berdua berhenti di depan sebuah pohon besar dengan dedaunan yang rindang. Ryuzaki baru melepaskan tanganku, sambil berjalan mendekati pohon tersebut.

"Apa yang kau lakukan, Ryu?" tanyaku kepadanya, ketika dia sudah meletakan telapak tangannya di batang pohon tersebut.

"Membuka jalan keluar. Bibi yang mengajariku sihir ini-"

"Apa kau menguasai sihir yang sama seperti Bibi dan juga Kakek? Yang bisa membuka gerbang di mana pun dan kapan pun?" sahutku memotong perkataannya.

Ryuzaki dengan cepat melirik ke arahku, "aku memang sudah sedikit bisa melakukannya. Tapi itu bukan berarti, kau bisa semena-mena kepadaku nantinya."

"Kapan aku melakukannya? Kapan aku semena-mena kepadamu?"

"Tidak pernah. Aku hanya bercanda ... Jika nanti aku sudah lebih mampu menguasai sihir ini. Panggil aku segera, sesaat kau menghadapi masalah," ungkapnya dengan kembali menjatuhkan pandangannya ke arah pohon.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang