Chapter DCCXI

1.9K 397 41
                                    

Aku masih tertunduk, walau tanah yang sebelumnya aku pijak, sudah berubah kembali menjadi lantai kayu. Kedua tanganku, masih bergerak bergantian, mengusap air mataku yang tak kunjung untuk berhenti, “sampai kapan, kau akan terus menangis seperti itu?” tanyanya, yang membuatku semakin sesenggukan.

Wajahku terangkat, saat sepasang tangan menyentuh pipiku. Dia mengusap kedua mataku yang mengabur oleh tangisan itu dengan sangat perlahan, “aku masih hidup. Kakakmu ini, masih berdiri di hadapanmu-”

Tangisanku seketika semakin pecah, saat aku memeluk erat tubuhnya, “nii-chan … Izu-nii,” tangisku memanggilnya, “bersumpahlah kepadaku, nii-chan. Kau tidak boleh mati seperti itu dalam peperangan-”

“Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak ingin kehilangan Kakakku dengan cara seperti itu,” sambungku dengan kepala yang kian terbenam di dadanya.

“Aku bersumpah akan berhati-hati. Aku pun bersumpah, akan menjadi Kakak yang selalu menganggumu walau nanti rambut kita sudah sama-sama memutih,” ungkapnya gemetar, diikuti usapan-usapan pelan di belakang kepalaku.

Telapak tangannya kembali bergerak mengusap mata hingga ke pipiku, ketika dia memintaku untuk menatapnya, “jangan menangisi sesuatu yang belum tentu terjadi. Izumi yang dulu, hanyalah seorang Putra, Saudara, dan juga Pangeran … Tapi sekarang, aku juga merupakan seorang Suami dan juga Ayah. Aku tidak akan melakukan kebodohan apa pun, yang akan membuat semua keluargaku bersedih.”

“Duduk dan hapus air matamu! Kedua anakmu akan khawatir, jika mereka tahu kalau Ibu mereka menangis seperti sekarang,” sambungnya, dengan kepala yang sedikit bergerak.

“Tapi sebelum itu, buang dulu ingusmu! Kenapa, ingusmu selalu keluar tiap kali me-”

Bisikannya terhenti, ketika kakiku menginjak kakinya. Masih kutatap dia, sambil tanganku tak hentinya mengusap hidungku beberapa kali. Izumi hanya tersenyum, seraya mengangkat tangannya menepuk-nepuk kepalaku, “seperti inilah Sachi. Seperti inilah, Adik yang kujaga hingga tumbuh dewasa itu terlihat,” ungkapnya pelan, sembari berbalik lalu melangkah mendekati salah satu kursi dan mendudukinya.

Aku turut berbalik dengan melangkah mendekati kursi yang ada di samping Zeki. Wajahku bergerak, bersandar di pundak Zeki, saat dia menjatuhkan lirikan sambil menepuk pundaknya sendiri, ketika aku telah duduk di sampingnya. “Setiap kehidupan, memiliki kisahnya tersendiri. Jangan terbebani dengan apa yang kau lihat! Karena kita, masih memiliki banyak kesempatan untuk mengubah kehidupan itu sendiri … Sama seperti aku, yang sekarang sudah menjadi suami dan Ayah dari kedua anak kita,” ucapnya pelan, dengan usapan di kepalaku yang mengikuti perkataannya.

“Kakek! Kakek melihatnya dengan sangat jelas, bukan?” suara Ryuzaki yang memecah keheningan, membuatku yang sebelumnya masih bersandar di lengan Zeki, bergerak menatapinya.

“Jika Kakek dulu, bersedia untuk menolong kami ...Tangis kehilangan dari masing-masing kami, mungkin tidak akan terdengar. Itulah kenapa, sampai sekarang,” ungkap Ryuzaki terhenti, nampak jelas bibirnya yang terkatup itu sedikit gemetar, “aku tidak bisa memaafkan kalian, Bangsa Elf, yang sama sekali tidak bersedia menoleh pada rasa sakit yang kami rasakan. Aku … Melihatnya dengan sangat seksama, bagaimana Sachi hancur karena satu per satu keluarga kami gugur dalam peperangan. Semuanya terjadi, karena kalian enggan untuk menolong kami,” sambungnya tertunduk dengan telapak tangan menutupi wajah.

Ryuzaki mengangkat kembali wajahnya dengan tarikan napas yang sangat dalam, “kalau memiliki pilihan … Aku tidak ingin, perang ini terjadi. Tapi apa yang bisa dilakukan? Diam saja, kami akan tetap dilahap kegelapan, sedang melawan, pasukan Kaisar sangatlah sulit untuk dikalahkan-”

“Tapi, Ryu nii-san, apa keuntungan Kaisar melakukan ini semua? Maksudku, jika dunia ini hancur, bukankah dia pun akan ikut hancur?” sahut Eneas memotong perkataan Ryuzaki.

Ryuzaki menggeleng, “aku pun tidak tahu, apa maksud dari Kaisar melakukan ini semua-”

“Kegelapan, hanya mematikan untuk mereka yang memiliki hati tulus,” kali ini, justru Kakek yang memotong ucapan Ryuzaki, “Kegelapan itu muncul, karena semakin sedikitnya kebaikan. Robur Spei tumbuh menggunakan kebaikan yang terserap dari seluruh tempat, dan jika Robur Spei dikuasai oleh mereka yang hanya mementingkan dirinya sendiri … Bunga itu akan hancur. Aku mengetahui hal ini, karena Nenek kalian sendiri yang menceritakannya,” sambung Kakek, yang membuat kami semua menjatuhkan tatapan kepadanya.

“Ada satu, yang mengganggu pikiranku … Seperti apa, Kaisar itu?” sahutku dengan wajah tertunduk, menatap kedua tanganku yang tergeletak di atas paha.

“Aku, tidak pernah bertemu langsung dengannya.”

“Lalu Zeki, bagaimana denganmu?” tanya Haruki setelah Ryuzaki menyelesaikan ucapannya.

“Kaisar, tidak pernah meninggalkan singgasananya,” papar Zeki, bersambung dengan decakan lidah yang ia lakukan, “tak pernah sekali pun, kita berhasil menembus Kekaisaran. Kaisar, seperti sebuah dinding yang membatasi kita dengan dunia lain. Kita bahkan, sudah terlebih dahulu hancur berkeping-keping sebelum sempat bertemu dengannya,” sambung Zeki, dengan kepalanya yang enggan terangkat.

“Aku mengerti,” sahutan Haruki, membuatku mengalihkan pandangan kepadanya.

“Apa yang kau mengerti, Haruki?”

Haruki menyandarkan tangannya yang memangku dagunya itu ke lengan kursi, “sesuatu yang harus aku selesaikan dengan segera,” ungkap Haruki menjawab pertanyaan Izumi.

“Haruki!” panggil Zeki, hingga Haruki melirik ke arahnya yang duduk di sebelahku, “kenapa, saat Ryu memperlihatkan apa yang terjadi sebelumnya … Kau, justru terlihat tidak terkejut sama sekali. Apa mungkin?”

Kedua mataku seketika melebar, karena saat Zeki belum sempat menyelesaikan ucapannya, senyuman kecil yang Haruki berikan seperti menjawab semuanya. “Aku mengetahui, siapa sebenarnya Kaisar,” ucap Haruki yang membuat tubuhku sedikit maju ke depan saat mendengar kata-katanya.

“Putri Takaoka Kiyomi, dia Ibuku dan Raja Takaoka Kaede, adalah Raja sebelumnya yang tidak lain merupakan Kakekku sendiri.” Jantungku seketika bergebu saat mendengarnya. “Apa yang kalian pikirkan itu benar, Ayah mendapatkan nama Takaoka berkat menikah dengan Ibuku-”

Haruki menghentikan kata-katanya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi yang ia duduki, “Ayah, merupakan seorang Pangeran yang diasingkan karena sudah tertuduh menghamili tunangan dari Kakaknya sendiri. Ayah kita sendiri, merupakan Pangeran Kedua dari Kekaisaran,” sambung Haruki, bibirku kian terkatup rapat karena kenangan ketika Ayah mengantarku ke pertunangan tiba-tiba mencuat saat mendengar apa yang Kakakku itu katakan.

“Butuh waktu lama bagi Ayah menyakinkan Kakek, bahwa apa yang dituduhkan itu salah, bahwa dia hanya berniat untuk menolong perempuan tersebut dan putrinya karena kesalahan yang dilakukan oleh Kakaknya. Hingga akhirnya, Kakek menerima niat baik Ayah dan menikahkannya dengan Ibuku … Saat itulah, Ayah diberikan nama Takaoka Kudou oleh Kakek dan selama dia memakai nama tersebut, dia harus menyembunyikan bahwa dia dahulunya seorang Pangeran yang berasal dari Kekaisaran sebagai syarat untuk menikahi Ibuku-”

“Tunggu dulu!” tukas Izumi sambil mengangkat tangannya, yang membuat Haruki menutup lagi bibirnya, “dari mana kau mengetahui hal ini? Siapa yang memberitahukanmu?” Izumi melanjutkan pertanyaannya yang sempat terhenti.

“Dari mana aku mengetahui hal ini? Dan siapa yang memberitahukanku? Ibuku memiliki seorang adik laki-laki, dan adik laki-lakinya itu memilih untuk tidak menerima tahkta yang diberikan kepadanya. Aku mengetahui semua itu, karena dia yang menceritakannya saat pertanyaanku kepada Ayah … Kenapa, Kaisar sangat ingin menghancurkan keluarga kita, tak kunjung mendapatkan jawaban.”

“Takaoka Masashi, dengan menyebut namanya … Kalian sudah pasti tahu, siapa laki-laki yang aku maksudkan,” sambung Haruki dengan lirikan mata yang masih terjatuh pada Izumi.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang