Chapter DCCXXVI

1.7K 379 19
                                    

Segera kubuang tatapan mataku secepat mungkin dari Izumi dan juga Ryuzaki, yang ternyata telah berdiri menunggu di luar. “Sa-” panggilan dari Izumi, belum sempat untuk ia selesaikan, ketika kedua kakiku sudah terlebih dahulu berjalan meninggalkan mereka.

“Uki!” bisikku lirih sambil terus melangkah, “kemarilah dan temui aku!” sambungku, dengan berusaha untuk merasakan sihir dari Bibi.

Napas yang kutarik, semakin dalam saja, disaat aku berjalan semakin jauh meninggalkan Tenda tadi. “Bibi!” panggilku kepadanya yang tengah duduk dengan kaki bersilang di bawah pohon.

Matanya yang sebelumnya terpejam, dengan perlahan dia buka kembali. Bibi beranjak, sambil melemparkan senyumannya kepadaku, “apa kau memerlukan sesuatu?” tanya Bibi, ketika aku berjalan melewatinya lalu berdiri dengan menyandarkan punggung di batang pohon.

“Aku tidak bisa berhenti memikirkan Huri dan juga Ihsan. Apa Bibi, bisa membawaku ke sana sebentar saja hanya untuk memastikan kondisi mereka?”

“Apa ini ada hubungannya dengan pertengkaran kalian?” tukas Bibi, yang juga turut menyandarkan dirinya di sampingku.

“Bibi mendengarnya?”

Kepalaku semakin tertunduk, disaat usapan darinya menyentuh rambutku, “aku dan Ibumu bersaudara, jadi aku sangatlah tahu seperti apa memiliki seorang saudara.”

“Aku tahu, apa yang mereka katakan tadi tidaklah salah. Aku juga tahu, seharusnya aku tidak boleh terlalu memikirkan perasaanku disaat itu menyangkut nyawa seseorang …  Jika aku membunuh diriku sendiri sekarang? Apa aku akan terlahir kembali menjadi Miyuki Sakura?”

“Apa kau menyesal, karena terlahir menjadi Takaoka Sachi?” tutur Bibi menimpali ucapanku. Bibirnya masih saja terkatup saat aku membalas tatapan matanya itu.

“Aku mendapatkan sebuah keluarga yang tidak pernah aku dapatkan di kehidupan lamaku. Aku juga mendapatkan pengakuan dan juga harta, yang tidak pernah hadir di kehidupanku dulu. Tapi semua itu, harus aku bayar dengan ketidaktenangan dari Kaisar yang menghantui.”

“Dan setelah aku mengetahui, bahwa kegelapan akan datang oleh hancurnya Robur Spei … Hidupku selalu dipenuhi oleh rasa tidak tenang, karena beban itu sendiri. Aku ingin melarikan diri dari Dunia ini, akan tetapi-”

“Mereka, Keluargamu ada di sini.” Kepalaku mengangguk, mendengarkan perkataan Bibi yang memotong ucapanku, “jika kau lelah, kembalilah kepada kami, tapi jangan pernah untuk berpikiran ingin menyakiti tubuhmu sendiri. Kau sudah seperti Putriku sendiri, Sachi.”

“Bibi,” suaraku yang memanggilnya itu terdengar gemetar, “aku tidak menyesal dilahirkan kembali menjadi Takaoka Sachi. Akan tetapi, ada kalanya aku sudah merasa tidak sanggup hidup di sini, dan ada kalanya aku ingin kembali hidup di kehidupan lamaku. Kenapa kami para perempuan, harus menanggung kesalahan yang sama sekali tidak kami perbuat?” tangisku, sambil mempererat pelukanku padanya.

“Andai saja para laki-laki bisa merasakan sakitnya melahirkan sebuah kehidupan baru. Apa mereka masih bisa memperlakukan para perempuan seperti sebuah sampah yang tak berguna? Aku benar-benar  membenci Dunia Ini, Bibi … Tapi aku tidak bisa membenci dunia ini sepenuhnya, karena keluargaku hidup di dalamnya.”

“Kau tidak perlu memberitahukan hal ini kepada Bibi. Bibi sudah mengawasimu sejak kecil, jadi Bibi paham benar seperti apa usahamu untuk tumbuh memukau seperti sekarang. Keponakanku … Melihatmu seperti ini, justru membuatku terluka,” balas Bibi, dia sedikit mundur lalu mengangkat kedua tangannya mengusap kedua mataku.

“Hapus tangisanmu! Bibi akan mengajakmu berkunjung ke tempat yang seharusnya kau kunjungi sebelum kita pergi menemui Ihsan dan juga Huri,” ucapnya sambil berbalik dengan menggerakan tangannya menyentuh batang pohon.

“Kita akan ke mana, Bibi?”

Bibi menoleh sembari melontarkan senyumannya kepadaku, “kau akan tahu nanti,” jawabnya, seraya kembali menatap batang pohon tadi yang telah terbelah dua.

Aku berjalan mengikuti Bibi yang menarik tanganku. “Uki? Kapan kau sudah ada di sini?” tanyaku, sesaat bayangannya terbang melewatiku.

“Aku sudah mengawasimu dari atas pohon saat kau menangis, My Lord. Apa yang ingin kalian lakukan ke sana?” Uki balas bertanya, disaat cahaya terang yang mengelilingi kami perlahan memudar.

Aku terkesiap, menatapi semua yang terpampang di depan mataku. Aku tertunduk sambil menekan kuat dadaku, tatkala udara dingin tiba-tiba mengalir ke seluruh tubuhku. “Sachi, apa kau baik-baik saja?” suara Bibi yang terdengar khawatir itu, mau tak mau membuat wajahku terangkat menatapnya.

Kutarik napas dengan sangat dalam, “aku baik-baik saja, Bibi. Dadaku sempat terasa sesak, tapi sihir Kou sudah menyembuhkannya,” ungkapku, sambil mengembuskan napas panjang, sebelum akhirnya aku beranjak kembali.

“Syukurlah. Sekarang ikuti aku, Sachi! Rahasiakan bahwa aku mengajakmu ke sini dari yang lain termasuk Kakekmu, atau dia akan membunuhku karena mengajak Cucu Kesayangannya ke tempat seperti ini,” sahut Bibi, sembari berjalan melewatiku.

Aku melangkah mengikuti jejak kakinya yang berbekas di tanah hitam yang kami pijak. Kakinya yang melekat di alas kakinya yang terbuat dari lilitan akar itu, ikut terlihat menghitam oleh berkas-berkas tanah tadi yang sedikit terbang oleh langkah kakinya. “Bibi, tempat apa ini?” Kucoba bertanya kembali kepadanya yang terus saja berjalan tanpa sedikit pun menoleh.

“Tempat di mana seharusnya Elf tinggal,” sahut Bibi menjawab pertanyaanku.

“Tempat Elf?” gumamku, sambil menjatuhkan pandangan ke arah kedua kakiku yang ikut menghitam, “Dunia Peri? Apa ini, Dunia Peri?” Pertanyaanku lagi-lagi terlontar, sesaat ingatan-ingatan tentang hubungan Elf dan Peri yang dulu pernah diceritakan kepadaku, tiba-tiba mencuat.

Kepalaku mendongak, disaat pertanyaan dariku tak dijawab sama sekali oleh Bibi. Aku meneguk ludah, menatap langit yang terlihat gelap layaknya malam hari. “Jika langit segelap itu, kenapa aku bisa melihat semuanya dengan sangat jelas,” gumamku, seraya membuang mata ke arah hamparan kosong di sekitar kami.

“Karena sihir Robur Spei di tubuhmu dan juga aku, sedikit lebih kuat dibanding Ryu, Huri ataupun Hikaru. Sihir Robur Spei membawa sebuah kehidupan, apa kau mengingatnya saat aku mengatakan itu?” ucap Bibi, yang belum aku jawab sama sekali.

“Berbeda dengan Ibumu yang sudah mendapatnya sejak dia lahir. Sihir Robur Spei yang ada di tubuhku, baru tumbuh sejak Ibu atau Nenek kalian pergi untuk selama-lamanya, lebih tepatnya sejak jarak yang tak terlalu jauh dari kelahiran kalian berdua.”

“Ryu dirawat oleh Ibu saat dia baru saja lahir, dan itu tak berlangsung lama sebelum Ayah mengurungnya setelah Ibu meninggal,” sambung Bibi, kali ini langkahnya berhenti di satu-satunya pohon yang aku temui di sini.

Pohon besar berbunga putih itu, terlihat dikelilingi oleh bunga-bunga berwarna biru yang berbentuk layaknya lonceng. Bau harum bercampur manis dari bunga-bunga itu, terasa menusuk hidung … Berbeda sekali dengan udara hitam yang aku hirup sebelumnya. “Ibu, aku membawa salah satu cucumu datang,” ucap Bibi, sembari melangkah mendekati pohon tersebut.

“Aku berusaha untuk mencari keberadaannya, tapi siapa sangka … Jika dia akan beristirahat sendirian di tempat seperti ini,” sahut Uki, ketika dia terbang melewatiku menyusul Bibi.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang