“Ini lezat. Ciciplah!” pungkas Izumi sambil menyodorkan sepotong daging bakar padaku.
Wajahku maju untuk menggigit daging bakar tadi, “bagaimana caranya Bibi memasak daging ini? Ini lezat sekali. Tolong ajarkan aku, cara untuk memasaknya nanti,” ungkapku dengan kembali menggigit daging tersebut.
“Kau menyukainya?” Senyum di bibirnya semakin mengembang, saat kepalaku menjawab pertanyaannya. “Kalau kau menyukainya. Bibi akan mengajarkanmu cara memasaknya,” sambungnya dengan kembali tersenyum menatapku.
“Sachi, yang ini, Bibi yang memasaknya. Ciciplah!” sahut Bibi yang bernama Khunbish, sembari tangannya yang memegang sebuah piring itu menjulur ke arahku.
Aku beranjak seraya meraih piring pemberiannya, “terima kasih, Bibi,” ucapku dengan kembali duduk sambil terus menjatuhkan pandangan ke arah makanan berbentuk kotak-kotak kecil yang dilumuri oleh madu.
“Ini terlihat manis dan juga lezat. Sesuatu selain perhiasan yang sangat, sangat, sangat aku sukai. Aku akan memakannya, Bibi,” sambungku sambil meraih sebuah sendok kayu yang ada di dekat Zeki.
Mataku terpejam tanpa sadar, ketika mulutku itu dipenuhi oleh aroma dan rasa manis yang jarang aku temui. Aku kembali mengambil potongan kue yang ada di piring tersebut, lalu mengunyah kue manis yang dilumuri madu itu dengan sangat perlahan, “ini lezat sekali, Bibi. Cobalah, cicipi ini, nii-chan!” pintaku, sambil menyendoki satu potong kue dan memberikannya kepada Izumi yang duduk di sampingku.
“Saat aku mendengar cerita Duke tentang kalian, aku memikirkan … Sepupuku yang bernama Sachi itu, mungkin seseorang yang tidak suka berbicara, karena dia terdengar tangguh dan juga kuat serta pintar-”
“Dia, tidak suka berbicara?” sahut Izumi menimpali ucapan Chimeg, dengan jari telunjuk yang tak hentinya mengarah padaku, “Satu kata yang keluar dari bibirmu, bisa dijawab Sepuluh kata olehnya-”
“Izu-nii!”
Lirikanku beralih kepada kedua Bibi kami yang tiba-tiba tertawa, menyela pembicaraan. “Mereka benar-benar masih kecil, benar, kan, Nekhii?” tutur Bibi Khunbish yang dijawab anggukan dari Bibi kami yang lain.
“Justru, saat dia yang banyak berbicara pergi dari hidup kalian … Kalian akan merasa sangat kesepian. Terlebih, jika nanti suaminya membawanya pergi untuk tinggal bersama.”
Aku menepuk punggung Izumi, yang hanya terdiam setelah Bibi Nekhii menyelesaikan perkataannya. “Kakakku yang tersayang. Jangan khawatir! Aku, akan selalu mengirimkanmu surat tanpa henti agar kau tak merasa kesepian-”
“Tutup mulutmu!” Aku tertawa, dengan kepala bersandar di lengan Zeki, ketika telapak tangan Izumi mendorong wajahku menjauhinya.
Aku berbalik mengalihkan pandangan, “apa kau ingin mencicipi kue ini?” ucapku dengan mengarahkan sendok berisi potongan kue kepada Zeki.
“Ini terlihat manis sekali,” jawabnya setengah berbisik yang terlihat ragu untuk mencobanya.
“Sedikit saja,” ungkapku sambil melemparkan sedikit lirikan ke arah kedua bibi kami.
“Baiklah,” tukasnya, diikuti wajahnya yang mendekat lalu menggigit kue di sendok yang aku pegang.
“Bagaimana, Zeki?”
Zeki hanya mengangguk sesaat Bibi Khunbish bertanya kepadanya, “ini lezat, Bibi. Terima kasih,” ucapnya berbohong setelah sebelumnya meneguk beberapa kali air di gelas yang ada di dekatnya.
Aku meletakan piring di tanganku ke dekat Izumi. Bibirku hanya terkatup, sambil mataku yang terus mengawasi Sarnai dan juga Chimeg yang tak henti-hentinya menatapi Ryuzaki. “Ryu, Bibi mendengar kabar, bahwasanya kau melamar Tuya. Bagaimana? Apa semuanya berjalan lancar?” tanya Bibi Nekhii, yang membuat kami berempat dengan serentak melirik kepada Ryuzaki yang sejak kejadian sebelumnya, sama sekali tak bersuara.
“Dia menolak lamaranku-”
“Gadis itu! Kenapa dia bisa-bisanya melakukan hal tersebut, setelah kalian menyembuhkan matanya yang buta!”
“Bibi, aku sangat tidak menyukainya, jika Bibi menghinanya seperti itu,” tukas Ryuzaki yang membuat Bibi Khunbish seketika terdiam.
“Aku sendirilah yang ingin menolongnya. Dia, sama sekali tidak pernah meminta untuk hal tersebut-”
“Kau terlalu lugu untuk seorang laki-laki. Status kalian sebagai Bangsawan, tidak berarti apa-apa bagi penduduk Suku, karena kami memiliki status kami sendiri. Kalian dihormati di sini, karena kalian merupakan cucu Kakek, Sang Kepala Suku. Tidak lebih dan tidak kurang.”
“Sarnai, jaga bicaramu!” perintah Bibi Nekhii dengan nada suaranya yang turut meninggi.
“Aku hanya memberitahukannya kenyataan, Ibu. Aku sangat tidak menyukai gadis bernama Tuya itu … Dia selalu bertingkah menyedihkan di hadapan semua orang, dan itu benar-benar mengganggu mataku saat melihatnya.”
“Tutup mulutmu! Atau kau akan menyesalinya!”
“Kau menyuruhku untuk menutup mulutku? Punya hak apa kau memerintahku? Jika kau tidak percaya padaku, tanyakan kepada Chimeg, apa yang aku katakan ini benar ataukah salah? Sejak kecil sampai sekarang, Chimeg selalu berusaha untuk berteman dengannya. Namun dia, selalu menolak niat baik Chimeg secara mentah-mentah dan terus saja bersikap menyedihkan di hadapan semua orang.”
“Sarnai!” Jari telunjuk Chimeg terangkat ke bibirnya, saat Sarnai menoleh akibat panggilan yang ia lakukan.
“Aku tidak ingin berburuk sangka. Mungkin saja, Tuya memang gadis pemalu yang sulit untuk diajak berbicara.”
Lirikan mataku, kembali terjatuh pada Sarnai yang lidahnya berdecak setelah mendengarkan perkataan Chimeg. “Jika dunia ini aman, mungkin saja gadis naif nan polos memang ada. Namun, apa kau lupa pelajaran yang selalu kita dapatkan sejak kecil? Dunia di Luar Suku, sangatlah kejam untuk para perempuan, itulah yang menjadi salah satu alasan kenapa perempuan di suku kita tidak ingin pergi keluar, terlebih dengan adanya kabar kematian Bibi Dasha yang meninggal setelah dia menikahi Bangsawan luar.”
“Tidak ada yang lebih penting dibanding nyawa kita sendiri. Gadis naif nan polos, tidak mungkin bertahan hidup di dunia yang seperti itu … Mereka akan langsung mati oleh kebodohannya. Jika pun dia bertahan hidup, hanya ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ada seseorang yang selalu melindunginya dari semua kebodohan yang ia lakukan dan kemungkinan kedua … Dia hanya berpura-pura lugu demi mencapai tujuannya.”
“Kau ingin pergi ke mana, Sarnai?!” Bibi Nekhii beranjak, dengan pandangan yang mengarah kepada Sarnai yang telah berjalan mendekati seekor kuda yang terikat.
“Aku sudah kenyang, Ibu. Aku akan pergi ke perbatasan hutan untuk menyambut Kakek,” ucap Sarnai sambil beranjak naik ke kuda berwarna cokelat yang sebelumnya dia tunggangi.
Mataku itu, masih terus saja menatapi punggung Sarnai yang kian menjauh bersamaan dengan kuda miliknya. “Maafkan semua yang sudah diucapkan oleh Putriku. Sejak kecil, dia memang sudah dididik keras oleh Ayahnya. Jadi, kadang kala dia selalu mengucapkan apa pun yang ada di dalam kepalanya tanpa takut.”
“Sa-chan!”
Aku dengan cepat menoleh pada Haruki yang tiba-tiba bersuara memanggil namaku. “Ada apa?” Bibirku bergerak tanpa suara, diikuti kedua alisku yang mengernyit menatapinya.
“Jangan lepaskan bunga berduri. Telusuri dan bawa semua yang kau dapatkan darinya kepadaku,” ucap Haruki singkat sambil melemparkan senyuman padaku.
“Pergilah!” tukasnya yang lagi-lagi menggunakan Bahasa Jepang, dengan kepala dan lirikan matanya yang bergerak ke sudut mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...